Anak muda tak perlu ragu memilih buku bacaan. Lebih keren lagi apabila bisa bergabung ke klub buku.
Oleh
MARIA SUSY BERINDRA
·5 menit baca
Membaca buku menjadi salah satu kegiatan yang dilakukan manusia, bisa untuk pendidikan atau hiburan. Setiap orang memiliki buku bacaan favorit. Tak masalah apabila buku bacaanmu tak sama dengan orang lain. Tak perlu malu membaca bukumu.
Berdasarkan survei ”Tingkat Kegemaran Membaca Nasional” oleh Perpustakaan Nasional, memasuki tahun 2021, kegemaran membaca masyarakat Indonesia mulai meningkat di kategori sedang. Survei tersebut menyebutkan, dari skala 1 hingga 100, masyarakat Indonesia berada di skala 59,92. Hal ini menunjukkan masih perlunya peningkatan kegemaran membaca masyarakat Indonesia yang lebih merata (Kompas.id, 6/7/2022).
Gerakan untuk mendorong literasi membaca terus diusahakan pemerintah dan banyak pihak. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah memperbanyak perpustakaan hingga membangun taman literasi.
Perpustakaan Taman Literasi Martha Tiahahu yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menjadi salah satu pilihantempat membaca yang nyaman. Koleksi buku yang ada di perpustakaan bervariasi, mulai dari buku anak-anak, novel remaja, hingga buku ilmu pengetahuan. Selain koleksi buku yang beragam, tempat yang strategis juga menjadi alasan perpustakaan tersebut ramai didatangi anak muda.
Makkah Ramadhan atau Kaka (23), mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia sekaligus sukarelawan pustakawan di Perpustakaan Taman Literasi Martha Tiahahu, menceritakan, tiap hari ramai anak muda membaca buku di taman literasi tersebut.
”Setiap hari yang datang ke perpustakaan ini cukup banyak dan genre buku yang dibaca sehari-hari di sini tuh beragam banget. Pembaca yang datang ke sini juga enggak cuma baca terus tutup, tapi bener-bener baca. Perpustakaan ini emang dihadirkan supaya terjangkau untuk masyarakat, khususnya di Jakarta Selatan,” ucap Kaka saat ditemui di Perpustakaan Taman Literasi Martha Tiahahu, Kebayoran Baru, Jumat (30/6/2023).
Tak hanya di perpustakaan, beberapa orang lebih suka membaca buku di rumah sambil bersantai.Marcella (22), mahasiswa Jurnalistik dari Universitas Multimedia Nusantara, yang menyukai berbagai genre buku, mulai dari fiksi misteri hingga romansa, ini lebih memilih membaca buku di rumah dibandingkan dengan ke perpustakaan.
”Lebih suka baca sendiri sebenarnya dan di rumah dibandingkan dengan ke perpus (perpustakaan) karena lebih suka posisi yang nyaman dan tenang. Kalau lagi pengin ke perpus, ketika mau mencaribuku yang lebih lengkap,”kata Marcella ketika ditemui di Gading Serpong, Kabupaten Tangerang, Jumat (30/6/2023).
Fenomena ”book shaming”
Di tengah meningkatnya minat baca masyarakat Indonesia, ada fenomena book shaming yang muncul di media sosial. Misalnya, ketika seseorang mengunggah foto buku yang sedang dibacanya, tiba-tiba banyak komentar negatif dari warganet. Komentar itu bisa jadi mempermalukan orang yang sedang membaca buku tersebut.
Marcella merupakan salah satu yang pernah mengalami book shaming ketika masih di bangku sekolah. ”Sebenarnya bukan di-bully. Tapi, mungkin diolok-olok, ya. Pas zaman sekolah di SMP atau SMA, aku sering baca novel teenlit yang ringan dan khas remaja banget. Lalu, sering di-kataingitu sama beberapa teman sekelas kayak ’Ih, ngapain baca novel kayak gitu, alay banget sih,’” cerita Marcella.
Meski diatidak melakukan perlawanan atau membela diri, ejekan itu membuatnya malu,bahkan berhenti membaca buku.Marcella sempat menghindari novel yang bertema percintaan meski dia sangat menyukainya. Namun, tak lama kemudian, dia tak peduli terhadap apa yang diomongkan orang lain. ”Tapi, setelah itu, kita jadi biasa lagi, gak peduli omongan orang selama buku itu bikin aku enjoy,” ujarnya.
Sri Wahyuni atau Nunik (21), mahasiswa Universitas Indonesia,juga merasakan hal tersebut.Nunik yang aktif di komunitas klubbuku menceritakan bahwa dirinya pernah merasakan book shaming karena genre buku yang dibacanya. ”Kalau kuliah, aku suka bawa buku, terus aku di-tanyain karena buku yang kubawa sering kali adalah buku-buku fiksi,” ungkapnya.
Nunik juga menceritakan adiknya yang tak mau lagi menunjukkan buku yang sedang dibacanya. ”Adikku yang suka baca Manga, dia enggak akan bilang dia suka Manga kepada semua orang. Padahal, buku, kan, enggak ada hierarkinya dan semuanya punya nilai. Aku rasa perlu sekali kesadaran dan empati akan preferensi buku setiap orang dan enggak membuat orang merasa inferior,” tutur Nunik.
Desvita Tria (21), mahasiswi yang juga aktif dalam komunitas literasi dan seni bernama Binokular, menganggap book shaming bisa membuat seseorang merasa direndahkan. ”Book shaming ini bisa banget bikin orang jadi mempertanyakan aktivitas membaca mereka dan jadi punya pikiran negatif akan keputusan mereka memilih membaca buku tertentu,” kata Vita, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia.
Menurut Vita, setiap orang bebas punya preferensidalam menikmatiliteratur yang sangat subyektif. ”Enggak bisa dipaksakan kepada orang lain,” ucap Vita.
Untuk menghadapi komentar pedas soal buku bacaan, ada beberapa tips yang disampaikan Harun Harahap, moderator Goodreads Indonesia. Menurut Harun, setiap orang memiliki alasan membaca genre buku tertentu.
”Kalau kamu mengalami book shaming, ada dua cara. Jika kamu tidak punya energi atau pelaku book shaming tidak layak mendapatkan perhatianmu, abaikan saja omongan mereka. Bacalah apa yang kamu ingin baca karena kamu yang paling tahu alasan kenapa kamu baca buku tersebut,” kata Harun.
Namun, tambah Harun, jika kita merasa pelaku perlu pencerahan, maka jelaskanlah alasan membaca buku tersebut. Harapannya, siapa saja bisa menghargai pilihan kita. Siapa tahu, mereka juga tertarik membaca buku yang sudah kalian baca.
Selain itu, Harun juga mengajak anak muda bergabung dengan klub buku. Tentu saja, banyak keuntungan yang bisa diraih dengan memiliki teman-teman yang memiliki minat yang sama.
”Bergabung dengan klub buku tentu banyak manfaatnya, seperti dapat mengetahui opini dan sudut pandang orang lain terhadap sebuah buku. Hal ini akan memperluas wawasan kita dan membuat kegiatan membaca jadi lebih seru,” kata Harun.
Kolaborasi dengan Peserta Intern Kompas:
- Aurelia Tamirin, Mahasiswa Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia
- Alethea Pricila Sianturi, Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara