Gustira Monita menekui kesenian tradisional Aceh dengan bermain alat musik perkusi rapai. Selain itu, kuliah di jurusan seni tari mendorong Gustira untuk terus berkarya.
Oleh
MARIA SUSY BERINDRA
·4 menit baca
Kesenian tradisional Aceh sudah melekat dalam diri Gustira Monita sejak kecil. Darah seniman dari keluarga orangtuanya melekat dalam diri Gustira yang menekuni bermain rapai, alat musik perkusi dari Aceh. Rapai lebih sering dimainkan kaum laki-laki, jarang dimainkan oleh perempuan. Namun, Gustira mampu mengimbangi pukulan-pukulan rapai sama seperti yang dimainkan para laki-laki Aceh.
“Kalau ada perempuan yang memainkan alat musik itu, pandangan masyarakat sedikit berbeda. Orang-orang di sekitar saya juga kaget, aku bisa main rapai, tetapi mereka merespons positif,” kata Gustira lewat wawancara daring dari St Petersburg, Rusia, Rabu (22/3/2023). Saat ini, Gustira sedang menempuh pendidikan S-2 bidang manajemen seni pertunjukan di St Petersburg University of Art and Culture.
Sejak kecil, Gustira sudah sering melihat ayah, ibu dan kakak-kakaknya bermain alat musik tradisional. Dia belajar menabuh rapai juga belajar dari sang bibi. Bakat seni diturunkan dari kakek Gustira yang bernama Abdullah Syeh Kilang, seniman serba bisa dari Tanah Gayo.
Lalu, menginjak SMP, Gustira mulai berani tampil di panggung. Bersama teman-temannya, dia mendirikan grup musik. Dia semakin tekun belajar rapai. Hingga kemudian, saat kuliah di Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dia bergabung dengan Seuniman Rapa’i Aceh Yogyakarta (Seuraya) yang beranggotakan para laki-laki.
Sebagai perempuan muda Aceh yang ingin menggerakkan seni budaya, Gustira tergerak untuk terlibat aktif di Seuraya. Meski awalnya, banyak anggota lain yang memmpertanyakan kehadiran dirinya sebagai pemain rapai. “Mereka bertanya, gimana nih tanggapan masyarakat kalau saya ada di Seuraya. Sampai kemudian, saya ikut tampil di sebuah acara, dan banyak yang tertarik dengan permainan saya. Seuraya jadi naik daun,” kata Gustira yang menguasai teknik pukulan bur’am, gerimpheng dan gegedem Gayo.
Setelah itu, Gustira menjadi lebih akrab dengan anggota Seuraya lainnya. Hubungan mereka sudah seperti saudara yang saling menghargai, berbagi dan membantu satu sama lain. Cinta Gustira untuk rapai pun semakin besar. Gustira yang terinspirasi dengan tari Saman Gayo Lues oleh para penari perempuan dan tari Ratoh Jaroe.
”Ketika bermain rapai, energi dan jiwa saya sangat bersemangat, sesuai dengan semangat rapai. Orang Aceh sangat menggebu-gebu untuk kesenian daerah. Dengan rapai, jiwa saya sangat bebas,” ujar Gustira.
Dengan kepiawaian bermain rapai, Gustira sudah tampil di banyak event, seperti Pekan Kebudayaan Aceh serta pengiring tari Ratih Jaroe dan Ranup Lampuan di Yogyakarta. Selain itu, dia juga tampil dalam beberapa event kolaborasi musik etnis Aceh, seperti Festival Burni Telong, Festival Alas Gayo dan musik pembuka MTQ Aceh ke-35 tahun 2022.
Setelah lulus dari ISI Yogyakarta, Gustira menjadi guru ekstrakurikuler seni budaya di SD Puja Mulia, Bener Meriah, Aceh. Saat menjadi guru, Gustira mencari bakat-bakat baru pemain rapai. Meski belum menemukan generasi muda yang mau menekuni rapai, Gustira tak berputus asa.
Menari
Selain bermain rapai, Gustira juga berbakat di bidang kesenian lainnya. Dia bisa bermain gitar, piano dan biola. Gustira juga pandai menari tradisi dan modern. Selama kuliah, dia sudah menciptakan puluhan tarian.
“Untuk karya tari, saya dapat inspirasi lebih banyak dari kegiatan sosial tradisi masyarakat yang kemudian saya kemas dalam kreasi baru. Selain itu juga muncul dari pengamatan sosial, buku bacaan dan eksplorasi,” kata Gustira.
Salah satu karya tari yang membanggakan bagi Gustira adalah tari Ketibung yang tampil di acara International Dance Day tahun 2019. “Karya tari yang paling saya suka adalah Luding, tarian tunggal yang saya tarikan sendiri. Tarian itu dipentaskan di International Mask Festival 2022. Festival diikuti para penari professional mancanegara,” ujarnya.
Kini, saat kuliah di St Petersburg, Gustira tetap menunjukkan kecintaannnya pada seni tradisional. Dia bergabung dengan komunitas seni tradisi, salah satunya yang berasal dari negara-negara di kawasan Timur Tengah. Bagi Gustira, seni musik yang menggunakan perkusi dari Aceh dan Timur Tengah hampir sama sehingga mudah dipelajari.
Gustira Monita
Lahir: Aceh, Agustus 1998
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Puja Mulia
- SMP Negeri 1 Bandar
- SMA Negeri 1 Bandar
- Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta (Lulus 2020)
- St Petersburg University of Art and Culture ( 2022-sekarang)
Organisasi, antara lain:
Seuraya (Seuniman Rapa'i Aceh Yogyakarta)
Sanggar Cut Nyak Dhien Yogyakarta
Sanggar Lungun Gayo Yogyakarta, Burni Telong Etnik Gayo
Sanggar Mayang Serungke Bener Meriah
Pendiri Gayo Arts Studio
Prestasi, antara lain:
Juara 1 Vokal Grup Pelajar (2011-2013)
Duta Wisata Bener Meriah, kategori Favorit (2015)
Juara 1 Olimpiade Olah Raga Siswa Nasional Cabang Catur Tunggal Putri 2013-2016
Cipta dan Baca Puisi Malam Puncak Kemerdekaan RI-GOS Takengon, 2014-2015
Juara 1 Festival Teater Takengon 2022
Karya tari, antara lain:
Munapi, Bunge, Canang Berok (2012)
Party Jompo, Ketibung (2019)
Kupia, Behind The Mask (2020)
Uren, Haro-hara, Pesejuk (2021)
Gajah Putih (Mask Dance), Luding (international mask dance), Mungaro II, Ampang 2022