Bagi mahasiswa jurusan Sastra Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Alma Nanda Kayana buku tetap dijadikannya sebagai referensi dalam mengerjakan berbagai tugasnya.
Oleh
RIANA A IBRAHIM, BUDI SUWARNA
·4 menit baca
Era digital berangsur-angsur mengubah cara mahasiswa berkuliah. Jika mahasiswa di era ”analog” mengandalkan buku sebagai materi perkuliahan, kini banyak mahasiswa mengandalkan materi perkuliahan dalam bentuk Power Point, fotokopi ringkasan buku, atau ulasan artikel jurnal yang bertebaran di internet.
Dayat, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di selatan Jakarta, sudah hampir enam tahun kuliah. Selama itu, ia mengaku hanya mengoleksi tidak lebih dari 20-an buku fisik dan puluhan artikel jurnal elektronik atau buku elektronik di kamar indekosnya. Itu pun bukan buku referensi kuliah, tetapi buku-buku berisi motivasi.
Ia merasa tidak memerlukan buku referensi perkuliahan karena dosen-dosennya telah menyediakan fotokopi ringkasan buku atau poin-poin perkuliahan dalam bentuk Power Point (PPT) yang dibagikan kepada mahasiswa.
Materi kuliah dalam bentuk PPT atau fotokopian ringkasan buku, lanjut Dayat, lebih disukai mahasiswa karena sifatnya instan. ”Saya, kan, kuliah ilmu yang praktis. Jadi, bahan seperti PPT sudah cukup memadai,” ujar Dayat, Selasa (6/12/2022), di sebuah kedai kopi di Tangerang Selatan, Banten.
Pada kuliah-kuliah tertentu, lanjut Dayat, dosen menugaskan mahasiswa mengulas artikel jurnal yang bisa diakses dengan mesin pencari. ”Saya biasanya akan cari jurnal yang sudah ada ulasannya di internet. Ulasan itu jadi referensi untuk mengulas jurnal yang sama.”
Dayat menambahkan, selama masa perkuliahan dari rumah di era pandemi, materi PPT dan ulasan jurnal sering digunakan mahasiswa. ”Sampai-sampai ada istilah sarjana PPT untuk mahasiswa yang sampai lulus kuliah mengandalkan PPT ha-ha-ha.”
Karena banyak mengandalkan ringkasan perkuliahan dalam bentuk PPT dan ringkasan buku, Dayat sangat jarang membeli buku. Dia katakan, setahun terakhir ia tidak pernah membeli buku. Yang rutin ia beli adalah kuota internet sebesar Rp 100.000-an per bulan. Kuota internet ia pakai untuk keperluan perkuliahan dan hiburan.
Alma Nanda Kayana, mahasiswa Jurusan Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), juga mengandalkan materi PPT untuk perkuliahan, terutama mengerjakan tugas dan menyampaikan hasilnya. Cara ini dianggap lebih efektif dan mudah dipahami karena yang ditampilkan dalam PPT adalah poin-poin yang penting saja. Sisanya bisa dijelaskan langsung.
Kadang dosen menugaskan mahasiswa secara berkelompok untuk membuat makalah. Untuk membuat tugas seperti itu, kata Alma, buku tetap dijadikan sebagai referensi. Namun, frekuensi penggunaannya tidak dominan. Begitu pula saat penyampaian materi perkuliahan oleh dosen.
Alma mengaku hanya memanfaatkan buku, terutama dalam bentuk digital ketika ia harus mencari sebuah teori yang relevan untuk tugasnya.
”Biasanya saya lihat dulu artikel atau penelitian tentang topik yang mirip dengan yang akan saya kerjakan. Dari situ, saya lihat teori apa yang paling sering dipakai. Jika teori itu ada di sebuah buku, baru saya cari bukunya,” ucap Alma.
Kendati demikian, Alma masih rajin membeli buku. ”Biasanya beli buku baru dua bulan sekali, tapi buku yang dibeli tidak selalu berkaitan dengan perkuliahan. Malah jarang beli buku perkuliahan, seringnya beli buku yang memang ingin saya baca,” ujarnya.
Berbeda dengan Dayat dan Alma, Syamsul Arifin, mahasiswa Aqidah Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengaku jarang memanfaatkan materi ringkasan untuk perkuliahan. Ia lebih mengandalkan buku.
”Saya, kan, mempelajari pemikiran. Kalau bacaannya cuma dari PPT dan ringkasan, saya enggak akan menangkap konteks pemikiran yang sedang saya pelajari,” ujar Syamsul yang memiliki 100-an buku fisik dan ratusan buku elektronik.
Memahami
Dosen Program Studi Digital Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara Rossalyn Asmarantika memahami kebiasaan mahasiswa era sekarang yang lebih mengandalkan materi ringkasan perkuliahan. Untuk mendorong mahasiswanya membaca buku, ia menginformasikan buku referensi apa saja yang perlu dibaca per triwulan. Bukunya rata-rata sudah dalam format digital sehingga diunduh mahasiswa melalui folder yang sudah diberikan oleh dosen.
”Ada mata kuliah yang harus detail, buku apa yang harus dibaca di minggu ke berapa. Tapi, enggak diminta review bacaan, biasanya yang implementatif aja pakai studi kasus karena lebih cepat masuk, ya, saat didekatkan dengan konteks yang bisa ditemui,” ucap Rossalyn.
Begitu pula untuk penyampaian hasil tugas, umumnya para mahasiswanya diminta membuat proyek yang dipresentasikan dalam bentuk video atau hal lainnya di luar PPT. ”Keilmuan yang saya ajarkan kebetulan ada produk jadinya, mahasiswanya bisa belajar teori lewat proyek yang dikerjakan itu,” ujar Rossalyn.