Muhammad Imam Fadila (30) menggeluti dunia fotografi satwa liar sejak 2010 dan telah menghasilkan banyak karya dalam bentuk buku dan pameran.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Tidak sengaja Muhammad Imam Fadila (30) terjun ke dunia fotografi satwa liar. Capung, kupu-kupu, burung, hewan herpetofauna, dan hewan lainnya menjadi abadi lewat bidikan lensa kameranya. Meskipun tak mudah, Imam menikmati setiap dinamika penjelajahan itu demi mendapatkan potret terbaik sehingga bisa merilis karya dan berkompetisi dalam lomba.
Menjadi fotografer satwa liar memiliki tantangannya sendiri. Di luar berbagai persiapan teknis, memotret hewan di alam liar membutuhkan kepekaan terhadap sekitar, kesiapan fisik, dan, yang penting, kesabaran. Bisa dibilang susah-susah gampang.
”Memotret di luar butuh banyak persiapan, enggak bisa selesai dalam sejam atau dua jam. Tingkat kesulitannya juga berbeda-beda,” kata Imam dalam wawancara virtual dari Bogor, Jawa Barat, Kamis (23/6/2022).
Sebagai gambaran, Imam harus melakukan riset lokasi terlebih dulu terkait di mana dan kapan hewan yang diincar kerap muncul. Saat memotret kupu-kupu, contohnya, Imam harus pergi ke lokasi yang sudah ingin diamati sejak pagi sebab mereka banyak bermunculan di waktu itu.
Imam melanjutkan, memotret pun tidak bisa asal-asalan. Pemuda ini lebih suka untuk memotret dari jarak dekat sampai hampir menempel dengan obyek menggunakan lensa fix atau lensa makro. Ini agar gambar tetap tajam dan detail yang dimiliki hewan-hewan tersebut terlihat jelas. Mau tak mau, Imam harus lihai mengendap-endap dan pandai berkamuflase layaknya seorang ninja.
Namun, metode itu tentu tidak mudah. Hewan liar sensitif dengan gerakan. Imam baru terpaksa menggunakan lensa lain seperti lensa tele tergantung dari kondisi dan jenis hewan yang akan difoto. ”Kadang dalam waktu sehari cuma dapat satu atau dua foto yang menurut saya bagus, jadi harus ngulang besoknya,” ujarnya.
Imam biasa keluar mencari foto pada hari Sabtu dan Minggu. Dalam satu hari, is bisa menghabiskan waktu dari pukul 07.00 pagi hingga pukul 17.00 sore untuk memotret, dengan jeda waktu istirahat siang. Imam mencari foto sendiri atau dengan teman-teman yang sehobi dengan dirinya. Namun, menurut dia, mencari foto ditemani satu atau dua pasang mata lainnya bisa membantu mereka mencari obyek foto lebih cepat.
Untuk saat ini, Imam mengakui, menjadi fotografer satwa liar adalah hobi baginya. Namun, kegiatan tersebut memberi banyak pencerahan untuk wawasannya dan manfaat bagi ilmu pengetahuan. Karya dari para fotografer bisa memperkenalkan publik jenis-jenis satwa liar yang tidak banyak orang ketahui.
”Kami tidak sekadar memotret, tetapi mendokumentasi dan memberi informasi kepada publik. Selain itu, hasil foto bisa berguna untuk kebutuhan penelitian dan identifikasi jenis sampai tingkat spesies di kalangan akademisi tanpa perlu mengambil sampel spesimen,” ujar Imam.
Sejak kuliah
Kisah Imam di dunia fotografi alam bermula ketika dia berkuliah di Fakultas Biologi, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, tahun 2009. Setahun kemudian, laki-laki ini bergabung dengan Haliaster, organisasi pencinta alam di fakultas tersebut. Salah satu kegiatan dalam organisasi adalah melakukan pendataan biodiversitas, antara lain burung, capung, kupu-kupu, dan hewan herpetofauna alias hewan melata, seperti reptil dan amfibi.
