Tak Lelah Belajar Mengajar
Banyak kisah menarik yang dialami mahasiswa peserta program Kampus Mengajar.
Kesempatan mahasiswa untuk mengabdi pada masyarakat tersalurkan melalui program Kampus Mengajar. Mereka bisa berbagi ilmu sekaligus menggali pengalaman kerja.
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Pakuan, Bogor, Fauziah Pustikawati atau Tika bisa melepas kerinduannya bertemu dengan siswa sekolah saat mengikuti Kampus Mengajar Angkatan 2 Tahun 2021. Sudah dua minggu ini Tika bersama tujuh mahasiswa lainnya ditempatkan di SMPN 18 Kota Bogor.
“Sebelumnya, sudah pernah praktek mengajar dua tahun lalu, makanya kangen banget berinteraksi dengan siswa sekolah. Kami bertemu saat membantu sekolah untuk vaksinasi para siswa. Saat mau vaksin, tensi mereka banyak yang tinggi, mungkin karena grogi ya, jadi kami bantu menenangkan mereka juga,” cerita Tika saat wawancara virtual, Rabu (11/8/2021).
Perasaan yang sama juga dirasakan teman satu tim Tika bernama Nadya Cahyaningtyas, mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. “Sayangnya lagi PPKM, jadi kami mengobrolnya juga harus jaga jarak dengan anak-anak. Kalau ada anak yang pendiam ya kami tetap ajak ngobrol. Saya kan belajar bimbingan konseling jadi bisa sharing juga bagaimana cara menghadapi siswa atau membuat suasana belajar yang menarik,” ujar Nadya.
Mahasiswa yang tergabung dalam tim berasal dari beragam jurusan. Selain Tika dan Nadya, timnya juga beranggotakan mahasiswa dari jurusan teknologi pangan, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, komunikasi dan penyiaran Islam serta pendidikan guru PAUD. Dengan beragamnya jurusan kuliah para mahasiswa diharapkan bisa saling berbagi ilmu untuk melengkapi susunan program kerja.
Seluruh peserta Kampus Mengajar bertugas menguatkan pembelajaran literasi dan numerasi. Mereka juga diharapkan bisa membantu para guru untuk menyusun bahan ajar menggunakan teknologi. Untuk itulah, Tika dan Nadya bersama timnya bukan hanya membantu anak-anak belajar tetapi juga membantu para guru. Misalnya, mendata buku paket untuk siswa, membantu kelancaran vaksinasi siswa dan membantu guru mengaplikasikan Gooogle Workspace for Education sebagai bahan pembelajaran. “Kami sudah menyusun banyak program kerja, semoga saja semua bisa berjalan baik selama lima bulan ini,” ujar Tika.
Untuk mengawasi jalannya program kerja, Tika dan teman-temannya dibimbing oleh Myrna Apriany Lestari, dosen Universitas Kuningan. Keterbatasan jarak antara Myrna di Kuningan dan tim mahasiswa yang dibimbingnya berada di Bogor, membuat mereka mengoptimalkan komunikasi secara daring.
“Mahasiswa jauh lebih kooperatif, saya malah kayak dikejar-kejar sama mereka. Semangat mereka untuk mengabdi luar biasa. Semua tugas diselesaikan dengan baik. Biasanya, mereka memilih waktu malam untuk bimbingan,” ujar Myrna.
Persiapan program kerja untuk Kampus Mengajar 2 juga dilakukan Redo Septian, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Semarang yang ditempatkan di SMPN 2 Plantungan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sekolah dengan tenaga guru yang terbatas serta berada di daerah terpencil sehingga susah sinyal menjadi tantangan tersendiri bagi Redo.
Selama minggu pertama setelah penempatan, Redo mengobservasi sekolah. Setelah mendapat semua informasi yang diperlukan, dia bersama timnya mulai menyusun program kerja. “Di sekolah ini, tidak semua siswa memiliki handphone. Nanti kami akan ke rumah siswa untuk mengajar. Kalau dari guru, kami diminta untuk membuat video dan PPT untuk bahan pembelajaran,” kata Redo.
Dengan sepenuh hati, Redo membantu para guru. Meski baru dua minggu, dia tak mau membuang waktunya. “Kami memang belum bertemu siswa, tetapi setiap hari sudah ke sekolah. Pokoknya jangan sampai nganggur deh. Semua yang bisa dikerjakan, akan kami selesaikan,” ujar Redo dengan penuh semangat.
