Jangan Terlena ”Paylater”
Layanan ”paylater” ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia memudahkan transaksi karena kita bisa mencicil. Di sisi lain, ”paylater” bisa jadi jerat utang jika penggunanya sembrono.
Layanan paylater semakin diminati oleh masyarakat. Konsep buy now pay later (beli sekarang bayar nanti) memungkinkan konsumen membeli barang walau ia belum bisa membayarnya secara penuh. Dengan syarat yang relatif mudah, pengajuan paylater dapat dilakukan oleh siapa pun, termasuk pembeli yang belum memiliki penghasilan, seperti mahasiswa.
Karina (21), mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta, mengaku mulai menggunakan paylater sejak 2018. Saat itu, dia masih duduk di bangku SMA dan belum memiliki penghasilan sendiri.
Layanan paylater yang Karina pilih berasal dari aplikasi ojek daring sehingga kegunaannya berkisar untuk transportasi dan pemesanan makanan daring. Sejak menggunakan paylater, Karina mengaku jadi boros lantaran merasa tidak perlu membayar langsung transaksi yang dilakukannya.
”Itu (paylater) beneran jadi addict banget,” tuturnya, Rabu (4/10/2023). ”Setiap bulan aku pasti pakai (paylater) karena udah tertanam gitu di otakku buat pakai paylater saja,” tambahnya.
Kecanduan ini berlangsung hingga pertengahan 2023. Karina bahkan pernah dihubungi debt collector (penagih utang) untuk mengingatkan tagihannya yang akan jatuh tempo. ”Aku pernah ditelepon sama 20 nomor seminggu sebelum jatuh tempo. Tiap hari dan tiap waktu (ditelepon),” katanya.
Karina akhirnya sadar bahwa kebiasaan buruknya tidak bisa terus berlanjut. Dia akhirnya mangatur limit kreditdi aplikasi. Ia juga memutuskan untuk tidak mendaftar kembali akun paylater-nya ketika ada kebijakan baru untuk verifikasi ulang.
Baca juga: Beli Pulsa Pun Pakai ”Paylater”
Cerita lain datang dari Fira (21), mahasiswi perguruan tinggi negeri di Jakarta, yang menggunakan paylater sejak 2021. Fira mulai mengaktifkan paylater di salah satu aplikasi lokapasar lantaran ingin membeli suatu barang.
Karena belum berpenghasilan, Fira hanya mengandalkan uang jajan untuk membayar tagihannya. Dia membatasi pengeluarannya agar tidak lebih dari Rp 200.000 setiap bulan.
Adapun Fira memiliki dua akun paylater di aplikasi yang sama. Satu akun digunakan bersama temannya dan satu akun lain hanya untuk dirinya sendiri. Pada satu waktu, akun bersama miliknya sempat memiliki tagihan hingga lebih dari Rp 3 juta. ”Aku beli kipas portable, sisanya tagihan temanku,” ujarnya.
Karena sang teman tidak bisa membayar ketika jatuh tempo, tagihan tersebut menunggak hingga dua bulan. Bunga yang harus dibayarkan pun mencapai lebih dari Rp 500.000. Selain itu, Fira juga mendapat pesan singkat (SMS) yang mengingatkannya untuk segera membayar tagihan tersebut.
Papan promo layanan bayar kemudian (paylater) oleh dompet digital sebagai alat pembayaran mewarnai gerai-gerai penjualan makanan dan minuman.
Untuk uang kuliah
Meski lebih sering digunakan untuk konsumsi pribadi, layanan paylater juga dimanfaatkan sebagian orang untuk kepentingan lain. Rosa (21), mahasiswi perguruan tinggi negeri di Depok, Jawa Barat, mengaku menggunakan paylater untuk membantu sang teman yang sedang butuh uang untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT).
Semula, temannya ingin membayar UKT lewat paylater, tetapi akunnya tidak bisa diverifikasi. Temannya pun meminta Rosa untuk membantunya. Namun, permintaan itu tidak langsung disetujui oleh Rosa karena ia tidak pernah menggunakan paylater sebelumnya.
