Mengelola Diri untuk Jiwa Prima
Di tengah perkembangan teknologi yang serba cepat dan menawarkan banyak kebebasan, pengelolaan diri dan pengendalian ekspektasi jadi penting. Kebebasan yang kebablasan pun ternyata bisa berdampak pada kesehatan mental.
Di tengah perkembangan teknologi yang serba cepat dan menawarkan banyak kebebasan, pengelolaan diri dan pengendalian ekspektasi menjadi penting. Kebebasan yang kebablasan pun ternyata bisa berdampak pada kesehatan mental yang tidak lagi bisa dianggap sepele.
Belakangan ini, pembahasan mengenai kesehatan mental memang makin banyak. Hal ini tak bisa dimungkiri berkaitan juga dengan meningkatnya kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental. Tidak cukup sehat raga, tetapi juga sehat jiwa.
Berbagai kasus yang berujung pada bunuh diri, seperti yang terjadi pada seorang ibu muda di Garut, Jawa Barat, pada April lalu, dilatari kesehatan mental yang terganggu setelah dipicu perkara rumah tangga. Begitu pula dengan artis peran Marshanda yang belum lama ini juga menyita perhatian karena kesehatan mentalnya. Ada juga berita kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak muda yang ditelusuri ternyata karena gangguan kesehatan mental.
Anak muda pun makin sadar pentingnya kesehatan mental, baik di kehidupan personal, sosial, maupun dunia kerja.
Praktisi kesehatan mental, Adjie Santosoputro, menyatakan, kini adanya kesadaran soal kesehatan mental lintas generasi. Dibandingkan dengan generasi baby boomers, generasi muda saat ini yang mencakup generasi milenial dan generasi Z memang lebih melek soal kesehatan mental.
”Generasi sebelumnya bisa dibilang lebih abai. Kalau generasi sekarang lebih sadar menyikapi kesehatan mental, tetapi yang perlu diperhatikan sebagian bersikap lebai dan sayangnya menjadikan itu sebagai identitas di media sosial agar diakui,” kata Adjie melalui sambungan telepon, Rabu (17/8/2022).
Namun, dari pengalamannya, Adjie melanjutkan, generasi muda sekarang ini secara garis besar mengalami empat masalah kesehatan mental, yakni trauma, kesepian, kecemasan, dan masalah relasi. Banyak faktor yang menjadi pemicu, sebutlah relasi dengan keluarga yang renggang atau interaksi berlebih di media massa dan media sosial.
Trauma, misalnya, bisa terjadi karena anak muda mengalami kejadian pahit pada masa lalu yang berbekas, sedangkan kesepian dapat muncul akibat eksposur berlebih di media sosial tanpa kesadaran melihat diri sendiri dan pembatasan sosial akibat pandemi. Sementara itu, kecemasan bisa timbul lantaran tekanan sosial yang lebih intens sebab anak muda lebih mudah membandingkan diri dengan yang lain.
Adjie menjelaskan, saat anak muda mengalami trauma, kecemasan, dan kesepian, mereka akan kehilangan kepercayaan diri. Rasa takut menjalani hidup dapat terbit.
”Ketika merasa takut, ini akan mendukung mereka untuk bersikap agresif. Jadi, ada korelasi munculnya berita kekerasan di medsos dan berita karena kita mengalami ketakutan menjalani hidup,” ujar Adjie.
Mengacu pada data dari Institute for Health Metrics and Evaluation, lebih dari 792 juta penduduk dunia berhadapan dengan kesehatan mental. Dua gangguan kesehatan mental yang paling tinggi dialami adalah gangguan kecemasan dan depresi. Begitu pula dengan Indonesia, prevalensi dua jenis gangguan kesehatan mental ini terus meningkat selama hampir tiga dekade terakhir, yakni periode 1990-2019.
Akan tetapi, secara keseluruhan, prevalensi gangguan kesehatan mental di Indonesia tercatat 10,68 persen di bawah rata-rata global. Menariknya, banyak negara maju dengan tingkat ekonomi yang baik serta kebebasan berekspresi dan berkarya yang mumpuni justru prevalensinya tinggi dalam rentang 14-16 persen. Antara lain, seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Belanda.
Prevalensi tinggi ini juga dimiliki oleh negara-negara berkembang yang rawan konflik dan minim kebebasan dengan tingkat ekonomi rendah, seperti Afghanistan, Iran, Brasil, dan Libya.
Psikolog klinis Nago Tejena ketika berbincang di Jakarta, Kamis (18/8/2022), menjelaskan, kesehatan mental pada umumnya berkaitan dengan banyak hal, seperti keinginan, ketertarikan, hingga rasa frustrasi. Semua ini juga berhubungan dengan kebutuhan akan kebebasan.
