Budaya Lestari, NTT Berseri
Anak-anak muda NTT bergabung dalam pelbagai komunitas untuk mengembangkan budaya lokal. Mereka jadi semakin bangga dengan identitas sendiri.
Tak mudah membangun kebanggaan tentang identitas diri. Apalagi ketika kesejahteraan dan pemerataan pembangunan masih menjadi momok. Namun, jangan salah, anak-anak muda Nusa Tenggara Timur sekarang sebisa mungkin terlibat dalam pelestarian dan pengembangan budaya lokal dengan kemampuan masing-masing.
Selama satu dekade terakhir, banyak komunitas budaya bermunculan di NTT. Komunitas-komunitas tersebut merangkul masyarakat agar bisa menyalurkan potensi lewat beragam platform dan pemanfaatan potensi lokal, sebutlah sastra, pangan, kesenian tradisional, hingga film dokumenter.
Findy Lengga (18), anggota Lakoat.Kujawas, berbagi pengalaman bergabung dengan komunitas yang bergerak dalam kearifan budaya ini lewat sambungan telepon dari Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, Kamis (16/6/2022) pagi. Meskipun suaranya kadang terputus lantaran sinyal yang tak stabil, gadis ini semangat membagikan kisahnya.
”Beta gabung sejak tahun 2017, setahun setelah komunitas berdiri. Waktu itu masih SD, beta dengar dari kawan soal perpustakaan kecil di Lakoat.Kujawas, habis itu entah bagaimana bisa bergabung sampai sekarang,” kata Findy, terkekeh.
Dirinya rupanya terlibat dalam kelas menulis hasil kolaborasi Lakoat.Kujawas dengan sebuah SMP di Mollo. Dari kelas itu, Findy bersama anak-anak Mollo lain sudah merilis pelbagai karya, antara lain buku antologi dongeng, Dongeng dari Kap Na'm To Fena, buku puisi Tubuhku Batu, Rumahku Bulan, dan buku sejarah Berawal dari Tanda Salib di Rumah Sang Klerek.
Selain itu, Findy juga tengah magang dalam program Kampung Katong alias kampung kami. Ini merupakan kolaborasi Lakoat.Kujawas dengan dua komunitas di Larantuka dan Labuan Bajo untuk merawat pengetahuan lokal. Findy berpartisipasi dalam pengarsipan seni dan budaya Mollo.
Kakek Findy adalah pendatang di Mollo. Namun, ia sudah lahir dan besar di Desa Taiftob, Mollo. Findy, misalnya, jadi tahu bahwa marga orang Mollo punya arti dan berkaitan dengan alam. Marga Oematan sebagai contoh memiliki otes (sapaan sayang), yaitu kaunan (ular) untuk laki-laki dan ifo (tikus) untuk perempuan.
Bergabung dalam Lakoat.Kujawas, turut berdampak positif pada Findy. ”Sebelum bergabung, beta rasa seperti sonde (tidak) ada bekal apa-apa. Tapi, sekarang, beta jadi ada banyak pengetahuan karena tahu banyak soal budaya sendiri, termasuk soal identitas kami itu bagaimana,” tuturnya.
Berkat sibuk di Lakoat.Kujawas, Findy berkelana hingga ke Makassar, Sulawesi Selatan, lantaran menjadi narasumber dalam Festival Forum Kawasan Timur Indonesia pada 2018. ”Dulu, beta paling malu orang suruh maju ke depan, tapi sekarang percaya diri,” ujar gadis keturunan Rote dan Belu ini.
Brigitha A Kobesi (22) atau yang akrab disapa Inshyi pun terlibat dalam Komunitas Film Kupang (KFK) sejak 2019. KFK adalah komunitas yang memproduksi, melakukan ekshibisi, dan mengedukasi film-film bertema sosial karya sineas NTT. Gadis asal Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara, ini bertugas sebagai asisten
programmer
divisi ekshibisi.
Tugas Inshyi mencakup menyeleksi film, baik itu film lokal maupun nasional, dan mengoordinasi penonton untuk program Layar Merdeka dan Jumat di Garasi. Layar Merdeka merupakan pemutaran film di desa-desa, sedangkan Jumat di Garasi merupakan pemutaran film di markas KFK yang terletak di Oebobo, Kupang.
”Kami biasanya memutar film produksi KFK, seperti Nokas (2016), Siko (2018), Maruah (2019), dan Oe Lo’lif (2020). Tahun 2020, kami pernah menggelar Layar Merdeka di Desa Oh Aem, Amfoang Selatan, itu dihadiri sekitar 100 orang,” tutur gadis kelahiran Fatumuti, 15 Juni 2000, ini saat ditemui.