Baca juga: Layanan Paylater Makin Diminati, Masyarakat Diminta Tetap Bijak Berbelanja
Walau demikian, karena Rosa merasa berutang budi pada sang teman yang telah banyak membantunya selama ini, ia pun mengiyakan permintaan temannya.
Pertama-tama, sang teman menjual barang fiktif menggunakan akun lokapasar pribadinya. Ia kemudian meminta Rosa untuk membeli barang itu dengan metode pembayaran paylater. Karena transaksi dianggap berhasil, sang teman memperoleh bayaran atas barang yang dijual. Di sisi lain, akun lokapasar Rosa memiliki tagihan akibat paylater yang dia gunakan.
”Waktu itu (dia) jual photo card seharga Rp 3,7 juta. Karena dicicil 12 kali, jadi ada bunga. Total tagihan paylater-nya kalau dihitung-hitung lebih dari 5 juta,” kata Rosa.
Meski tagihan tersebut dibayarkan oleh sang teman, Rosa harus terus mengingatkannya agar membayar tagihan tepat waktu. Pernah suatu waktu temannya menghilang tanpa kabar walau sudah dihubungi lewat pesan singkat. Temannya bahkan pernah meminta Rosa menalangi utangnya saat jatuh tempo. Rosa menolak.
Rosa mengaku menyesal lantaran terus merasa tertekan setiap bulan akibat tagihan tersebut. Adapun masa pembayaran tagihan masih tersisa lima bulan lagi. Jika temannya terlambat membayar tagihan, Rosa khawatir hal itu akan meninggalkan rekam jejak buruk.
”Ruginya, kalau aku sampai (gagal membayar tagihan) lewat batas (waktu), namaku bakal jelek, misalkan (di masa depan) aku mau kredit sesuatu,” katanya.
Mengatur keuangan
Perencana keuangan dari OneShildt, Budi Raharjo, mengatakan, layanan paylater bisa membantu mahasiswa yang memiliki kebutuhan di luar dari dana yang mereka punya. Namun, mahasiswa juga harus bisa mengatur keuangannya dengan baik.
”Mahasiswa harus memiliki kemampuan cara mengatur keuangan mereka. Soal budgeting, itu yang paling basic. Mereka harus tahu bagaimana cara mengatur prioritas,” tutur Budi.
Budi mengingatkan, mahasiswa perlu menyisihkan sebagian uang saku untuk mengantisipasi kebutuhan mendadak sehingga tidak mudah tergiur layanan paylater. Penting juga untuk memisahkan antara kebutuhan dan keinginan. Mengatur keinginan disebutnya sebagai salah satu modal dasar dalam mengatur keuangan.
”Ketika kita ingin membeli barang yang kurang prioritas, tanyakan pada diri sendiri, apakah sudah saatnya saya memilikinya, apakah saya punya kapasitas keuangan untuk memiliki? Dan, apakah ini tidak akan mengganggu keuangan saya yang lain?” kata Budi.
Baca juga: Utang Pinjaman Daring di Jakarta Tembus Rp 10,5 Triliun
Budi menambahkan bahwa saat ini ada fenomena Diderot Effect atau kecenderungan seseorang untuk membeli barang-barang baru. Ini bisa terjadi ketika seseorang membeli barang untuk menunjang gaya hidup. Hal ini bakal diikuti oleh pembelian barang sejenis. Akibatnya, orang itu tidak mampu melakukan delay gratification atau menunda perilaku konsumtif yang bertujuan kesenangan.
Hadirnya layanan teknologi finansial ini memang mendekatkan anak muda ke mimpinya. Namun, jangan terlena hingga lupa mengukur kemampuan membayar utang. Ingatlah bahwa per Mei 2023, nilai utang warga Jakarta di platform pinjaman daring mencapai Rp 10,5 triliun. Jangan sampai kamu menjadi salah satunya.
Kolaborasi dengan Intern Kompas: Aghniya Fitri Kamila, Jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia