Berkarya dengan Kekhasan Diri
Dalam Kompasfest 2022, sejumlah sineas, musisi, dan seniman berbicara tentang pentingnya membuat karya yang memiliki identitas diri
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan berkarya di era kekinian membutuhkan kekhasan yang menunjukkan jati diri. Menjadi tren, viral, atau angka interaksi yang diperoleh di dunia maya adalah bonus, bukan tolok ukur. Karena itu, perlu membuka wawasan melalui banyak medium yang tidak melulu mengikuti algoritma mesin.
Aktris Happy Salma menyadari hal ini jauh sebelum istilah viral dikenal di tengah masyarakat. Dalam sesi konferensi pertama Kompasfest 2022 Presented by BNI bertajuk ”Dari Indonesia untuk Dunia”, di Jakarta, Jumat (19/8/2022), Happy bercerita tentang dirinya terjun ke dunia hiburan selepas mengikuti ajang Gadis Sampul 1995. Salah satunya adalah sinetron.
”Sampai di satu titik, ngerasa kalau bukan ini. Karena sinetron itu, kan, kalau ratingnya tidak bagus, bisa gitu tiba-tiba dipecat atau diberhentikan. Kami jadi kepikiran, kan, kurang apa, ya? Apa saya kurang bagus? Kepikiran dan lama-lama enggak bagus buat mental juga,” tutur Happy yang kemudian memberanikan mendirikan Titimangsa Foundation pada 2007.
Titimangsa yang bergerak di bidang budaya dan banyak menghasilkan karya sastra dalam bentuk kepenulisan hingga seni peran dan pertunjukan ini lahir atas kecintaan Happy terhadap dunia susastra. Di tengah rasa gamang pada kariernya saat itu, Happy kembali menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku karya sastra Indonesia yang membawanya pada karya Ramadhan KH berjudul Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno.
Kisah Inggit ini menjadi karya pembuka Titimangsa yang semula hanya ditonton 50 orang. ”Diperankan sama saya sendiri akhirnya, karena enggak ada yang mau tadinya. Ha-ha-ha. Tapi, karena dengan niat yang baik, punya komitmen, konsisten, dan tidak menyerah, sampai sekarang masih banyak yang mau menonton dan sudah berkali-kali dipentaskan ulang. Dari 50, sekarang sampai 1.500 penonton. Saya menemukan juga orang yang mengerjakan skripsi dan literasi dari karya itu,” ungkap Happy.
Yang disampaikan Happy ini menjadi contoh bahwa viral dan sekadar mengikuti tren bukan segalanya. Saat itu, seni peran lewat pertunjukan atau monolog menjadi sesuatu yang tersegmentasi. Tidak populer. ”Tapi market-nya ada dan itu bisa dikondisikan asal dijalani dengan sungguh dan setia,” kata Happy.
Selain itu, memulai dari sesuatu yang disukai dan dicintai diyakini lebih bertahan lama dan memunculkan jati diri yang selama ini dicari. Persoalan yang dialami anak muda saat ini adalah upaya pencarian jati diri yang kadang justru berhadapan dengan quarter life crisis. Ini pun dialami Happy, yang kemudian kembali pada ketertarikannya di dunia susastra dan mengantarkannya pada banyak karya yang dihasilkan saat ini.
”Karena itu, carilah apa yang kamu cintai karena itu membentengi kamu dari hal-hal yang tak terduga yang ada sekarang ini. Termasuk banyak rasa takut dan cemas. Apalagi ketakutan akan masa depan itu dimiliki oleh semua orang, termasuk orang-orang sebelum kita. Jadi, pelan-pelan saja ikuti apa yang memang kita cintai. Jika ditekuni, usaha tidak akan mengkhianati hasil,” tutur Happy.
Sutradara Ernest Prakasa menyadari pentingnya membuka wawasan dari keinginan diri, bukan karena ikut-ikutan arus. Laki-laki ini sudah jatuh cinta pada film sejak kecil. Ia suka menonton semua genre film meski sampai pada akhirnya memilih untuk fokus pada genre komedi. Ernest tahu dirinya gemar membuat orang lain tertawa.
”Kita jangan sampai terjebak konsumsi karya yang itu-itu saja. Kalau ingin menjadi penyanyi, penulis, pembuat film, referensi kita jangan dari karya idola saja karena kita akan meniru cara mereka berkarya tanpa sadar. Dengan mengonsumsi referensi beragam, kreativitas kita juga beragam,” kata Ernest dalam sesi ”Storytelling for Social Justice”.