Sejak Senin (2/8/2021), sebanyak 22.000 mahasiswa menjalankan program Kampus Mengajar Angkatan Kedua yang merupakan bagian dari program Kampus Merdeka di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Mereka disebar ke 3.593 SD dan SMP di 491 kabupaten dan kota. Program ini diharapkan bisa membantu pembelajaran jarak jauh bagi siswa, khususnya di daerah tertinggal.
Bagi mahasiswa, program pemerintah ini sangat membantu mereka untuk mendapat pengalaman sekaligus kelancaran kuliah. Nilai yang didapatkan mahasiswa setelah mengikuti Kampus Mengajar dapat dikonversi ke nilai mata kuliah sebanyak 20 satuan kredit semester (SKS). Keuntungan itu masih ditambah dengan uang saku per bulan sebanyak Rp1,2 juta.
Sabar mengajar
Pengalaman mengajar sudah dirasakan lebih dulu oleh Alya Rekha Anjani, mahasiswi Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam “45” Bekasi yang menjadi peserta Kampus Mengajar Angkatan 1 Tahun 2021. Selama tiga bulan, Alya mengajar di SDN Kertamukti 01, Cibitung, Kabupaten Bekasi.
Cerita menarik selama mengajar dia tuangkan dalam sebuah tulisan di muda.kompas.id. “Saya tertarik Kampus Mengajar juga karena membaca tulisan seorang mahasiswa di website tersebut. Dia menulis pengalamannya saat ikut Kampus Mengajar Perintis. Pas baca, wah kayaknya seru juga ya, baru deh saya cari informasinya,” ujar Alya saat dihubungi melalui telepon, Kamis (12/8/2021).
Baca juga : Pelajaran Penting dari Program Kampus Mengajar
Dimulai dengan rasa penasaran mengenai apa saja yang dilakukannya sebagai guru SD, sampai kemudian Alya merasa beruntung mendapat pengalaman berharga. Alya mendapat tugas mengajar siswa kelas 3.
Dalam satu pekan, selama tiga hari, dia harus mengunjungi lima rumah untuk memberikan materi pengajaran. Dengan menggunakan sepeda motor, Alya berpindah dari satu rumah ke rumah lain melewati jalan sempit. Beberapa kali, dia kehujanan di jalan demi bisa menemui anak-anak.
Sebelum bertemu anak-anak, Alya mencari informasi dari sekolah mengenai pembelajaran jarak jauh yang berlangsung selama pandemi. Biasanya, para siswa mendapat tugas yang dikirim melalui WhatsApp. Bila siswa tidak memiliki gawai, dia harus mengambil lembar tugas ke sekolah. “Saya merasa tertantang ketika melihat anak-anak belum bisa membaca dan berhitung. Saya bertanya pada anak-anak, ‘Siapa yang tahu 1 dikali 1 berapa?’. Mereka hanya terdiam lama, lalu ada yang menjawab,’2’,” kata Alya.
Melihat kondisi itu, Alya berusaha membantu para siswa. “Setiap pertemuan, biasanya saya menyiapkan soal-soal menulis abjad dengan menyambung titik-titik. Dan, soal mengenal angka serta penjumlahan-pengurangan-perkalian. Materi pembelajaran dibuat sehari sebelum mengajar,” kata Alya.
Dari situ, Alya merasakan menjadi guru butuh kesabaran. “Jadi guru itu harus sabar. Ada saja kendala yang dimiliki siswa. Tetapi, kami enggak boleh menyerah, harus bisa mencari solusi terbaik,” ujarnya.
Keuntungan lain yang diperoleh mahasiswa ialah memperluas pergaulan dan jaringan. Seperti halnya yang didapatkan oleh Aulia Putri Faradisa, mahasiswa Universitas PGRI Semarang. Meski sudah menyelesaikan tugasnya di Kampus Mengajar 1, Aulia masih menjalin hubungan baik dengan para guru di SDN Luragung, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Aulia tidak menyia-yiakan kesempatan untuk menggali ilmu dan pengalaman. Di sekolah tersebut, hanya dia sendiri yang merupakan peserta Kampus Mengajar. Untuk bertemu dengan para siswa di rumah mereka, Aulia menempuh perjalanan selama 30 menit dengan sepeda motor. Dengan tekun dan sabar, dia mengajari anak-anak.
“Sampai sekarang masih berkomunikasi dengan guru-guru. Kemarin baru saja dimintai tolong membimbing siswa mengikuti lomba Kihajar. Saya senang bisa akrab dengan anak-anak dan para guru. Semua sudah seperti keluarga sendiri,” ungkap Aulia.