Belanja Membuat Hati Senang
Benarkan terapi ritel yang bisa menyenangkan hati sebagai salah satu bentuk terapi?
Perasaan senang dan bahagia bisa muncul setelah kita berbelanja barang yang disukai. Kegiatan belanja disebut terapi ritel jika mengubah perasaan negatif menjadi positif. Fenomena ini muncul di kalangan anak muda yang ingin melepas stres.
Pernahkah Anda menonton film Confessions of a Shopaholic? Film tahun 2009 yang diadaptasi dari novel seri Shopaholic karangan Sophie Kinsella ini menceritakan kehidupan Rebecca Bloomwood, jurnalis perempuan yang kecanduan berbelanja dan harus membayar utang yang besar di bank. Ironinya, Rebecca sendiri menulis untuk kolom nasihat finansial.
Salah satu kalimat Rebecca, yakni “When I shop, the world gets better, and the world is better, but then it's not, and I need to do it again”,mungkin menggambarkan perasaan orang-orang yang memilih melakukan terapi ritel (retail therapy) untuk melepaskan stres.
Penelitian Leonard Lee (2015), profesor pemasaran dari National University Singapore yang berjudul ”The Emotional Shopper Assessing the Effectiveness of Retail Therapy”, mengukur efektivitas terapi ritel dalam memengaruhi perasaan seseorang. Ditinjau dari berbagai sumber literatur, terapi ritel menggambarkan kegiatan belanja atau pembelian barang tertentu sebagai metode untuk memperbaiki atau meringankan perasaan negatif seseorang, misalnya seperti perasaan sedih atau rendah diri.
Dalam penelitian ini, Lee menemukan perasaan negatif sering kali mendorong konsumen untuk berbelanja atau melakukan pembelian yang tidak direncanakan sebagai wujud terapi ritel. Terapi ritel bisa dianggap berhasil bila seseorang bisa mengontrol barang apa yang akan dibeli. Walaupun begitu, penelitian Lee juga menggarisbawahi bahwa terapi ini bekerja sampai batas tertentu. Artinya, terdapat berbagai risiko negatif yang sangat perlu diantisipasi.
Kondisi inilah yang dilakukan oleh Esterdita (23), seorang mahasiswa dari London School of Public Relation yang pernah melakukan terapi ritel sebagai salah satu caranya membangkitkan perasaan senang di kala lelah dengan pekerjaan. ”Biasanya belanja tuh sebagai achievement karena selama ini capek kuliah atau kerja, jadi karena itu (belanja) mood gue jadi happy lagi,” ungkap Ester, ketika ditemui di daerah Bintaro, Tangerang Selatan, Rabu (27/07/2023).
Ester menyebut dampak yang dirasakan setelah berbelanja adalah rasa senang dan kembali semangat. Ia biasanya akan membeli berbagai macam barang, mulai dari baju hingga make up, menggunakan uang gaji yang telah disisihkan. Meski begitu, Ester menyadari hal ini akan berdampak buruk untuknya jika dilakukan setiap bulan. Oleh karena itu, ia sering menahan diri agar tidak belanja berlebihan. ”Gue juga sering nahan (untuk tidak belanja), lebih ke arah liat dulu barangnya masih ada atau ga, masih guna atau ga. Jadi belanjanya bisa agak dikurangin,” katanya.
Hal ini juga dirasakan Michelle Madeira (21), mahasiswi Universitas Indonesia. Hampir setiap bulan, Michelle berbelanja melalui aplikasi daring. Di bulan ini saja, Michelle mengaku telah melakukan 48 transaksi belanja, mulai dari produk skin care, pakaian, aksesori, dan lain-lain.
”Proses gue mencari barang itu membutuhkan waktu yang lama dan justru proses ini yang membuat gairah gue bangkit, bukan pada saat barang itu sampai. Dengan scrolling, membandingkan berbagai produk, misalnya berdasarkan harga dan rating, gue merasa puas ketika mendapatkan satu barang yang menurut gue worth it setelah nyari lama. Lalu pas check out dan berhasil dapet diskon secara rebutan, itu jauh membuat gue merasa puas,” cerita Michelle dengan bersemangat ketika dihubungi melalui telepon pada Rabu (26/7/2023) malam.
