Kiprah Doktor Muda di Kampus
Sebagian doktor muda memilih mengabdikan diri di kampus.
Semakin banyak doktor muda yang memilih berkiprah di kampus. Mereka memilih melewatkan kesempatan mendapat gaji besar demi memajukan pendidikan.
Di antara sekian doktor muda yang mengabdi di kampus ada Grandprix Thomryes Marth Kadja (28). Ia adalah doktor bidang kimia dari Institut Teknologi Bandung. Ia mendapat gelar akademik pada jenjang tertinggi itu ketika usianya baru 24 tahun. Saat ini, ia tercatat sebagai dosen program studi kimia di ITB.
Ada pula Rahmat Budiarto (28), alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB) yang kini mengajar di di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung. Dari Yogyakarta, ada Kristiawan Indriyanto (30) yang Oktober tahun depan wisuda doktor setelah menyelesaikan pendidikan di Program Studi Pengkajian Amerika, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyaka. Kristiawan atau Indra berencana mengajar di sebuah kampus di Tangerang, Banten.
Dari Australia, ada kandidat doktor Lupita Wijaya (29) yang sedang kuliah di bidang komunikasi dan studi media di Monash University, Australia. Lupita yang tinggal menunggu waktu ujian mempertahankan disertasinya itu sejak tahun 2020 mengajar di Melbourne University dan Monash University
Mengingat usia para dosen itu tak terpaut jauh dengan mahasiswanya, muncullah kejadian lucu. Ada yang kaget melihat dosen yang ternyata masih muda sekali, tetapi juga ada yang sungkan bila harus memanggil nama saja kepada sang dosen. Akhirnya, para dosen muda maupun mahasiswa saling menyesuaikan diri.
Nongkrong bareng
Sabtu (18/9/2021) Rahmat Budiarto datang ke Bale Tatanen Padjadjaran yang berada di Fakultas Pertanian Unpad di Jatinangor. Doktor bidang agronomi dan hortikultura itu sedang mengajar mahasiswa program sarjana (S1) praktik menanam jagung manis dan kedelai.
Pembelajaran tatap muka memang belum dimulai tetapi ia bersedia mengajarkan praktik menanam secara langsung kepada mahasiswa yang mau datang ke kampus. Bagi yang tak bisa ke kampus ia mengajarkan ilmu itu lewat daring.
Dosen yang akrab dengan panggilan Diar itu, mengaku, sebagai dosen baru dan usianya relatif muda, ia harus banyak belajar mengenali kebiasaan mahasiswanya. Menurut Diar, mahasiswa sekarang amat berbeda dengan mahasiswa di zamannya.
“Usia saya dengan mereka tak terpaut jauh tetapi kemajuan teknologi membuat cara berpikir mahasiswa sekarang amat berbeda,” tambahnya. Sadar dengan kondisi itu ia juga harus tahu banyak hal mengenai pemikiran dan kebiasaan mahasiswanya agar bisa memiliki pola pembelajaran, komunikasi secara tepat dan efektif.
Soal mengajar tidak menjadi soal bagi pemuda asal Jember, Jawa Timur tersebut. Sejak masih mahasiswa S3, ia kerap membantu adik kelasnya mengajarkan ilmu yang belum mereka pahami. Hampir setiap menjelang ujian ia mengajak adik-adik kelas belajar bersama, Diar menjadi mentornya.
Ada pengalaman unik ketika pertama kali mengajar secara daring. Ia melihat ekspresi kaget para mahasiswanya saat melihat wajah Diar. “Tapi mungkin karena mahasiswa baru yang belum pernah berjumpa langsung, mereka tak banyak berkomentar,” tuturnya.
Hal berbeda terjadi pada beberapa mahasiswa yang sempat bertemu di kampus saat mengambil bahan praktikum. Menurut Diar, mereka menyatakan tak menyangka berhadapan dengan dosen yang hampir sepantaran.
“Wah asyik ini. Pak, nanti kita nongkrong bareng ya,” kata Diar menirukan permintaan seorang mahasiswanya. Ia mengiyakan.
“Saya tak masalah nongkrong dengan mereka di luar jam mengajar. Yang penting kalau sedang belajar di kampus mereka serius dan menghormati pembelajaran yang saya lakukan,” ujar Diar.
Upaya agar bisa tetap dekat dan berkomunikasi secara baik dengan mahasiswa juga dilakukan Grandprix yang mengajar mahasiswa program S1 dan S2 serta bertindak sebagai ko-promotor bagi mahasiswa S3. Tidak jarang, pemuda itu harus berhadapan dengan mahasiswa yang seumuran atau usianya jauh diatasnya. Namun, Grandprix bersyukur karena mahasiswa dan dirinya sama-sama bisa memosisikan diri dengan baik.