Rupanya salah satu dosen, Karyadi Baskoro, menginspirasi Imam. Sebagai penanggung jawab Haliaster, Karyadi yang hobi fotografi menunjukkan keseruan ”berburu” foto kepadanya sekaligus pentingnya kegiatan pengamatan dan pendataan satwa liar. Di Semarang, Imam menjelajahi banyak lokasi, di antaranya Gunung Ungaran, kawasan hutan mangrove, air terjun, tempat ekowisata, dan kawasan perhutani.
”Awal masuk Haliaster, saya belum punya kamera dan dipinjami kamera digital milik Pak Karyadi. Terus saya juga dikasih pinjam buku sama kamuflase. Tahun 2011 baru punya kamera sendiri,” ujar Imam.
Meskipun awalnya belum jago, Imam terus mengasah kemampuannya. Selain belajar dari dosennya, dirinya juga membaca buku dan mengikuti les di sebuah komunitas fotografi Semarang agar memahami dasar kamera. Hasil belajar dan ketekunan menggeluti hobi, Imam tidak sia-sia.
Berkat hobi tersebut, Imam bisa menyaksikan berbagai hewan-hewan unik di Indonesia. Ia, misalnya, sudah memotret berbagai kupu-kupu endemik Jawa, salah satunya adalah Prioneris autothisbe.
Imam turut menjadi kontributor foto dan data dalam sejumlah buku, seperti Mengungkap Potensi Hulu Bengawan Solo (2016), Dragonflies of Tinjomoyo (2019), dan Biodiversitas PLTU Jawa Tengah (2019). Ia aktif mengikuti berbagai lomba dan menjadi juara, sebut saja Lomba Fotografi Satwa Liar di Taman Nasional Gunung Merapi (2012), Lomba Foto Burung Migran dari Biodiversity Warrior (2020), dan Lomba Foto Flora dan Fauna, Wikimedia (2021).
Pada akhir 2021, Imam menggelar pameran solo virtual di ruang ekspresi eurekarbee.com yang bertajuk ”Arunika”. Arunika memamerkan 20 foto dan tulisan tentang kupu-kupu di Pulau Jawa. Foto-foto ini Imam kumpulkan selama kuliah S-1, yakni dari tahun 2010-2016. ”Sekarang saya ingin bisa menggelar pameran offline,” kata Imam.
Selain itu, Imam bersama teman dari Universitas Indonesia juga tengah menggarap sebuah buku tentang capung-capung di Depok. Selamat berkarya, Imam!
Muhammad Imam Fadila
Lahir: Osaka, 12 Agustus 1991
Pendidikan:
S-2 Konservasi Biodiversitas Tropika, IPB University (2017-2020)
S-1 Biologi Universitas Diponegoro (2009-2016)
Pekerjaan:
Konsultan di PT Sucofindo
Prestasi:
Peringkat Ke-2 Lomba Foto Flora dan Fauna, Wikimedia, 2021
Peringkat Ke-2 Lomba Foto Burung Migran, Biodiversity Warriors, 2020
Peringkat Ke-3 Kontes Fotografi Flora dan Fauna di Universitas Andalas, Padang, 2018
Juara 1 Fotografi Satwa Liar di Taman Nasional Gunung Merapi, Yogyakarta, 2012
Kontributor buku:
Kontributor Foto dalam buku Dragonflies of Tinjomoyo, Semarang, 2019
Kontributor Foto dalam buku Biodiversitas PLTU Jawa Tengah, 2019
Kontributor Data Keanekaragaman Jenis Capung di Semarang (buku Odonata Semarang Raya), 2017
Kontributor Data dan Foto Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu di Semarang (buku Lepidoptera Semarang Raya), 2017
Kontributor Foto dalam buku Mengungkap Potensi Hulu Bengawan Solo, 2016