Hanya dalam satu-dua bulan, dia sudah bisa menjaring klien. Pada masa menjelang ujian, klien yang datang lebih banyak lagi.
Oleh
WISNU DEWABRATA, SOELASTRI SOEKIRNO, BUDI SUWARNA
·4 menit baca
Mengapa seseorang mau menjadi joki tugas? Seorang joki tugas yang dihubungi Kompas mengatakan, bisnis ini seksi! Maksudnya, menghasilkan cukup banyak uang.
Kami bertemu dengan joki itu di sebuah kedai kopi di selatan Jakarta. Ia laki-laki muda berstatus mahasiswa semester IX jurusan hukum pidana di sebuah perguruan tinggi negeri. Pakaiannya rapi. Cara bicara dan bobot pembicaraannya atas sebuah isu memperlihatkan bahwa ia anak muda yang cerdas.
Ia mengaku menjadi joki tugas sejak awal 2021. Awalnya, ia kesulitan keuangan lantaran ekonomi keluarganya di kampung terdampak pandemi Covid-19. ”Ibu saya hanya petani. Kakak saya semuanya sedang down. Saya enggak mungkin minta uang pada mereka. Jadi, saya bertekad mencari uang sendiri. Tetapi, waktu itu belum tahu harus bagaimana,” ujar anak muda yang menyebut dirinya dengan nama beken Projustitia itu.
Suatu ketika, temannya meminta dia membantu mengerjakan paper. Ia kerjakan tanpa berpikir soal imbalan. Ternyata sang teman memberi dia uang ucapan terima kasih sebesar Rp 50.000. Berikutnya teman yang sama minta bantuan lagi dan memberi uang Rp 100.000. ”Dari situ saya lihat peluang mencari uang sebagai joki tugas,” katanya.
Memasuki tahun 2021, dia membuat akun media sosial di Instagram yang menawarkan jasa mengerjakan tugas kuliah khusus masalah hukum yang ia kuasai.
Hanya dalam satu-dua bulan, dia sudah bisa menjaring klien. Pada masa menjelang ujian, klien yang datang lebih banyak lagi. ”Lantas terjadi ledakan luar biasa. Saya pernah begadang setiap malam selama satu bulan untuk mengerjakan tugas klien,” ujarnya.
Dia menduga ledakan permintaan jasa perjokian terjadi karena selama perkuliahan daring para dosen memberikan banyak sekali tugas kepada mahasiswa. Akibatnya, mahasiswa kewalahan dan membutuhkan jasa joki untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka.
Tugas yang ia kerjakan mulai dari kuis, materi presentasi, paper, skripsi, hingga tesis. ”Pernah juga mengerjakan paper untuk kompetisi bidang hukum. Dan, klien yang paper-nya saya buatkan itu menang, ha-ha-ha,” ujarnya.
Sejauh ini, hampir semua kliennya puas dengan jasa yang ia berikan. Ia tidak pernah meng-copy paste materi dari satu tugas ke tugas lain. Setidaknya, kalimat dan susunannya ia ubah sedemikian rupa agar tidak mudah terdeteksi peranti lunak antiplagiasi.
Ia mengaku, selama setahun lebih beroperasi, ia memiliki 100 lebih pelanggan. Sebagian besar perempuan. Mereka mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di banyak daerah, mulai dari Aceh, Medan, Palembang, Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, sampai Ambon.
Sebagian dari mereka menggunakan jasa joki karena tidak sanggup mengerjakan tugas yang bertumpuk. Sebagian lagi karena malas.
Dengan menjual jasa sebagai joki tugas, ia telah mendapat cukup banyak uang yang bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai kuliah adiknya. Ia juga merasa jadi lebih pintar karena mempelajari banyak hal. ”Saya baca banyak buku, termasuk yang bukan bidang saya, agar bisa mengerjakan tugas klien.”
Ia tidak mau ambil pusing soal etika. ”Saya, kan, membantu orang. Saya mentransfer ilmu saya ke klien. Saya minta mereka pelajari dan pahami. Secara etis saya selesai di situ. Selebihnya, ada di tangan klien. Mereka berusaha belajar enggak dari situ?” tambahnya.
Desakan ekonomi
Angel, mahasiswa perguruan swasta terkemuka di Jakarta, juga mencari uang sebagai joki tugas lantaran desakan ekonomi. Sebagai anak yatim piatu, ia mesti mencari uang sendiri untuk membayar uang kuliah, uang indekos, dan menutup biaya hidup sehari-hari. Ia merasa punya kecerdasan, ketekunan, dan rekam jejak akademik yang baik.
Keunggulan itulah yang ia manfaatkan untuk mencari uang sebagai joki tugas. Ia menetapkan tarif mulai dari Rp 10.000 per lembar untuk materi presentasi hingga Rp 5 juta untuk pembuatan skripsi.
Joki, menurut saya, merupakan salah satu contoh simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua belah pihak. Pihak yang membuka joki akan mendapat uang dan pihak yang minta jasa joki masalahnya terselesaikan.
Ia berpendapat, jasa joki tidak selamanya buruk, tergantung cara pandang dan pada saat apa seseorang membutuhkan jasa joki. Jika jasa joki dipakai terus-menerus, itu buruk karena membuat mahasiswa tidak mandiri. Kalau sesekali tak mengapa.
”Joki, menurut saya, merupakan salah satu contoh simbiosis mutualisme yang menguntungkan kedua belah pihak. Pihak yang membuka joki akan mendapat uang dan pihak yang minta jasa joki masalahnya terselesaikan,” katanya, Kamis (13/10/2022). Dia tidak berpikir bahwa perjokian adalah sebuah kecurangan.
Seorang joki lain yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, ia menyadari perjokian berpotensi melanggar hukum karena hal itu terkait dengan gelar akademis dan hasil penelitian. Oleh karena itu, ia mengaku akan fokus mencari pekerjaan lain. Menjadi joki tugas sekadar pekerjaan sambilan untuk sementara waktu.