“Saya tetap bersahabat dan syukur saya ketemu mahasiswa yang baik juga. Mereka sebagai orang yang lebih tua, tetapi tetap menaruh rasa hormat kepada saya sebagai pembimbing akademik dan penelitian. Sejauh ini belum ada masalah. Malah sebelum pandemi kita sering buat acara kumpul-kumpul,” katanya.
Keadaan agak berbeda dialami Lupita. Oleh karena ia mengajar di Australia, mahasiswa setempat tak kaget melihat kehadirannya di depan kelas untuk mengajar. Mahasiswa program magister rata-rata memanggil dirinya dengan nama saja.
“Malah saya yang kaget karena orang Australia rata-rata kan tinggi besar hehe.. Sementara mahasiswa asing yang belajar di sana, terutama dari Asia memanggil saya dengan miss,” tutur perempuan bertubuh mungil itu pada Kamis (16/9/2021).
Lupita mengajar studi media dan komunikasi kepada mahasiswa S1 dan S2 di Melbourne dan mahasiswa S2 Monash University. Di masa pandemi, seluruh pembelajaran dilakukan secara daring.
“Secara umum komunikasi kami lancar, pembelajaran dengan mahasiswa berlangsung baik, tetapi justru saya yang harus menyesuaikan diri dengan sesama kolega dosen yang usianya jauh lebih tua,” katanya.
Sesuai kebiasaan dosen di tempatnya mengajar, sesama dosen cukup memanggil nama depan. Lupita yang asal Indonesia tentu saja segan melakukannya. “Tapi harus membiasakan diri begitu, sebab mereka tak akan menoleh kalau saya panggil misalnya prof…,” tambah Lupita sambil tertawa.
Tekun berjuang
Rata-rata para para dosen muda, yakni Diar, Grandprix, Lupita dan Indra telah melalui perjuangan keras dan tekun sehingga bisa mencapai gelar doktor pada usia muda. Didikan keluarga, apalagi sang ayah sudah berpesan agar Grandprix bisa melebihi dirinya yang seorang guru benar-benar menjadi pelecut diri untuk berprestasi di bidang akademik.
Pemuda berdarah Sabu ini masuk sekolah dasar pada usia lima tahun dan mengikuti kelas akselerasi di bangku SMA. Tertarik dengan pelajaran kimia, ia merantau ke Depok, Jawa Barat, untuk melanjutkan kuliah di Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia ditanggung orangtua pada 2009.
Lulus dengan memuaskan, Grandprix mendapat beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU). Dirinya menyelesaikan pendidikan S2 dan S3 di bidang Kimia di ITB dalam kurun waktu empat tahun. Ia langsung melamar sebagai dosen dan resmi menjadi dosen PNS di ITB pada 2018.
Grandprix sempat mengalami gegar budaya dan merasa rendah diri saat pertama kali merantau untuk menempuh pendidikan S1. Namun, seiring waktu, dirinya bisa beradaptasi sehingga bisa mendapat banyak teman sekaligus tetap berprestasi. Justru ketika melanjutkan pendidikan S2 dan S3, Grandprix menghadapi tantangan dari diri sendiri.
Dirinya merupakan orang pertama di keluarga besar yang menempuh pendidikan hingga jenjang S3. Namun, bagi Grandprix, gelar doktor sebatas suatu apresiasi atas keahlian seseorang di bidang ilmu tertentu. “Membanggakannya boleh, tetapi pendidikan S3 itu tidak lebih berharga dari pendidikan S2, S1, bahkan SD karena mau ke S3 juga kita butuh SD,” tuturnya sambil tertawa kecil.
Sementara Kristiawan Indrayanto atau Indra yang dihubungi pada Rabu (15/9/2021) membuat topik disertasi menganalisis karya sastra minoritas untuk melihat problematika pada lingkungan hidup. Indra menggali keterkaitan antara kolonialisme kulit putih yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan hidup masyarakat Hawaii.
Indra menjelaskan, sekilas Hawaii terlihat indah, tetapi pengelolaan Hawaii sebenarnya mengarah pada perusakan lingkungan. Ini terjadi akibat warisan kolonialisme pada penduduk asli. Salah satunya adalah cara pandang antroposentris yang menempatkan manusia di atas segalanya. Alhasil, alam diperlakukan sebagai komoditas.
Hasrat meraih pendidikan tinggi juga tidak lepas dari pengaruh keluarga. Ayah Indra adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH), Teguh Prasetyo. “Saya memang didorong untuk meraih pendidikan setinggi mungkin dan diarahkan untuk mengajar. Peluang untuk bekerja sebagai dosen juga lebih terbuka jika memiliki gelar S3. Saya juga sebenarnya baru kepikiran untuk mengajar saat melanjutkan kuliah S2,” ujar Indra yang meraih gelar S1 Sastra Inggris dan S2 Kajian Bahasa Inggris di Universitas Sanata Dharma.
