Selain dapat uang saku, apa manfaat yang juga mereka peroleh dari keterlibatan mereka dalam hitung cepat dan survei?
Oleh
BUDI SUWARNA
·3 menit baca
Kesuksesan hitung cepat Kompas tak luput dari peran penting lebih dari 2.000 petugas lapangan yang hampir seluruhnya mahasiswa dan war room (ruang hitung cepat). Selain dapat uang saku, manfaat apa yang mereka peroleh dari keterlibatan mereka dalam hitung cepat dan survei?
Grace Efata (24), seorang tenaga lepas hitung cepat Litbang Kompas asal Bekasi, Jawa Barat, mendapat banyak pengalaman berharga saat jadi bagian dari tim survei Litbang Kompas. Ia telah terlibat dalam berbagai proyek, termasuk survei debat capres-cawapres yang lalu, survei dari klien, serta Survei Kepemimpinan Nasional (SKN) Kompas.
Grace pertama kali mengetahui kesempatan menjadi tenaga lepas survei Litbang Kompas melalui sebuah blog. Penulis blog tersebut berbagi pengalaman ketika menjadi petugas survei hitung cepat Litbang Kompas pada Pemilu 2019. Ulasan tersebut menumbuhkan rasa penasaran pada Grace. Ia ingin tahu bagaimana rasanya menjadi petugas survei hitung cepat pemilu di sebuah lembaga survei sebesar Kompas.
Ia kemudian mendatangi lantai 4 gedung Kompas Gramedia untuk mendaftar sebagai tenaga lepas hitung cepat. Singkat cerita, dia diterima.
”Motivasi aku ikut pekerjaan sampingan ini sebenarnya memperluas jaringan kerja, ya, pastinya. Terus pengalaman juga tentunya,” kata Grace, Senin (12/2/2024).
Maulana Yusuf Iskandar (24) sebelumnya pernah terlibat dalam survei dari Litbang Kompas. Ia mendapatkan informasi awal tentang pekerjaan lepas ini dari temannya. ”Pertama, awalnya, dari teman, ’Ada kerjaan, nih, di Kompas. Mau, gak? Daftar aja,’ gitu. Dari situ sampai sekarang,” katanya.
Maulana terlibat dalam pekerjaan lepas sebagai petugas survei untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Jika ada panggilan, dengan senang hati ia akan mendaftar lagi. Uang saku yang ia terima bervariasi bergantung pada kerumitan survei.
Angkanya antara Rp 300.000 dan Rp 600.000 untuk satu proyek. Jumlah itu menurut Maulana dan petugas survei lainnya cukup sepadan. Apalagi, mereka juga mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru yang tidak bisa dinilai dengan uang.
”Motivasi aku ikut pekerjaan sampingan ini sebenarnya memperluas jaringan kerja, ya, pastinya. Terus pengalaman juga tentunya.”
Selain itu, mereka juga bisa merasakan kebersamaan dengan petugas survei lain yang berasal dari kampus-kampus berbeda. ”Kita sudah seperti keluarga. Koordinasinya sangat luar biasa karena per proyek ini bisa makan waktu tiga hari dan itu, kan, memang proyek-proyek yang butuh lebih dari 500 responden. Jadi, kekeluargaan dan solidaritas dalam tim sangat terbentuk,” kata Maulana.
Bagi Grace, pengalaman ini juga meningkatkan keterampilan dalam percakapan. ”Jujur, aku sendiri sebelumnya agak susah buat ngobrol sama warga. Terus, pas udah mulai sering interview, jadi terbiasa dan jadi tahu juga informasi dari berbagai wilayah.”
Responden yang terbuka dan antusias juga menjadi hal yang disyukurinya. ”Aku sempat dapat satu responden yang kebetulan sangat baik dan antusias. Aku merasa, beliau-beliau bukan pengin dapat suvenirnya aja, tapi beliau ini memang seneng membantu survei seperti ini,” kata Grace.
Pengalaman menyentuh juga didapatkan oleh Maulana. Ia terharu ketika ada narasumber yang mengingatnya saat ia menghubungi kembali mereka. ”Kita, kan, telepon banyak responden, ya. Banyak nomor yang kita hubungi. Kalau yang paling membekas itu ketika kita dapat responden yang udah pernah kita hubungi,” ujarnya.
Pengalaman di lapangan juga cukup bervariasi bagi Maulana. Ia bercerita bukan hanya mendapatkan pengalaman menyenangkan selama di lapangan, melainkan juga ada pengalaman yang membuatnya merasa deg-degan. Misalnya, izin kepada Pak RT dan RW yang harus sangat ketat sampai warga yang menolak.
”Kadang, kita ketemu wilayah yang satu titik sampel yang memang warganya baik-baik yang welcome banget ke kita. Jadi, kitanya juga enak gitu, untuk surveinya juga enak. Terus, kalau yang memang lagi kurang beruntung mungkin, ya, harus pindah lokasi,” katanya.
Tulisan ini hasil kolaborasi dengan intern Kompas, Kamila Meilina, Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, dan Chelsea Anastasia, Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.