Mahasiswa Menanti Jawaban Dosen
Komunikasi antara mahasiswa dan dosen kerap kali tak berjalan mulus.
Saat mahasiswa harus mengikuti kuliah jarak jauh selama pandemi, muncul beberapa masalah. Salah satunya, komunikasi antara mahasiswa dan dosen yang tidak lancar. Kondisi ini membuat kedua pihak tidak nyaman. Mahasiswa khawatir kuliahnya berantakan, di sisi lain dosen pun merasa harus banyak beradaptasi.
Dari laporan konsultasi daring di platform Sobatmu.com, di kolom Curhat Sobatmu, banyak mahasiswa yang mengeluh merasa ”digantung” nasibnya oleh sang dosen saat berkomunikasi. Keluhan respons yang lambat melalui aplikasi percakapan membuat mahasiswa khawatir dengan urusan kuliah, mulai dari tugas, nilai ujian, sampai skripsi. Ruang konsultasi daring Sobatmu.com digagas oleh dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, Ira Ramawati, bersama tim dosen fakultas sejak tahun 2015.
Fenomena interaksi mahasiswa-dosen yang dirasakan digantung selama pandemi, menurut Ira, bagi siswa yang mengalaminya membuat resah. Curahan hati soal ini di Sobatmu.com semakin meningkat dan mahasiswa merasa butuh saran untuk dapat mengatasinya. ”Berkomunikasi dengan dosen sekarang, kan, hanya mengandalkan gawai. Sering dosen cuma membaca aja pesan yang dikirim mahasiswa, tapi tidak merespons. Kalau masa kuliah normal, kan, mahasiswa bisa mencegat langsung dosen sehingga bisa berkomunikasi langsung,” ujar Ira.
Terutama bagi mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi, ada kebutuhan untuk bisa berkonsultasi. Memilih judul skripsi pun membuat frustrasi dan minta masukan dari konsultan Sobatmu.com. Terbatasnya komunikasi membuat mahasiswa stres dan cemas tentang kelanjutan penyelesaian skripsi mereka yang berdampak pada kelulusan dari kampus. Demikian pula soal nilai kuliah, ada rasa cemas dan tidak puas dengan nilai yang diberikan dosen. Namun, ruang komunikasi dengan dosen tertutup karena sikap dosen yang tidak merespons saat dihubungi mahasiswa.
”Perkuliahan online sudah bisa diterima oleh mahasiswa, ya, karena yang mengalami, kan, banyak orang. Kebutuhan berkomunikasi dengan teman-teman kuliah bisa diatasi. Nah, dengan dosen ini, yang masih jadi masalah karena tidak semua dosen punya sikap yang sama dalam melayani mahasiswa,” ujar Ira.
Rizki Kurniawan, mahasiswa semester II Jurusan Administrasi Publik Universitas Brawijaya, Malang, yang dihubungi dari Serang, Banten, Senin (26/4/2021), sempat merasa pusing setiap kali sesi kuliah daring. Sebagai penanggung jawab kelas, Rizki jadi penghubung rekan-rekannya dengan tujuh dosen pengampu mata kuliah yang diambil mahasiswa baru.
”Namanya anak baru, kan, agak takut juga kalau nelpon dosen. Biasanya lewat Whatsapp. Nanya soal jadwal kuliah, apakah daring atau enggak daring. Nah, ada saja dosen yang slow response. Bahkan sampai jam kuliah tiba, tidak juga dibalas. Sampai pernah, akhirnya kelas Zoom bubar karena dosen enggak juga nongol, padahal saya sudah kontak untuk konfirmasi,” cerita Rizki.
Tak hanya urusan komunikasi kepastian jadwal kuliah yang bisa menggantung. Saat bertanya lebih detial soal tugas kuliah yang belum dianggap jelas saat sesi kuliah daring, sering juga tak ada respons. ”Ada aja sih dosen yang slow response. Kayak gitu bikin bete. Apalagi, kan, kami mahasiswa baru yang transisi dari SMA jadi anak kuliah, terus langsung kuliah daring. Teman-teman sampai curhat, kok, ribet sih jadi mahasiswa,” kata Rizki tertawa.
Bukan hanya soal jadwal kuliah. Mahasiswa tingkat akhir pun dibuat repot dengan masalah bimbingan skripsi. Selama kuliah daring, Wildan M (22), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, kesulitan menghubungi dosen pembimbing skripsi. Selama delapan bulan terakhir, ia baru mendapat kesempatan untuk bimbingan lewat Zoom sebanyak tiga kali.
”Bukan main sulitnya. Awalnya masih cepet gitu bales-nya, terus lama-lama makin menghilang. Paling parah sih pernah nungguin balasan sampai sebulan dari Februari sampai akhir Maret. Pusing, kan, karena satu bulan enggak ngapa-ngapain, cuma tunggu arahan,” kata Wildan di Jakarta.
Wildan berkomunikasi dengan dosennya lewat surat elektronik. Bersama teman-temannya, Wildan tidak memiliki jadwal pertemuan khusus. Agar bisa bimbingan, salah satu perwakilan mahasiswa biasanya akan mengirim surel kepada dosen untuk mendapatkan jadwal. Setelah itu, mereka menunggu balasan dosen.