Berkat bea siswa
Adapun Diar adalah lulusan sekolah menengah kejuruan pertanian. Ia bisa kuliah di Jurusan Agroteknologi Universitas Jember karena mendapat beasiswa unggulan yang membuat ia menempuh kuliah tiga tahun di Jember dan satu tahun di Kasetsart University, Kamphaeng Saen, Thailand.
Nilainya yang cemerlang membawa Diar, mendapat bea siswa menempuh pendidikan S2 dan S3 dari Program Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU).
Tak hanya Diar yang tekun belajar, dua adiknya juga bisa kuliah di politeknik dan universitas negeri setelah menjadi penerima Beasiswa Bidikmisi.
Ia masih mengingat dengan jelas, betapa orangtuanya amat menekankan pentingnya pendidikan bagi Diar dan dua adiknya. Untuk mendukung pendidikan Diar, sang ayah mengantar dirinya ke SMP tempatnya sekolah sebelum berjualan koran. Diar belajar tak henti selama sembilan tahun mulai jenjang S1 hingga S3, begitu lulus ada lowongan menjadi dosen di Fakultas Pertanian Unpad. Di sanalah ia mengabdi sejak delapan bulan terakhir ini.
Adapun Lupita, ketika masih kuliah di Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara bercita-cita menjadi wartawan. Ketika liputan ke Kementerian Luar Negeri saat magang di LKBN Antara, keinginannya malah berubah. Ia lebih tertarik terhadap isu mengenai laut Cina Selatan.
Lulus kuliah ia belajar bahasa mandarin ke Tiongkok, kemudian mendapat bea siswa menempuh magister jurnalistik di Chinese Cultura Universtiy, Taiwan. Sempat mengajar di UMN sekitar tiga tahun, kemudian ia mendapat bea siswa dari Monash University dan pemerintah Australia untuk melanjutkan pendidikan doktor.
Lucunya saat mengajar para mahasiswanya secara daring, para mahasiswa yang justru sering minta bantuan mengatasi hal teknis berkait dengan cara koneksi internet. “Akhirnya mesti bantuin para mahasiswa saya dulu. Mahasiswa yang sering punya problem dalam pembelajaran daring adalah mahasiswa yang datang dari Asia, terutama China,” kata Lupita.
Balas budi
Tak mudah mencapai keberhasilan pendidikan akademik tertinggi dari universitas terkenal pula, apalagi pada usia masih amat muda. Tentu saja, keberhasilan dan ketekunan itu bisa membawa Grandprix, Diar, Lupita dan Indra memilih pekerjaan yang membuat mereka mendapat gaji lebih tinggi ketimbang menjadi dosen. Akan tetapi mereka bersikukuh menekuni profesi tersebut.
Grandprix beralasan, sejak kecil, ia mendapat pesan untuk melebihi ayahnya yang adalah seorang guru di Kupang. Akhirnya sejak SMA, Grandprix bercita-cita menjadi seorang dosen atau peneliti.
“Itu doktrin sejak kecil jadi sadar tidak sadar muncul keinginan sekolah sampai S3. Ibu saya PNS di bidang peternakan dan ayah saya guru ekonomi yang tegas soal pendidikan. Kebetulan semuanya pas, ada niat dan kesempatan untuk memeroleh beasiswa jadi bisa selesai sekolah sampai S3,” kata Grandprix.
Bahkan Diar datang dari keluarga pra sejahtera. Ayahnya bekerja sebagai loper koran dan pedagang batu akik. Dia bisa mencapai gelar doktor berkat bantuan negara. Sejak kuliah S1, S2 dan S3 ia selalu mendapat bea siswa dari negara. “Saya harus membalas budi kepada bangsa dan negara saya dengan cara menjadi dosen, mendidik anak-anak negeri kita,” kata Diar.
Baca juga : Kegigihan Pers Kampus
Kesempatan berkarier di perusahaan swasta yang terbuka lebar dengan gaji menggiurkan ia lewatkan. “Sebenarnya dengan inovasi makanan yang begitu banyak, perusahaan butuh tenaga seperti saya, tetapi jujur saya tak ingin ke sana. Sungguh saya merasa harus membalas budi dan kebetulan memang senang mengajar,” urainya.
Karier Lupita yang fasih berbahasa Mandarin, di Australia amat terbuka. Namun, ia tetap ingin pulang ke Indonesia untuk membantu pendidikan di Tanah Air. Selamat mengabdi doktor muda!