Menjadi korban bencana lingkungan di Sumatera menggerakkan Nasywa berani berbicara tentang keadilan iklim di konferensi perubahan iklim terbesar di COP28, Dubai.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Sejak kanak-kanak, Nasywa merasakan nelangsa akibat asap kebakaran perkebunan sawit di Pulau Sumatera. Di usianya yang sudah 16 tahun, ia memutar memori tersebut di hadapan aktivis perempuan dari berbagai belahan dunia di Konferensi Perubahan Iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab. Namun, kisah itu telah ia timpa dengan asa perbaikan lingkungan sebagai aktivis muda di Kabupaten Tebo, Jambi.
Duduk di lingkaran tengah beberapa pembicara perempuan dewasa dari Senegal, Malawi, Pakistan, dan Brasil, dengan percaya diri, Nasywa membacakan kisahnya dalam bahasa Indonesia. Ia menceritakan perjalanannya hingga menjadi aktivis muda di Pulau Sumatera yang memiliki segudang masalah lingkungan dan sosial.
”Saya tergugah dan memiliki kesadaran baru sebagai aktivis perempuan dan lingkungan dalam usia sangat muda karena beberapa hal. Pertama, sejak kecil saya sudah menjadi korban dari bencana asap karena kebakaran lahan skala besar yang terjadi di Pulau Sumatera, khususnya Provinsi Riau,” kata Nasywa dengan lantang membacakan teks yang ia buat bersama orangtuanya, Selasa (5/12/2023).
Kisah salah satu aktivis muda Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Sekretaris Jenderal Seruni Triana Kurnia Wardani. Keduanya duduk berdampingan sambil ikut mendengarkan masalah terkait keadilan iklim dan jender dari narasumber lainnya. Mereka berkumpul dalam forum bertajuk ”Young and Fearless: The Powerful Voices of Young Women Environmental Right Defenders” di Paviliun Perempuan dan Gender COP28.
“Menjadi aktivis lingkungan dan perempuan di usia muda adalah salah-satu kebanggaan saya. Saya memperoleh lingkungan yang sesuai untuk tumbuh sebagai aktivis sehingga bisa berada di tempat ini. Saya yakin ada banyak anak muda lainnya yang ingin berada di tempat ini seperti saya. Mengetahui dari dekat bagaimana isu lingkungan dibahas di tingkat dunia dan bagaimana proses pembuatan kebijakan diperjuangkan agar sesuai dengan kepentingan rakyat,” tutur gadis yang perdana ke luar negeri atas sponsor Global Alliance for Green and Gender Action.
Dari COP28 ini, ia mengaku belajar tentang berbagai isu lingkungan yang sangat kompleks, terutama mengenai upaya menghentikan emisi gas rumah kaca. Ia juga belajar bahwa hutan gambut di Sumatera yang terancam peralihan fungsi lahan sehingga rentan terbakar harus dipelihara karena mampu menyerap gas rumah kaca.
Sementara itu, ia juga mulai memahami bahwa seluruh dunia juga menghadapi banyak masalah lingkungan yang sama karena efek gas rumah kaca, seperti pulau yang terancam tenggelam, gelombang panas hingga 40-an derajat, dan ancaman kelaparan akut yang belum terselesaikan.
Saat ditemui Kompas selepas menjadi pembicara, siswi sekolah menengah atas itu mengaku mengenal dunia aktivis dari orangtuanya. Saat kecil, Nasywa sudah mendengar pembicaraan dan diskusi tentang asap dan kebakaran lahan terutama di areal perkebunan kelapa sawit setiap musim kemarau. Ia juga pernah mengambil bagian dalam aksi massa menuntut penanganan asap dan menghukum para tuan tanah pelaku pembakaran, bersama anak-anak lainnya.