Michelle mengatakan, dirinya sering kali mencoba metode lain untuk melepas rasa stres, tetapi ia merasa metode terapi ritel inilah yang paling cocok bagi dirinya. ”Gue rasa prosesnya enggak sekena kalau melakukan retail therapy. Proses dari gue milih sampai check out yang bisa memakan waktu sampai empat hari dan selama proses itu, gue bisa maintain good mood. Jadi, kepuasannya lebih berkelanjutan gitu daripada dengan makan atau jalan-jalan,” tukas Michelle.
Tak hanya Ester dan Michelle, terapi ritel ini juga dilakukan oleh Nathan Ejakalu (22) yang merupakan mahasiswa dari Universitas Multimedia Nusantara. Ia menceritakan terapi ritel kerap diterapkan ketika sedang berada di masa sulit yang membuat perasaannya sedih. ”Pernah, dulu pas lagi bete dan sakit hati karena ke tolak PTN sama waktu putus cinta,” ucap Nathan.
Nathan biasanya akan berbelanja pernaik-pernik otomotif supaya hati lebih senang. Hal ini dipilihnya karena sejak kecil dirinya menyukai otomotif, khususnya motor. “Retail therapy versi gua itu dandanin motor. Gua suka sama hal-hal otomotif jadi dandanin motor bisa jadi pelarian gua,” sebut Nathan.
Dengan melakukan modifikasi kepada motornya, Nathan merasa perasaan sedihnya perlahan hilang. ”Sebelumnya rasanya sedih banget malah. Tapi setelah melakukan hal yang gua inginkan dan yang gua suka, melihat motor kesayangan gua jadi makin keren jadi kesenangan tersendiri bagi gua,” jelasnya.
Nathan menggunakan tabungan untuk mempercantik sepeda motornya. Belum memiliki sumber pendapatan yang tetap menjadi salah satu alasan Nathan menahan diri agar tidak belanja berlebihan. ”Cara menahan diri dengan sadar diri dan pinter-pinter mengelola uang untuk keperluan lainnya,” tutup Nathan.
Menolong diri
Lucia Peppy Novianti, psikolog Wiloka Workshop Yogyakarta, mengingatkan apakah terapi ritel merupakan sebuah terapi atau sebagai bentuk menolong diri sendiri. ”Retail therapy memang konsep yang digagas profesional pada tahun 1994. Bahwa melalui belanja, seseorang bisa menghasilkan positive emotion response. Dalam terapi profesional, artinya ada protokol dalam prosesnya. Namun, ketika dilakukan mandiri, ini lebih seperti self help, karena proses terapi itu ada banyak protokolnya,” kata Lucia.
Lucia beranggapan bahwa dampak dari terapi ini sangat bergantung pada setiap orang. Hal ini menimbang bahwa bentuk terapi memang harus disesuaikan dengan persoalan seseorang, ”Retail therapy itu bisa saja efektif karena memang ada temuan bahwa aktivitas belanja bisa terapeutik. Sayangnya, retail therapy ini sering misleading. Enggak tahu permasalahannya apa, tapi langsung milih retail therapy. Jadi retail therapy malah dijadikan ’kambing hitam’ supaya bahagia,” tegas Lucia.
Baca juga: Jangan Malu Baca Bukumu
Lucia juga melihat sebagian orang cenderung memilih terapi ini dibandingkan mengeluarkan uang untuk konseling. Hal ini, menurut dia, tidak lepas dari stigma terhadap orang yang pergi ke psikolog. ”Akhirnya, mereka lari ke internet untuk mencari informasi dan itu enggak salah, tapi tetap harus aware. Ketika logika masih cukup mampu bernalar, maka proses self help seperti ini masih efektif, tapi ketika sudah tidak bisa, itu tanda perlu didampingi oleh profesional,” kata Lucia.
Menurut Lucia, tidak salah seseorang memilih terapi ritel sebagai metode melepas stres, asalkan orang tersebut sadar risikonya. Sebaiknya, seseorang menyesuaikan kemampuan belanjanya. ”Tipis banget perbedaan pengin bahagia dan pengin barang X, yang dimaksud retail therapy bukan tentang pengin barang, tapi shopping-nya itu sendiri sudah buat bahagia,” tukas Lucia.
Bagi mahasiswa, Lucia memberikan sedikit tips. Apabila ingin berbelanja untuk menaikkan rasa bahagia, sebaiknya mahasiswa juga menabung uang saku. Terapi ritel bukan satu-satunya cara untuk mencari bahagia.
Kolaborasi dengan Peserta Intern Kompas:
- Aurelia Tamirin, Mahasiswa Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia
- Alethea Pricila Sianturi, Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara