Obral kilat atau ”flash sale” di lokapasar hari-hari ini terus membombardir kita. Belanja terus, boncos. Enggak belanja, ada obral harga barang kesukaan. Eits, obral bakal ada terus, tapi hidup kita tak hanya butuh baju.
Oleh
MARIA SUSY BERINDRA, SOELASTRI SOEKIRNO
·6 menit baca
Obral kilat atau flash sale di lokapasar terus membombardir kita. Belanja terus, boncos. Enggak belanja, ada obral harga barang favorit. Rasanya, sih, bagus juga kalau kita punya strategi menahan godaan belanja daring.
Memang tak mudah menghadapi godaan belanja daring. Tak heran, Nadyla Rizky (20), mahasiswa Jurusan Administrasi Publik, Universitas Brawijaya, Malang; Bahraini Dinar Asyifak (18), mahasiswa Jurusan Sastra Inggris, Universitas Airlangga, Surabaya; Adam Zeopandu (19) yang kuliah Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Jakarta; dan adiknya, Ajeng Avril Latifah (13), siswa kelas VIII SMP Al Fityan School Tangerang, keder. Bahkan, kadang tak berdaya menghadapinya. Lusiana Darmawan, perencana keuangan OneShildt, mengingatkan agar anak muda tak mudah tergoda dan mulai belajar mengelola uang, terutama yang didapat dari orangtua.
Beratnya godaan membuat Nadyla pernah belanja hingga 20 paket dalam satu bulan. ”Kebanyakan beli baju. Semuanya aku pakai, kok,” ujarnya. Nadyla memanfaatkan aplikasi belanja daring untuk baju, celana, hijab, dan produk perawatan wajah. Seperti kebanyakan orang, dia biasanya mencari harga yang murah dengan kualitas baik. ”Aku tipikal orang yang sukanya bandingin harga, di toko fisik dan Shopee. Tinggal buka aplikasi, pilih barang, ambil diskon, kalau ada gratis ongkir, ya, senang banget. Lalu, langsung check out,” kata Nadyla yang dihubungi per telepon pada Rabu (9/3/2022).
Setiap kali akan belanja, ia akan melihat rating si penjual. Apabila rating bagus, barang yang diincarnya pas lagi murah, Nadyla tak pikir panjang langsung membelinya. ”Uang bisa dicari, tapi barang bagus dengan harga murah belum tentu kita dapatkan lagi,” katanya sambil tertawa.
Pernah suatu kali, saat ingin punya kamera analog, tiba-tiba ada satu toko daring menawarkan dengan harga murah. Kamera analog yang diinginkan biasanya dijual sekitar Rp 450.000, ini ada yang menawarkan Rp 230.000. ”Seriusan, kok murah. Awalnya aku chat penjualnya, nanya terus, sampai diomelin penjual. Ya sudah aku langsung check out,” katanya.
Berselancar di aplikasi belanja daring memang mengasyikkan. Tak heran ia jadi kerap belanja. Meski sudah berhati-hati, Nadyla pernah kecewa saat belanja daring. Dia pernah membeli baju yang harus dikembalikan (retur) sebanyak empat kali. Pengiriman pertama, barang yang dipesan salah warna, lalu dikembalikan ke penjualnya. ”Itu barang sampai bolak-balik empat kali. Emang gratis ongkir pas dikirim kembali ke penjual, tapi aku jadi boros bensin, bolak-balik naik motor ke kantor jasa pengiriman,” ceritanya. Toh, ia tak kapok belanja online.
Buat Bahraini Dinar Asyifak, belanja daring itu irit ongkos jalan ke mal atau toko. Cewek asal Probolinggo, Jawa Timur, tersebut biasa membeli skincare di aplikasi belanja daring. ”Pernah lihat harga serumnya di mal bisa selisih Rp 10.000 dibandingkan di online. Ya mending beli di online, tinggal klik dapat ongkir gratis,” kata Dinar, Jumat (11/3/2022).
Dengan empat aplikasi belanja yang tersimpan di gawai, Dinar bisa dengan mudah check out seusai belanja. Namun, dia membatasi belanja pakaian setiap dua atau tiga bulan sekali. Sedangkan make up dan perawatan wajah bisa sebulan sekali. Itu masih ditambah dengan titipan dari bapak, ibu, atau saudara-saudaranya. ”Pernah bapak mau beli minyak rambut, aku bilang sudah pakai akunku saja. Kalau ibu kadang titip baju atau tas. Karena sudah terbiasa, kalau mereka ingin beli sesuatu, tinggal kirim link saja, nanti aku yang check out,” ujarnya.
Sejak belajar di SMA, Dinar sudah terbiasa membeli barang secara daring. Malahan, dia kurang bisa mengendalikan diri. Asal barang murah, langsung dibelinya. ”Sampai pernah salah beli, mau beli selimut ternyata selimut bayi. Lalu, suka beli yang lucu-lucu, kayak mangkuk dan piring. Waktu itu aku tinggal di pesantren. Makan ditanggung dan uang saku agak banyak. Jadi, kalau ada yang murah dikit langsung beli,” katanya.
Lama kelamaan Dinar menyadari untuk membeli barang sesuai kebutuhan. Apalagi, saat sudah kuliah, uang saku juga digunakan untuk banyak kebutuhan. ”Malah pas pandemi, pulang ke rumah enggak ada uang saku. Kalau butuh sesuatu bilang ke orangtua, terus dikasih uang sesuai harga barang, paling ditambah Rp 10.000 buat ongkir, he-he-he…,” katanya.
Pasang alarm
Jika Dinar beralasan irit ongkos, Adam Zeopandu dan Ajeng menganggap belanja online sebagai rekreasi. Maklum, kakak-adik yang kompak suka belanja itu sering merasa jenuh berada di dalam rumah selama masa pandemi ini. ”Mata sering lelah, badan pegal habis ngerjain tugas atau kuliah. Sudah diselingi main gim, buka media sosial, nonton film, tetap aja bosan. Begitu lihat deretan barang di toko online, hati jadi seneng. Mood jadi naik, he-he-he,” tutur Pandu, panggilannya, Rabu (9/3/2022). Ajeng menambahkan, sebelum pandemi, ia dan kakaknya tak terlalu sering belanja daring, tetapi sejak belajar di rumah, keduanya menjadi sering membuka lapak di aplikasi seperti Shopee dan Tokopedia.
Keduanya tidak setiap hari belanja, tetapi jika ada diskon kilat, sudah pasti Pandu dan Ajeng menandai hari dan jamnya supaya tak ketinggalan. ”Biar mulainya sore atau tengah malam pukul 12, aku tetap pantengin dan tungguin. Begadang,deh. Iya, kan, Mas,” kata Ajeng kepada Pandu. Uniknya meski sangat akrab, kakak-adik ini memegang gawai masing-masing untuk pilih barang.
Maklum, pilihannya beda. Ajeng paling suka cari aneka skincare atau baju gamis, sementara Pandu sering mencari sepatu, konsol gim, topi, atau aneka barang elektronik, misalnya headset. ”Pokoknya flash sale itu saat cari barang dengan harga murah. Aku sudah cek dibandingkan harga normal. Lumayan, kan, dapat diskon Rp 30.000-an, bebas ongkos kirim,” ujar Pandu.
Walau banyak kaus, kemeja, dan celana apik serta bermerek dijual dengan harga diskon, Pandu kurang suka belanja barang seperti itu lewat daring. Ia khawatir ukuran baju yang ia beli ternyata kurang panjang saat sampai rumah. Untuk keperluan itu, Pandu lebih senang berbelanja di mal yang memungkinkan bisa mencoba baju yang akan dibelinya.
Menurut Pandu, tawaran barang dengan harga murah memang banyak, tetapi ia tak selalu belanja setiap kali ada diskon kilat. Paling hanya tiga sampai empat kali sebulan. Prinsipnya, ia hanya membeli sesuai kebutuhan, apalagi ia masih meminta uang buat belanja ke orangtuanya. Ajeng pun sekarang membatasi membeli skincare karena ingin menabung guna membeli laptop. ”Banyak barang di keranjang, tapi enggak chek out juga. Harus selektif karena pengen nabung,” ujar Ajeng.
Mengerem
Menanggapi kesukaan anak muda belanja daring, Lusiana Darmawan menilai lumrah saja kalau hasrat belanja semakin tinggi karena dalam masa pandemi, semua jadi serba digital. Apa pun bisa dibeli online. Pesan belanjaan, 15 menit sampai. Belum lagi ditambah dengan adanya kupon diskon. Tiba-tiba semua menjadi butuh. ”Tapi ingat, pemasukan ada batasnya, keinginan tak ada batas,” ujar Lusi, Jumat (10/3/2022).
Menurut Lusi, dalam kondisi seperti sekarang, penting sekali bagi teman-teman muda paham yang namanya perencanaan keuangan, membedakan wants vs needs, pentingnya punya tujuan keuangan, punya dana darurat, anggaran, dan catatan keuangan. Dengan punya tujuan keuangan, pengelolaan keuangan lebih terarah karena ada yang mau dicapai. Punya ”rem”. Apalagi kalau paham konsep time value of money, compounding interest, pasti mau mulai menabung atau investasi sejak dini.
Ia tak menampik, flash sale bisa jadi momen mengincar barang idaman dan kita butuhkan, tetapi tetaplah cerdas untuk melakukan perbandingan harga flash sale dan harga normal dari berbagai seller. Apakah signifikan lebih murah? Apakah memang akan digunakan atau dibutuhkan? Jika tergoda karena efek harga menjadi murah, padahal tidak butuh, sebaiknya belanjanya ditunda.
Anak muda sebaiknya belajar mengeset tujuan keuangan dan berpikir jangka panjang. ”Fase kehidupan kalian masih panjang dan setiap fase pasti membutuhkan keputusan keuangan. Mumpung masih muda, saatnya untuk mulai belajar mengelola uang ’kecil’ dulu,” katanya.
Belajar membangun kebiasaan baik dalam mengelola keuangan, mencatat, membuat anggaran, menabung, atau investasi itu penting agar setelah punya pemasukan sendiri, sudah terbiasa untuk investasi, bijak dalam menyimpan (uang), dan punya anggaran.