Bagaimanapun, keterlibatannya dalam aktivitas itu bukan semata-mata karena melihat aktivisme orangtua atau orang lain di sekitarnya. Ia tergerak karena dampak negatif dari kerusakan lingkungan yang ia mulai rasakan sejak usia delapan tahun. Saat itu, tahun 2015, ia pernah harus mengurung diri berbulan-bulan untuk menghindari asap kebakaran perkebunan sawit di Riau. Tidak bisa bersekolah dan bermain dengan teman sebaya, ia hanya berteman dengan tabung oksigen dan masker.
”Saya harus berada di rumah. Tidak bisa keluar rumah, tidak bisa melihat langit biru, dan tidak bisa merasakan panasnya matahari,” ungkapnya.
Di provinsi dengan lahan perkebunan sawit terbesar se-Indonesia itu, ia menyadari bencana asap kebakaran hanyalah puncak dari gunung es. Perkebunan sawit juga mendatangkan masalah lingkungan lainnya, seperti membuat kering perairan untuk lahan pertanian lainnya.
“Saya melihat para petani kecil di sekitar sana tidak bisa menghidupi tanaman itu lebih baik karena nutrisi diambil oleh sawit. Tanah di situ pun sudah kering dan bisa dibilang tidak produktif untuk ditanami tanaman lain,” katanya.
Masalah lingkungan juga ia kerap temui ketika ikut orangtuanya pindah ke Kabupaten Tebo, Jambi. Di sana, ia menyaksikan buruknya kualitas air Sungai Batanghari karena aktivitas tambang emas tradisional. Dan kembali, asap kebakaran hutan yang kerap muncul dan menjadi parah setiap lima tahun sekali. Tahun 2022, ia pun memutuskan menjadi aktivis anak dengan organisasi Seruni.
Ia kemudian terlibat dalam program-program untuk memulihkan sungai hingga pemberdayaan masyarakat, khususnya anak. Ia dan rekan-rekan di organisasi membangun bendungan dengan karung pasir untuk menyaring air Sungai Batanghari yang tercemar air raksa. Ia juga terlibat dalam pembangunan taman ekologis Rivera Park di Kabupaten Tebo. Nasywa juga aktif mempromosikan penanaman tanaman pangan organik yang ramah lingkungan di desa tempatnya tinggal.
Meski kegiatan itu mendatangkan manfaat, perjuangan Nasywa dan organisasi itu tidak lantas diamini semua orang, seperti warga, tuan tanah, dan polisi.
”Tantangannya itu, banyak yang enggak suka dengan apa yang kami buat, kayak tuan tanah di sana menganggap membuat banjir dan melanggar aturan,” jelasnya.
Di antara tantangan yang Nasywa hadapi dalam upaya memperbaiki lingkungan, ia juga menemukan hambatan dari rekan sebayanya. Ia menemukan banyak anak muda di perdesaan yang susah diajak bekerja sama karena orangtua mereka bergantung pada pekerjaan menambang emas atau berkebun sawit. “Dan secara kultur sering susah diajak berpikir maju,” ujarnya.
Meski demikian, Nasywa yakin mereka sesungguhnya sangat sensitif terhadap isu lingkungan seperti dirinya. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) dalam laporan tahun 2022 memperkirakan 149 juta anak di seluruh dunia telah merasakan kerentanan bencana iklim, mulai dari kekeringan dan banjir, angin kencang, hingga penurunan kualitas udara. Kondisi itu membuat banyak anak muda menyuarakan tuntutan untuk keadilan lingkungan dan sosial mereka.
“Saya dan anak-anak muda seperti saya mendapat dukungan luas dalam berbagai bentuk dan perlindungan dalam menjalankan aktivitas,” kata Nasywa dengan optimistis saat berbicara di hadapan masyarakat dunia di Dubai.
Nasywa Adivia Wardana
Kelahiran: Yogyakarta, 9 Agustus 2007
Pendidikan: SMA Negeri 2 Tebo
Tulisan ini diproduksi sebagai bagian dari Climate Change Media Partnership 2023, sebuah beasiswa jurnalisme yang diselenggarakan Earth Journalism Network Internews dan Stanley Center for Peace and Security.