Sebagai mahasiswa, Wildan mencoba memahami kesibukan dosen pembimbingnya sehingga sulit dihubungi. Namun, ia merasa gelisah untuk segera menyelesaikan skripsi. ”Kesimpulannya, ikuti saja aturan main dosennya. Tetapi, sebenarnya bentuk komunikasi yang ideal itu apa pun bisa, mau Whatsapp, Zoom, atau Google Meet. Yang penting dosennya enggak sibuk, kalau bisa bimbingan setiap minggulah. Jadi, mahasiswa terpacu untuk mengerjakan skripsi dan lulus. Kalau diundur-undur, ya, kan jadi males,” ujar Wildan, yang berharap lulus tahun ini.
Cerita yang sama juga dialami Anggia Putri J (21), mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta. Dia merasakan dinamika dalam menghadapi dosen sedikit berubah selama kuliah jarak jauh. Salah satu hal yang terasa adalah dosen beberapa kali mengubah jadwal kuliah karena memiliki kesibukan lain.
”Kadang diundur sejam atau ganti hari. Sebel, sih. Meskipun di rumah, kan ada kegiatan lain, mau nonton atau tidur keganggu. Tetapi, selama PJJ ini memang lebih kerasa jadwalnya diundur, tahun lalu bisa lima kali, sedangkan kalau kuliah tatap muka jarang. Ya, kan, dosen sudah di kampus,” tutur Anggia.
Anggia bersyukur, sejak mengerjakan skripsi mulai Februari lalu, dirinya dimbimbing dua dosen pembimbing yang sangat responsif. Bahkan, Anggia telah mencapai bab tiga dan sebentar lagi akan melakukan seminar proposal.
Dua pembimbing Anggia itu memiliki cara bimbingan yang berbeda. Dosen pembimbing pertama tidak segan memberikan bimbingan secara langsung di rumahnya dalam bentuk kelompok. Sementara itu, dosen pembimbing kedua memilih untuk memberi masukan lewat surel. Untuk dosen pembimbing pertama, Anggia sudah mendapat bimbingan langsung tiga sampai empat kali dan konsultasi via Whatsapp paling sedikit dua kali.
”Komunikasi dosen dan mahasiswa yang ideal itu, ya, saling menghormati. Dosennya harus responsif dan mahasiswa menghargai. Aku juga sedih kalau lihat dosen ngajar, tapi mahasiswa pada matiin kamera atau waktu kasih pertanyaan semua diam. Intinya, harus komunikasi dua arah,” kata Anggia.
Adaptasi situasi baru
Sudah setahun berlalu, pandemi Covid-19 masih saja membuat kehidupan belum normal, termasuk kehidupan di kampus. Tidak hanya mahasiswa, pengajar pun masih menghadapi beberapa kendala.
”Di UMN ada dua jenis kelas, yaitu kelas biasa yang satu arah dengan pengajar yang menyampaikan materi dan mahasiswa menyimak. Kelas lain adalah kelas kolaborasi. Di kelas kolaborasi ini, mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok dan pada setiap mata kuliah mereka mengerjakan tugas secara kelompok,” jelas Teddy Ichsan, pengajar Fakultas Komunikasi Strategi Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang.
Untuk kelas satu arah, kesulitan yang dihadapi pengajar antara lain sulit beradaptasi dengan situasi baru ini, seperti cara penyampaian materi yang harus lebih kreatif. Sementara mahasiswa dan pengajar di kelas kolaborasi sudah terbiasa dengan belajar sambil berdiskusi dan fokus mengerjakan tugas.
”Sulitnya ketika belajar daring, pengajar sulit mendeteksi mana mahasiswa yang aktif, mana yang tidak. Kalau waktu normal, di kelas mudah terlihat. Tetapi, dengan belajar daring sulit,” kata Teddy.
Selain itu, pengajar juga sulit memastikan bahwa mahasiswa hadir sepanjang pelajaran. Bisa saja mahasiswa hanya hadir pada awal dan akhir sesi ketika pendataan presensi dilakukan. Di tengah pelajaran, ada saja mahasiswa yang mematikan kamera dengan berbagai alasan, seperti koneksi yang tidak stabil.
”Jangan-jangan ketika penyampaian materi hanya ada 10 mahasiswa yang hadir utuh dari awal hingga akhir, walaupun di layar terlihat banyak yang hadir,” ujar praktisi periklanan ini sembari tertawa.
Baca juga : Ada Rindu di Bulan Ramadhan
Kendala infrastruktur juga kadang terjadi. Server yang tidak bekerja sebagaimana mestinya membuat perkuliahan terganggu. Selain itu, kadang beberapa pengajar harus menunggu hingga tengah malam ketika tidak terlalu banyak orang mengakses jaringan internet kampus untuk memeriksa pekerjaan mahasiswa. ”Di masa normal, pekerjaan mahasiswa dapat dinilai dengan cepat. Sekarang kadang saya harus menunggu tengah malam supaya dapat mengakses file yang dikirimkan mahasiswa dengan lancar,” ujar Teddy. Bagi pengajar, ini merupakan waktu kerja yang lebih panjang lagi.
Di UMN, jadwal bimbingan skripsi dipublikasikan kepada mahasiswa, walaupun harus bergiliran baik secara daring maupun luring. Fasilitas kampus sudah dapat diakses. Perpustakaan dan laboratorium dapat digunakan mahasiswa dengan cara mendaftar diri terlebih dahulu untuk memastikan tidak terlalu banyak orang di ruangan atau fasilitas tersebut.