Tes psikologi yang beredar di media sosial belum tentu benar. Bila memiliki masalah kesehatan mental, disarankan untuk pergi ke psikolog.
Oleh
MARIA SUSY BERINDRA
·5 menit baca
Perkembangan teknologi telah memudahkan setiap orang mencari jawaban atas persoalan yang dihadapi. Namun, tidak semua jawaban yang disediakan internet benar. Salah satu informasi yang beredar di media sosial terkait dengan kesehatan mental. Tak peduli informasi itu benar atau salah, lalu muncullah fenomena self diagnosis yang dilakukan banyak orang,termasuk kaum muda.
Belakangan, konten di berbagai platform media sosial kerap membahaskesehatan mental. Salah satuyang sering dibahas adalah ciri-ciri seseorang memiliki masalah kesehatan mental. Konten tersebut memberikan dampak positif karena mengedukasi penonton untuk menyadari ciri-ciri kesehatan mental. Meski begitu, informasi seperti itu juga dapat membuat sebagian orang melakukan self diagnosis.
Salah satu permainan untuk mendiagnosis diri sendiri yang berseliweran di media sosial adalah Put a Finger Down. Siapa saja bisa membuat ”tes kesehatan mental” ini untuk dimainkan warganet. Kreator konten memberikan beberapa pertanyaan. Jika jawabannya benar, jari kita scroll ke bawah sehingga indikasinya semakin banyak masalah yang ada pada diri kita.
Irene Putri (22), mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, sempat beberapa kali mencari informasi kesehatan di media sosial. ”Biasanya, kalau lagi merasa suatu yang aneh itu, cari atau kadang lagi scroll tiba-tiba keluar (konten kesehatan mental),” ucapnya saat ditemui di kawasan Gading Serpong, Tangerang, Banten, Selasa (6/6/2023).
Dia mengaku sempat melakukan tes kesehatan mental secara online. Menurut dia, hasil yang didapatkan tidak semua benar lantaran hanya sebatas apa yang sedang dirasakan saat itu. ”Aku pernah tes tentang stres di online. Sebenarnya itu hasilnya 50 persen akurat, 50 persen enggak. Tapi, aku enggak pernah self diagnosis sendiri karena itu enggak berdasarkan pendapat ahli, jadi cuma apa yang kita rasain. Tapi, kadang hasilnya valid karena lembaga tesnya resmi,” ucap Irene.
Setelah coba melakukan tes tersebut, Irene menjadikan hasil tes sebagai salah satu alat untuk introspeksi diri. ”Jadi, setelah ikut tes itu, kalau aku pikir harus take action apa untuk menanggulangi masalah itu, at least untuk diri sendiri dulu sebelum pakai psikolog atau psikiater,” katanya.
Berbeda dengan Irene yang sempat mencari konten mengenai kesehatan mental, Melati Pramesthi (22) mendapatkan konten kesehatan mental secara tidak sengaja melalui media sosial. ”Kebetulan aku enggak pernah cari karena biasanya (konten kesehatan mental) itu muncul karena enggak sengaja di FYP Tiktok atau timeline Instagram,” ujar Melati.
Konten yang ditemui bervariasi mulai dari video pengalaman seseorang terkena masalah kesehatan mental hingga tulisan-tulisan yang mengandung tanda terganggunya kesehatan mental. Seusai melihat konten tersebut, diabeberapa kali sempat merasa cocok dengan hasilnya. ”Waktu lihat kontennya, aku kadang merasa relate, tapi kadang juga enggak. Kalau relate, aku bisa pikirin terus,” ucapnya.
Melati penasaran melihat banyak konten yang menawarkan tes diagnosis diri sendiri. ”Setelah aku mikirin itu, aku jadi wondering saja, apakah beneran akurat dan beneran terjadi ke aku atau cuma sugesti saja,” curhatnya.
Eltania (22), mahasiswa Jurusan Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana, mengatakan, konten seperti ciri-ciri atau tanda kesehatan mental terganggu menjadi topik yang kerap dicari, terlebih saat masa sulit. ”Biasanya pas lagi down, iseng buka Tiktok, terus kadang lihat FYP tentang konten kesehatan mental yang relate dan itu bikin gue makin percaya ’oh, gue ginitoh’,” kata Elta.
