Mahasiswa Indonesia yang akan kuliah di London mencari aktivitas yang tidak membosankan selama karantina di hotel.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·6 menit baca
Hari pertama kuliah biasanya menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa baru untuk bertemu dengan teman-teman dan beradaptasi dengan lingkungan kampus. Namun, bagi mahasiswa Indonesia yang kuliah di Inggris Raya, mereka harus menunda sejenak kegembiraan itu demi menjalani karantina wajib selama 10 hari di hotel. Ada kalanya rasa bosan menghantui, tetapi bukan berarti masa-masa karantina tidak bisa dinikmati.
Sejak Juli lalu, Pemerintah Inggris menetapkan Indonesia termasuk dalam kelompok red list country (daftar merah). Seseorang yang berasal dari negara di daftar merah wajib menjalani karantina di hotel selama 10 hari dan menjalani dua kali PCR test Covid-19. Berdasarkan ketentuan ini, mahasiswa Indonesia yang termasuk berasal dari negara di daftar merah tidak bisa langsung menjalani kuliah tatap muka sekalipun sudah mendarat di Inggris.
Carter Allen (18), mahasiswa jurusan Mathematics, Operational Research, Statistics and Economics (MORSE) di Universitas Warwick, mendarat di bandara London Heathrow, pada Senin (20/9/2021). Begitu mendarat, petugas mengarahkan mahasiswa tingkat dua ini menuju Terminal 4. Di terminal ini, penumpang pesawat asal negara daftar merah, termasuk Afghanistan, Brasil, Etiopia, Myanmar, Filipina, Indonesia, Uganda, dan Venezuela, dikumpulkan.
Sambil menunggu penumpang lain, Carter berkenalan dengan beberapa pelajar asal Indonesia, seperti mahasiswa program pertukaran pelajar Ahmad Rasyaad Al Faiz (18) dan Arshya Rayhandra Ariebowo (18), serta mahasiswa jurusan hukum di Universitas Glasgow, Michelle Suryo (17). Setelah mengambil bagasi, Carter dan belasan mahasiswa lainnya naik bus. Mereka lalu diantar menuju hotel karantina yang letaknya 30-60 menit perjalanan dari bandara.
Hotel karantina seharga 2.285 pounds (sekitar Rp 44.700.000 per orang) ini umumnya menyediakan fasilitas cukup lengkap, seperti tempat tidur yang nyaman, koneksi internet dan tersedia pula makan tiga kali sehari beserta minum dan camilan. Selama karantina, aktivitas mahasiswa menjadi terbatas karena mereka tidak bisa leluasa keluar masuk kamar.
Mereka yang menjalani karantina di hotel hanya boleh keluar kamar selama 15 menit dengan pendampingan ketat dari petugas hotel. Beragam kegiatan pun dilakukan agar tidak mati gaya. Periode karantina juga dijadikan kesempatan adaptasi dengan cuaca dan makanan di Inggris.
Carter, misalnya, rutin berolahraga selama karantina. Sejak berangkat dari Indonesia, mahasiswa Indonesia yang mengejar mimpi sebagai student athlete ini sudah membawa peralatan olahraga sederhana, seperti alat fitness roller dan karet. Ia juga mengisi kelas daring sebagai tutor matematika. Aktivitas ini membuatnya tidak bosan selama menjalani karantina.
Carter mengatakan, ia tidak keberatan harus menjalani karantina di hotel selama 10 hari karena ini demi keselamatan dan keamanan semua pihak. ”Enjoy saja. Saya anggap ini sebagai proses adaptasi selama 10 hari terhadap cuaca, budaya, dan makanan di Inggris,” kata mahasiswa asal Bandung, Jawa Barat ini.
Rasyaad dan Rayhandra, yang tinggal dalam satu kamar, juga sudah menyiapkan beragam kegiatan agar tidak mati gaya selama karantina. Rasyaad memanfaatkan waktu karantina untuk berselancar mengenai tempat-tempat menarik di Inggris, mempelajari lingkungan kampus, serta menyelesaikan urusan administrasi. ”Saya memang sengaja menyelesaikan urusan administrasi selama masa karantina, agar ada kegiatan dan tidak bosan,” jelasnya.
Ia menyarankan agar mahasiswa Indoensia yang datang ke Inggris untuk menyiapkan kegiatan-kegiatan selama karantina agar tidak bosan, seperti olahraga, mengikuti kelas daring, atau mengurus administrasi kampus. Pokoknya kegiatan apa pun penting agar tidak cepat bosan. ”Kalau hanya rebahan sambil nonton film, pasti cepat merasa bosan,” katanya.
Sebelum berangkat ke Inggris, Ray sudah berencana mengisi waktu karantina dengan bersantai sambil menonton Netflix. Sayangnya, pemuda ini mendapatkan hotel dengan kondisi internet yang kurang stabil sehingga ia kesulitan menonton film. Untuk mengusir rasa bosan, Ray sering memanfaatkan waktu ”kebebasan” selama 15 menit di luar kamar. ”Kayaknya aku yang paling sering keluar kamar. Sehari aku bisa tiga kali keluar,” ujarnya.
Kedua pelajar asal Universitas Gadjah Mada ini tinggal di dalam satu kamar yang sama. Selain hemat, karantina ini ternyata bisa membuat mereka menjalin pertemanan dengan lebih baik.
”Sebelumnya, aku tidak begitu kenal dan jarang ngobrol dengan Rasyaad. Sekarang karena punya banyak waktu, jadi bisa ngobrolin topik-topik yang jarang disentuh. Aku jadi bisa memetik banyak pelajaran berharga dari dia,” ujar Ray, yang akan menempuh pendidikan selama tiga bulan di jurusan Politics and International Studies, Universitas Wawrick.
Hotel
Selama tinggal di hotel, mahasiswa Indonesia mendulang pengalaman yang berbeda-beda. Ada yang tinggal di hotel karantina dengan kondisi kamar kurang memuaskan. Ada pula yang mendapatkan kamar dengan kondisi melebihi ekspektasi. Setiap hari merka juga mencicipi berbagai jenis makanan, mulai dari pasta, salad, kebab, dan nasi dengan sayuran.
Rasyaad dan Rayhandra kebetulan tinggal di hotel yang sudah cukup terkenal. Awalnya mereka yakin menempati kamar dengan kondisi memuaskan. Mereka kaget karena justru mendapatkan kamar dengan kondisi yang masih kotor dan barang-barang tidak tertata rapi.
Di pihak lain, Michelle terkejut bercampur senang ketika mendapatkan kamar mewah yang sangat luas dengan jendela besar. Padahal, sebelumnya ia tidak berharap banyak karena sering membaca berita mengenai kondisi karantina di Inggris yang sangat buruk.
Pengalaman lain yang mereka dapatkan adalah soal makanan. Michelle kurang cocok dengan menu makanan yang kurang rasa. Beruntunglah, ia sudah membawa aneka sambal. ”Aku bawa sambal ijo, sambal rica-rica, sambal terasi, sambal pecel, sambal bawang, pokoknya banyak, deh! Kalau ada yang ke Inggris, aku sarankan bawa banyak sambal,” jelasnya.
Meski harus hidup terisolasi, Michelle merasa karantina justru waktu yang pas untuk rileks sebelum hari-harinya akan disibukkan dengan jadwal kuliah dan tugas-tugas. ”Saya sempat merasa tertinggal karena kehilangan kesempatan orientasi pada minggu pertama kuliah. Sekarang, aku berpikir nice juga bisa rileks sebelum nanti harus mengerjakan tugas,” jelasnya.
Selama karantina, Michelle tidak pernah merasa bosan atau kesepian. Setiap hari, ia tetap terhubung dengan keluarga dan teman-teman. Orangtuanya sering menelpon dan menanyakan kabar. Ia juga sering mengadakan pertemuan daring dengan teman-teman.
Sementara itu, Carter merasa diuntungkan karena petugas hotel tidak teralu ketat dalam aturan. Kalau hotel lain hanya memberi waktu kepada tamu selama 15 menit untuk keluar kamar, Carter bisa ke luar kamar selama 45 menit. Ia memanfaatkan waktu ini untuk berolahraga di arena yang sudah disediakan atau bertemu dengan teman yang menginap di hotel yang sama.
Mahasiswa Indonesia yang berada di Inggris juga harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Kalau di Indonesia seseorang harus pergi ke klinik atau rumah sakit untuk tes PCR Covid-19, di Inggris test dilakukan secara mandiri. Mahasiswa Indonesia harus melakukan swab test di kamar hotel. Nantinya ada petugas yang mengumpulkan cairan swab.
Menjalani karantina juga bukan berarti mahasiswa Indonesia tidak bisa menjalin pertemanan. Mahasiswa Indonesia ini buktinya. Saat penumpang pesawat dari negara daftar merah dikumpulkan, mereka saling berkenalan dan bertukar nomor telpon. Perasaan senasib sepenanggungan justru membuat mereka dekat. ”Kami jadi ngobrol siapa yang apes, siapa yang untung,” ujar Ray.
Rasyaad juga ia bersyukur bisa kuliah di Inggris meskipun harus menjalani karantina di hotel selama 10 hari dengan harga karantina yang fantastis. Namun, ia menjadikan ini sebagai pengalaman berharga.
”Setidaknya Pemerintah Inggris sudah memberi kesempatan mahasiswa Indonesia untuk datang dan belajar di mana banyak negara lain yang menutup rapat pintu kedatangan mereka. Aku merasa bersyukur,” ujarnya.