Ernest mengingatkan anak muda agar lebih bijak dalam menggunakan media sosial sebagai platform yang memperluas wawasan. Media sosial mempunyai algoritma yang diatur sehingga hanya memberi referensi topik yang menjadi kegemaran pengguna.
Alhasil, pengguna media sosial melihat hal yang sudah diketahui. ”Itu berlawanan dengan semangat memperluas wawasan. Wawasan kita menjadi sempit, tidak kritis, karena enggak mempertanyakan hal yang terjadi. Tanpa sadar kita bermain di sebuah bubble yang sempit,” ujarnya.
Untuk para kreator konten, Ernest menjabarkan, dua hal mendasar yang penting dalam penceritaan suatu narasi, yaitu bagaimana kita memilih isu dan platform. Pemilihan isu harus berdasarkan topik yang betul-betul mengusik hati. Sebagai pembuat film, Ernest sering membahas isu yang bersifat personal, humanis, dan dekat dengan manusia.
Riset akan membantu isu yang akan dibahas menjadi lebih kaya dan multidimensi. Saat membuat film Imperfect (2019) yang diadaptasi dari novel istrinya, umpamanya, Ernest sampai berkonsultasi dengan psikolog.
Selanjutnya, pemilihan platform berkaitan dengan cara kita paling nyaman untuk bercerita. ”Enggak usah ikut arus karena bisa capek sendiri. Pilih platform yang paling sesuai, bisa video, audio, atau menulis. Jadi, pilih sesuai cara kita bercerita, kenali diri sendiri,” kata Ernest yang juga eksis di media sosial.
Ernest menekankan betapa pentingnya seseorang untuk memiliki subyektivitas yang diiringi berpikir kritis dalam bercerita. Subyektivitas membuat cerita menjadi unik dengan sentuhan gaya personal. ”Subyektivitas itu perlu dikenali, dirawat, dan malah bisa menjadi value,” ujarnya.
Menuai respons
Bebas berkarya di era digital turut membuat anak muda bebas untuk membagikan karya dalam beragam bentuk ke berbagai platform. Konsekuensi yang tak terhindarkan adalah karya tersebut akan menjadi konsumsi publik yang menuai respons.
Sheryl Sheinafia menyadari bagaimana karyanya dalam musik bisa memberi dampak yang terasa di kehidupan sehari-hari. Musik selama ini menjadi tempat dirinya untuk menyampaikan pikiran dan perasaan yang tidak bisa disampaikan kepada orang.
”Aku memang enggak bisa mengartikulasi emosi dengan baik, tapi sekarang aku lagi belajar dan memberanikan diri untuk bicara itu. Selama bertahun-tahun, musik itu translator buat perasaan aku,” ujar Sheryl dalam sesi ”Harmony in Life: How Music Affects Us”.
Pada 2020, Sheryl merilis singel ”Okay”. Ia merasakan krisis seperempat abad selama empat tahun terakhir lantaran banyak hal yang dia lakukan, baik sebagai penyanyi, penulis lagu, aktris, maupun pekerja kantoran. Rasa tertekan membayangi. Pada akhirnya, lagu ini menjadi mantra Sheryl bahwa tidak apa-apa untuk beristirahat sejenak.
Baca juga : Mengelola Diri untuk Jiwa Prima
Lagu ”Okay” membuka mata orang-orang di sekitar Sheryl, terutama orangtua, tentang kondisi mentalnya. Sheryl awalnya takut lagu itu membuat persepsi orang tentang dirinya adalah sosok yang rapuh. ”Ternyata itu pemikiran skeptis yang hanya di kepala aku doang,” kata aktris ini.
Senada dengan Happy dan Ernest, Boy William, dalam sesi How to Stay Relevant: Behind the Scene, mengatakan, dia berkarya dari hati. Selain itu, karya dia tidak boleh menyinggung orang, bahkan membawa dampak buruk.
Boy tak pernah mau memakai skrip saat wawancara. ”Biar jawabannya langsung aja, organik, dan enggak terlalu diplomatis. Aku ingin agar percakapan itu real. Ini juga supaya beda dengan konten talk show lain,” kata Boy.
Boy punya mantra khusus agar tidak mudah terpengaruh komentar pedas warganet. ”I just don’t care. Buat apa masukin itu ke kepala kita, nanti kita jadi insecure sendiri. Bisa habis energi kita karena kalau ketemu komentar jelek akan ada lagi komentar yang lain,” ujarnya.