Kedai kopi, kafe, dan kehidupan kini nyaris tak terpisahkan dengan keseharian anak muda urban. Kafe dan kedai kopi jadi ruang interaksi yang selaras dengan gaya hidup masa kini.
Oleh
BUDI SUWARNA
·5 menit baca
Anak muda menjadi pengisi relung kafe atau kedai kopi modern yang menjamur satu dekade terakhir. Mereka yang datang sebagian besar berstatus mahasiswa. Di sana mereka tenggelam untuk mengerjakan tugas atau sekadar bercengkerama.
Di salah satu meja di sebuah kafe yang berada di Menteng, Jakarta Pusat, Siti Aulya Azzahra (21), mahasiswi Jurusan Administrasi Bisnis Otomotif Politeknik Sekolah Tinggi Manajemen Industri (STMI) Jakarta, asyik berdiskusi dengan beberapa temannya. Siang itu, Aulya memillih mengerjakan tugas di kafe itu ketimbang di rumah. Dia bilang, dia perlu suasana baru. ”Kalau di rumah, sedikit-sedikit dipanggil, Aul.. Aul..,” kata Aulya dengan nada ceria, Rabu (29/11/2023).
Ia mengatakan, sebenarnya ia bukanlah orang yang terlalu mempersoalkan tempat untuk mengerjakan tugas. Namun, mengerjakan tugas di kafe atau kedai kopi memberi suasana lain.
Terlebih, jika kedai itu sudah jadi langganan. Ia merasa nyaman dan akan terus datang ke kafe atau kedai yang sama tanpa merasa bosan.
Satu hal yang membuat dia nyaman mengerjakan tugas di kafe atau kedai adalah suasananya yang relatif hening. Ia bisa berlama-lama di sana, tiga sampai lima jam.
Selain suasana, tentunya juga karena di kafe ia bisa jajan. Menu kesukaannya adalah ice chocolate atau greentea yang manis. Setiap datang ke kafe, ia bisa memesan dua gelas minuman jenis itu dengan harga per gelasnya Rp 30.000-Rp 40.000. Ditambah dengan makanan pendamping, rata-rata ia merogoh kocek Rp 100.000 per kedatangan.
Ia sendiri kerap kaget begitu sadar uang yang ia keluarkan cukup banyak setiap berkunjung ke kafe. ”Wah, gokil, gede juga.”
Aulya berkata, jumlah itu memang terlihat besar jika dihitung per hari. Apalagi, dibandingkan dengan uang yang Aulya keluarkan untuk makan yang ”hanya” Rp 50.000 per hari. Namun, lanjutnya, jika diakumulasikan per bulan, uang yang ia keluarkan untuk mengerjakan tugas di kafe itu tergolong kecil. Sebab, ia hanya ke kafe 1-2 kali dalam seminggu.
Seperti Aulya, Ario Wibowo (22), mahasiswa Jurusan Sistem Transportasi Institut Transportasi dan Logistik Trisakti, juga kerap memilih kafe modern sebagai tempat untuk mengerjakan tugas. Hari itu, Jumat (1/12/2023), ia tenggelam dengan laptopnya di sebuah kafe di daerah Kayu Manis, Jakarta Timur. Di sebelah laptopnya ada segelas kopi yang belum habis.
Ario mengaku cukup sering datang ke kedai kopi atau kafe. Ia bisa ngopi di tempat itu empat sampai lima kali dalam seminggu. Sekali datang, dia bisa menghabiskan waktu dua hingga tiga jam.
Namun, ia tidak memiliki kedai kopi favorit. Ia selalu berpindah-pindah tempat ngopi. Yang ia incar adalah kedai kopi yang sepi dan menghadirkan suasana baru. ”Kalau mengerjakan tugas, yang penting itu tempatnya hening, nyaman, dan Wi-Fi-nya kencang,” terangnya.
Sekali datang ke kafe atau kedai kopi, ia menghabiskan dana Rp 35.000-Rp 40.000. Menu favoritnya adalah ice americano. Menu itu ia pilih karena dapat memenuhi kecintaannya pada cita rasa kopi yang orisinal.
Dalam sebulan, pengeluaran Ario untuk nongkrong di kafe atau kedai kopi mencapai Rp 850.000-900.000. Angka itu ia nilai masih terjangkau karena uang saku yang ia terima dari orangtuanya cukup besar, yakni Rp 4 juta per bulan.
Diskusi dan interaksi
Di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Kamis (30/11/2023), dua mahasiswa sedang berdiskusi di salah satu kafe. Mereka adalah Krisanto Abel dan Gema Surya, mahasiswa Sistem Informasi Universitas Bina Nusantara Jakarta.
Berbeda dengan Aulya dan Ario, mereka mengaku cukup jarang mengerjakan tugas di kafe. Pasalnya, meja di kafe umumnya sempit.
Alasan lainnya, di kampusnya sudah tersedia fasilitas yang lengkap untuk menunjang kebutuhan mengerjakan tugas. Hari itu kebetulan mereka pergi ke kafe karena sedang bermain di sekitar tempat tinggal Gema. Mereka sepakat bahwa kafe lebih cocok sebagai ruang diskusi dan interaksi. Terkecuali ketika tenggat pengumpulan tugas sudah mepet.
Abel mengungkapkan, terkadang mengerjakan tugas di ruang umum justru banyak hambatannya karena suasananya lebih santai. Akibatnya, durasi mengerjakan tugas jadi ikut melambat.
Sejauh ini, Abel dan Gema belum memiliki kedai kopi atau kafe favorit. Mereka selalu mencari tempat yang sesuai kebutuhan. ”Kalau harus mengerjakan tugas di kafe, kriterianya yang penting adem, luas, dan mudah menjumpai stopkontak,” kata Abel.
Gema mengungkapkan, dalam sebulan palingan mereka hanya mengerjakan tugas di kafe dua sampai tiga kali saja. Kalau untuk nongkrong dan diskusi, tidak lebih dari dua kali dalam seminggu dengan durasi nongkrong dua jam per kedatangan.
Dua mahasiswa tersebut memiliki menu favorit yang selalu mereka pesan, yakni coffee latte. Abel memilih coffee latte karena ia suka minuman yang berkarakter creamy dan mengandung susu, sementara Gema memilih coffee latte karena harganya paling umum dan terjangkau di antara menu lainnya.
Sekali datang ke kedai atau kafe mereka menghabiskan dana Rp 25.000-Rp 35.000. Jika diakumulasikan per bulannya, mereka menghabiskan uang sekitar Rp 200.000. Angka itu, ujar Gema, tidak memberatkan dia karena sudah dianggarkan dalam keuangannya beserta biaya bensin dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Sementara menurut Abel, biaya tersebut tidak melebihi kebutuhan lainnya, seperti membeli pakaian yang sekitar Rp 350.000-Rp 400.000.
Kedai kopi, kafe, dan kehidupan kini nyaris tak terpisahkan dengan keseharian anak muda urban. Sebagai ruang mengerjakan tugas, diskusi atau sekadar tempat nongkrong, kedai kopi atau kafe berhasil menyediakan suasana yang khas selaras dengan gaya hidup masa kini.
Bagi beberapa anak muda, kedekatan mereka dengan kafe atau kedai kopi bahkan sudah menyentuh ranah emosi. Aulya mengatakan, ”Kisah-kisah yang terjadi di coffee shop membuat perasaan menjadi hangat. Kisah tentang pertemanan, ngedate dengan pasangan, terbangun di sana.”
Kolaborasi dengan peserta program magang Kompas: Nikolaus Daritan, mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.