”Perlu memang memiliki ruang kebebasan untuk mengeksplorasi diri sehingga menemukan wadah yang tepat untuk bertumbuh. Bertumbuh tanpa dituntut dan dipaksa sekitar. Tapi, kadang kebebasan dengan banyaknya informasi seperti saat ini, pikiran jadi liar. Yang sebenarnya bagus aja daripada dikekang, kan. Tapi, itu bisa jadi berbalik ketika kita tidak melakukan apa-apa,” ujar Nago.
Sejalan dengan temuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak muda yang masuk kategori milenial dan gen z di negara maju yang memiliki kebebasan tinggi dalam berekspresi dan berkarya ini malah rawan stres yang mengarah pada gangguan kecemasan hingga depresi. Kebebasan yang dimiliki ini mendorong mereka untuk terus berpikir atau mencari inovasi, tapi sayangnya tidak semua terlaksana dengan berbagai alasan.
”Itu tadi, saat hanya dipikirkan, itu hanya menjadi skenario dan akan memunculkan skenario lain lagi jika tidak dikerjakan. Akibatnya, jadi membebani diri. Belum lagi, sekarang banjir informasi terus melihat yang seumurannya sudah mencapai banyak hal. Overthinking. Karena itu, pelan-pelan shifting dan mengurai untuk menata hidup sesuai dengan level kita,” kata Nago yang akan berbicara dengan topik Something Beyond Your Mind di Kompasfest 2022 pada Sabtu (20/8/2022).
Namun, imbuhnya, bukan berarti tidak boleh bermimpi atau berangan-angan tinggi. Apalagi pada era digital yang serba cepat ini, ketika banyak informasi tersebar di mana-mana. Kembali lagi, mimpi tersebut harus dirintis dan dikerjakan perlahan sesuai kapasitas diri untuk kemudian bertambah lagi.
”Juga kemampuan untuk memilah mana yang memang penting untuk diri sendiri agar waktu kita juga tidak dihabiskan untuk hal yang sebenarnya enggak ada manfaatnya untuk kita dan bisa mengganggu produktivitas bahkan relasi sosial,” ujar Nago.
Untuk dapat sampai ke sana, kuncinya adalah mendengar diri sendiri untuk mengetahui kemauan sehingga mudah mengelola diri dan ekspektasi yang dimiliki.
Adjie pun menambahkan, anak muda perlu mengedukasi diri lagi tentang topik kesehatan mental. Sebagai contoh, orang banyak mengetahui tentang pertolongan pertama saat kecelakaan, tetapi belum banyak yang paham apa yang harus dilakukan saat mental tertekan akibat komentar tajam di depan umum.
Baca juga:Kompasfest 2022 Hadir Kembali
Yang kedua, ia menuturkan, anak muda perlu memberanikan diri untuk menemui profesional untuk berkonsultasi. ”Jangan malu. Kalau sakit fisik, kita enggak malu pergi ke dokter, begitu juga dengan sakit mental,” ujarnya.
Dalam Kompasfest 2022, Adjie berbicara dengan topik 30 Under Pressure: The Search for Peace of Mind. Ada alasan khusus Adjie menyoroti usia di bawah 30 tahun. Di usia itu, anak muda banyak mengalami quarter-life crisis alias krisis seperempat abad.
”Di usia segitu, masalah tentang karier dan relasi muncul. Anak muda mulai berpikir secara mendalam tentang hidup, pernikahan, dan biasanya masalah finansial lebih mandiri karena sudah lepas dari orangtua,” kata Adjie.
Adjie ingin mengangkat topik tentang tekanan pada zaman sekarang yang lebih menekan para anak muda di usia itu. Misalnya, karena kecanggihan media sosial, anak muda tidak lagi dibandingkan dengan anak tetangga atau teman sekolah, tetapi juga dengan orang lain yang ada di dunia maya.
Tantangan lain yang mereka rasakan adalah decision fatigue. Berlimpahnya pilihan yang ada membuat mereka tidak bisa menentukan pilihan. Hal sederhana, seperti memilih film yang akan ditonton di platform OTT atau menu yang ada di layanan pesan antar, akhirnya membutuhkan usaha ekstra.
Tekanan-tekanan yang muncul tersebut berdampak pada kehidupan anak muda di dunia nyata. ”Relasi kita menjadi enggak sehat dan kita dikit-dikit mudah marah. Jadi, saya juga bicara tentang pendekatan untuk mengurai dan menyikapi situasi itu dengan mindfulness,” kata Adjie.
Kompasfest 2022 akan berlangsung secara hibrida pada Jumat (19/8) dan Sabtu (20/8) di M Bloc Space dan Kala di Kalijaga, Jakarta Selatan. Kali ini, Kompasfest akan mengangkat tema ”Freedom To Speak, Act and Decide” dengan menghadirkan puluhan pembicara.