Mahasiswa yang berdomisili di Salatiga ini menyadari tindakan self diagnosis bukanlah hal yang benar. Terlebih sebagai mahasiswa psikologi, dia pernah mendapatkan pembahasan mengenai self diagnosis lebih mendalam. Dia dan mahasiswa lain kerap diingatkan oleh sang dosen untuk tidak ”termakan” konten di media sosial.
”Dosen gue pernah bilang untuk enggak boleh self diagnosis soalnya semakin ke sini ada beberapa medsos yang bisa jadi pengantar ke self diagnosis yang enggak pasti,” kata Elta.
Deteksi dini
Saat ini, dengan banyaknya konten di media sosial, kita diharapkan lebih bijak memilih mana yang benar. Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial Pusat Kesehatan Jiwa Nasional RS Jiwa dr H Marzoeki Mahdi Bogor dr Lahargo Kembaren, SpKJ mengatakan, self diagnosis dapat dipahami sebagai aktivitas mendiagnosis diri sendiri atas suatu penyakit tertentu berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Biasanya, seseorang mulai mendiagnosis diri sendiri setelah menjumpai informasi di media sosial.
”Self diagnosis dapat disebabkan oleh rasa ingin tahu dari individu yang khawatir atau takut untuk datang ke (tenaga) profesional kesehatan jiwa karena stigma, biaya, atau alasan lain. Kemudian, seakan dijawab denganinformasi di internet yang sering tidak memiliki dasar ilmiah. Selain itu, romantisasi isu kesehatan jiwa yang sedang menjadi tren menyebabkan semakin banyak orang melakukan self diagnosis,” ujar Lahargo.
Informasi terkait gejala penyakit tertentu kerap terlalu menyederhanakan penjelasan suatu penyakit. ”Misalnya, depresi tidak sama dengan sedih karena hari yang buruk, ADHD tidak sama dengan kurang fokus, panic disorder tidak sama dengan perasaan takut sesaat, OCD tidak sama dengan orang yang serba teratur, ataupun bipolar tidak sama dengan orang yang moody,” ucap Lahargo ketika menjelaskan salah persepsi atas gejala tertentu.
Lahargo dengan tegas menyatakan, self diagnosis sangat tidak tepat untuk dilakukan.Self diagnosis dapat mengakibatkan under diagnosis ataupun overdiagnosis. Under diagnosis akan mengabaikan penyakit yang sebenarnya berat sehingga berakibat fatal, sedangkan overdiagnosis akan mengakibatkan seseorang menjadi takut dan panik karena merasa sudah terkena penyakit yang berat.
”Bisa juga mengakibatkan misdiagnosis atau diagnosis salah yang berdampak pada penanganan yang salah,” kata Lahargo.
Lahargo menyarankan agar setiap individu memiliki self awareness atau kesadaran akan keluhan diri sendiri sebagai upaya deteksi dini. ”Deteksi dini dapat dilakukan di puskesmas, rumah sakit, psikiater, psikolog, dan rumah sakit jiwa. Pemeriksaan yang dilakukan mulai dari wawancara, pemeriksaan lab, tes kesehatan mental, hingga tes psikologis lainnya,” katanya.
Bagi kaum muda, Lahargo memberikan sebuah tips. Disarankan, kaum muda jangan melakukan tes kesehatan jiwa dari sumber yang tidak kredibel atau melakukan diagnosis mandiri berdasarkan informasi dari media sosial, lalu membandingkan gejala dengan orang lain.
”Teman-teman dapat mengunjungi www.pdskji.org untuk melakukan swaperiksa masalah psikologis secara daring. Lalu, segera konsultasi ke profesional jika mengalami gejala gangguan jiwa agar mendapat diagnosis yang pasti dan terapi yang tepat,” ujarnya.
Kolaborasi dengan Peserta Intern Kompas:
- Aurelia Tamirin, Mahasiswa Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia
- Alethea Pricila Sianturi,Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara