Kegalauan Anak Muda Pengaruhi Harapan Politik Mereka
Anak muda berharap calon pemimpin di masa depan bisa membenahi infrastruktur seperti akses jalan dan jembatan. Hal itu terekam di hampir mayoritas responden, baik di Jawa, Sumatera, maupun Papua.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi di era volatility, uncertainty, complexity, andambiguity atau VUCA yang penuh dengan kerentanan, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas membuat anak muda khawatir terhadap masa depan mereka. Oleh karena itu, bagi mereka, dibutuhkan calon pemimpin yang tegas, paham masalah negara, dan merakyat.
Potret itu terekam dalam survei Aspirasi Anak Muda yang dilakukan oleh Kompas Gramedia Media (KG Media). Survei dilakukan terhadap 3.224 anak muda yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali-Nusa, Maluku, dan Papua. Responden adalah anak muda yang usianya 17-40 tahun. Sampel diambil dari daftar pemilih tetap dengan metode pengambilan sampel responden panel.
Marketing Riset dan Manager Analitik KG Media Bagas Adi P dalam presentasi riset, Kamis (17/3/2022), menyebutkan, walaupun anak muda di rentang generasi tersebut sering disebut sebagai digital savvy atau kaum melek digital, ternyata ada ketakutan di kalangan mereka tidak mampu mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi. Mereka khawatir, pesatnya perkembangan teknologi tidak bisa diimbangi dengan kemampuan pemahaman, literasi, dan bagaimana memanfaatkan platform digital.
Di sisi lain, anak muda juga takut dengan kondisi finansial dan keuangan di masa depan. Anak muda cukup serius memikirkan kemampuan bertahan mereka dari sisi finansial, baik pengelolaan, pengembangan, maupun investasi. Permasalahan keuangan, kemapanan, atau kesuksesan ini paling banyak dikhawatirkan generasi muda. Adapun anak muda di kota-kota yang tulang punggung perekonomiannya adalah pariwisata seperti Bali dan Nusa Tenggara lebih mengkhawatirkan soal kesulitan mencari pekerjaan. Ini disinyalir karena lumpuhnya pariwisata akibat dampak Covid-19.
Meskipun khawatir terhadap kondisi finansial, anak muda juga kebingungan atau kurang tertarik dengan dunia kewirausahaan. Mereka kurang paham bagaimana mengeksekusi ide.
”Empat dari lima hal yang paling ditakutkan di setiap daerah adalah masalah keuangan, sulitnya mencari pekerjaan, dan kesuksesan dalam pekerjaan,” ujar Bagas.
Ditemukan pula anomali pemikiran anak muda yang terekam dalam survei ini. Meskipun khawatir terhadap kondisi finansial, anak muda juga kebingungan atau kurang tertarik dengan dunia kewirausahaan. Mereka kurang paham bagaimana mengeksekusi ide, mencari permodalan, serta menjalankan bisnis. Mereka berharap ada program pendampingan atau mentoring yang terpadu, pelatihan usaha, hingga akses terhadap pemodal.
Kekhawatiran anak muda di masa depan itu memengaruhi harapan mereka terhadap politik. Bagi anak muda, calon pemimpin di masa depan diharapkan bisa membenahi infrastruktur seperti akses jalan dan jembatan. Hal itu terekam di hampir mayoritas responden, baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, maupun Papua. Mereka menilai pembenahan akses jalan dan jembatan dapat berkorelasi positif terhadap perkembangan perekonomian di daerah.
Selain itu, anak muda juga membutuhkan pemimpin yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Kurangnya lapangan pekerjaan masih menjadi urutan teratas persoalan yang dikeluhkan anak muda.
”Dengan segala persoalan itu, anak muda juga menilai figur calon presiden ideal yang mereka butuhkan adalah yang tegas (24 persen), paham masalah negara (21 persen), merakyat atau mau turun ke lapangan (19 persen), serta melakukan aksi nyata (11 persen),” kata Bagas.
Fenomena yang cukup berbeda justru terekam di harapan anak muda terhadap figur pemimpin daerah ideal. Anak muda membutuhkan calon pemimpin daerah yang merakyat dan mau turun ke lapangan, jujur, tegas, dan adil.
Di dalam survei ini, anak muda masih memersepsikan pemimpin daerah kurang dekat dan membaur bersama rakyat. Masih banyak pemimpin daerah yang dinilai terlalu elitis dan tidak mau terjun langsung ke lapangan. Padahal, dengan sering terjun ke lapangan, diharapkan para pemimpin daerah ini lebih peduli dan memperhatikan kepentingan rakyat di akar rumput.
”Anak muda juga ingin pemimpin bisa menjadi pendengar yang baik, bisa menerima saran dan kritik dari rakyat, serta mendengarkan suara rakyat. Ada harapan juga terkait dengan sosok pemimpin yang berasal dari daerah atau setidak-tidaknya mengetahui kondisi masalah di daerah,” terang Bagas.
Di dalam survei ini, anak muda masih memersepsikan pemimpin daerah kurang dekat dan membaur bersama rakyat. Masih banyak pemimpin daerah yang dinilai terlalu elitis.
Chief Marketing Officer KG Media Dian Gemiano menambahkan, survei ini diklaim sebagai riset anak muda pertama yang tidak Jakarta atau Jawa-sentris. Melalui basis data daftar pemilih tetap, riset memotret lebih jauh dan mendalam terkait permasalahan anak muda dan juga hal-hal yang menjadi kekhawatiran mereka di masa depan. Survei yang dilakukan KG Media ini diharapkan bisa menangkap permasalahan riil anak muda di daerah sehingga dapat dimanfaatkan oleh calon-calon pemimpin di masa depan untuk memetakan permasalahan yang dihadapi di daerahnya.
”Ternyata, hasilnya cukup mengagetkan ketika dipotret dari demografi yang lebih luas dengan sampel merata di seluruh pulau. Realitas setiap daerah itu ternyata sangat berbeda dengan permasalahan yang dihadapi di Jakarta atau di Jawa,” tegas Gemiano.
Jika merujuk pada data sensus penduduk tahun 2020, seperempat (25,9 persen) populasi merupakan generasi milenial. Jumlah generasi milenial berasal dari penduduk yang lahir pada 1981-1996 atau berusia 24-39 tahun saat sensus dilakukan. Adapun proporsi penduduk yang lahir pada 1997-2012 atau berusia 8-23 tahun atau generasi Z adalah 27,94 persen. Proporsi milenial masih menjadi ceruk terbesar pemilih. Ditambah dengan calon pemilih pemula dari kalangan gen Z, kelompok ini memiliki peran besar dalam menentukan suksesi kepemimpinan nasional (Kompas, 23/2/2022).