KFK bertujuan untuk mendokumentasi narasi otentik dari NTT. Dengan bergabung dengan komunitas semacam ini, Inshyi jadi lebih mengapresiasi seni dan budaya NTT setelah merasakan sendiri susah dan panjangnya proses pembuatan suatu karya dalam bentuk film.
”Melihat kain tenun, misalnya, beta tidak sekadar lihat sepintas. Beta juga melihat ada ide, nilai, proses, dan seniman yang berkarya di balik kain itu,” kata Inshyi. Inshyi pun semakin niat untuk menghargai dan mempromosikan budaya lewat media film.
Tari dan musik
Keinginan pelajar dan mahasiswa asal Sumba Barat Daya ikut melestarikan budaya juga tampak pada usaha yang dilakukan Minda Robaka (17), siswa SMAS St. Thomas Aquinas, dan Elten Umbu Deta (19), mahasiswa program Pendidikan Guru Sekolah Dasar pada Universitas Citra Bangsa Kupang. Minda menjadi penari, sedangkan Elten menjadi penabuh gong.
Meski kerap ikut acara adat di desanya, Minda awalnya kurang tertarik belajar menari. Keinginan untuk belajar baru muncul saat ia melihat kakaknya, mendiang Flavia Kundini Robaka, menari sambil berjinjit dengan anggun di gereja dan di kesempatan lain.
Tahun 2018, saat sekolah di SMP, ia bergabung ke sekolah tari yang bernaung di bawah Mada Institut di Weetebula, Sumba Barat Daya. Sejauh ini, Minda sudah menguasai lima tari tradisional Sumba dan tari kreasi baru. ”Waktu pandemi, latihan dihentikan sehingga selama dua tahun tak ada latihan,” ujar Minda pada Rabu (15/6/2022).
Namun, kadang-kadang, ia berlatih sendiri di rumah dengan iringan rekaman musik iringan tari bila ada permintaan untuk menari. Dalam keluarga Minda, selain ia dan mendiang Flavia, adiknya, Francisco Robaka, juga belajar bermain gong, musik tradisional Sumba.
Di wilayah Sumba Barat Daya, beberapa sanggar tari tradisional Sumba ada yang berbayar dan ada yang gratis. Latihan di Mada Institut, tempat Minda berlatih, berlangsung secara gratis. ”Kami menghidupkan lagi sanggar tari itu untuk mengajak generasi muda belajar dan mempertahankan budaya Sumba,” kata Maria Andriana yang bersama Anggriani Lele Biri mendirikan Mada Institut.
Sementara itu, paduan irama gong dan tambur membuat Elten tergerak untuk belajar sejak duduk di bangku SMP kelas III. Ia belajar dari pemain gong di desanya, Kabali Dana, Kecamatan Wewewa, Sumba Barat Daya, yang kerap menggelar acara adat. Dalam tiga tahun, dirinya sudah pintar memainkan gong yang memiliki empat ukuran.
Sama dengan Minda, Elten ingin melestarikan budaya tempat lahirnya agar tak punah di kemudian hari. ”Setelah saya berlatih main gong, kakak saya ikut latihan. Kami sekarang sama-sama bisa main gong,” ujar Elten, Kamis (16/6/2022), dari Kupang.
Kemampuannya bermain musik tradisi membuat dirinya bangga, apalagi ia kerap diajak manggung di acara penyambutan tamu dan di gereja. Hal lain yang menggembirakan Minda dan Elten ialah nama dua remaja itu menjadi terkenal di sekolah dan lingkungannya. ”Kalau di sekolah, orang sering bicarakan nama saya. Hati jadi senang. Kalau di jalan, sedang naik motor, ada orang panggil-panggil nama saya,” kata Minda dengan gembira.
Namun, tantangan kadang kala datang menghadang bagi anak-anak muda ini. Findy menceritakan, dia pernah mendapat cemooh dari teman-teman sebaya karena berkomunitas. Anggapan kampungan pernah dihujani pada dirinya.
”Saat berkegiatan, kami sering pakai kain tenun sebagai sarung, terus mereka bilang kampungan, kenapa tidak pakai celana panjang. Tapi, beta mau kasih tunjuk beta bangga dengan budaya asli. Ikut zaman boleh, tetapi lihat juga kekayaan apa yang kita punya,” kata Findy.
Baca juga: Barter Baju, Yuk...
Salah satu strategi Findy menghadapi tantangan itu adalah dengan memperlihatkan dirinya tidak malu mengenakan wastra tradisional karena seorang perempuan NTT justru semakin terlihat cantik dengan kain tenun. Ia juga mengabaikan perkataan yang membuat demotivasi dan memilih menunjukkan prestasi.
”Biar mereka capek sendiri,” kata Findy. Salut kepada semangat anak-anak muda NTT.