Hari Musik Nasional tahun ini diperingati tanpa ingar bingar bunyi dan aksi panggung karena pandemi Covid-19. Namun, pelaku industri musik berbarengan menyuarakan kerinduan berkreasi kembali dengan lantang.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI DAN ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Sebelum pandemi, industri pertunjukan musik sedang bergairah. Ekosistemnya sudah terbangun, termasuk ikatan yang solid dengan penggemar musik. Setahun berselang, kerinduan pada konser dan festival musik membuncah. Ini saatnya bergerak?
Gregorius Bernardino Saragih adalah penonton setia berbagai konser dan festival musik di Jakarta. Mahasiswa London School of Public Relations ini rutin menyisihkan waktu dan uang sakunya hadir di kerumunan konser menikmati musik kesukaannya. Pandemi Covid-19 menghilangkan salah satu hiburan penting bagi dirinya itu.
”Ini lumayan bete, sih, karena enggak ada konser atau acara musik,” kata penonton berbagai festival, seperti Synchronize Fest, Java Jazz Festival, dan The Sounds Project, ini ketika dihubungi pada Selasa (9/3/2021). Pertunjukan virtual kurang berhasil membuatnya bahagia.
”Konser virtual ini lumayan mengganti (konser konvensional). Tetapi, rasanya ada yang kurang karena tidak ada orang lain di sekitar atau kualitas suaranya sering kurang bagus,” kata penggemar Billie Eilish ini.
Yanti Setiakurniasih juga merasakan hal serupa. Dia adalah penggila konser yang sering sekali melawat ke luar negeri demi menonton penampilan musisi kesukaannya. Sekali jalan ke luar negeri, dia bisa melahap tiga hingga empat kali konser sekaligus.
”Kenapa harus nonton konser? Aku bisa merasakan penampilan musisi di depan mata dengan indera penglihatan dan pendengaranku sendiri. Jadi, setiap ada kesempatan, aku pasti menyempatkan datang demi kepuasan batin,” kata konsultan di lingkungan perusahaan internasional ini. Terakhir kalinya dia menghadiri konser artis internasional adalah ketika U2 main di Singapura pada Desember 2019.
Semestinya, pada 2020, Yanti sudah membeli tiket untuk 10 pertunjukan, misalnya konser Green Day di Singapura dan Pearl Jam di London. Namun, apa mau dikata. Segala pertunjukan dibatalkan. Rasanya sedih walaupun Yanti masih bisa menguangkan kembali pembelian tiketnya.
Setelah itu, dia terpaksa menikmati konser band-band rock kesukaannya dari rumah saja alias konser virtual, seperti pertunjukan A Bowie Celebration dan Patti Smith. Keuntungan dari nonton konser virtual adalah harga karcis pertunjukan yang lebih murah, dan dia tidak perlu mengeluarkan ongkos pesawat ke luar negeri. ”Tetapi, gara-gara perbedaan waktu, nonton konsernya jadi sering pagi-pagi banget atau malahan subuh,” katanya.
Dia juga harus menahan euforia biar enggak mengganggu penghuni rumah lainnya. Yanti optimistis tahun ini konser offline bisa dihelat. Dia bahkan sudah berencana mendatangi konser Pet Shop Boys dan New Order di AS serta Genesis di Skotlandia.
Sementara Bernardino masih ragu-ragu apakah aman mendatangi konser ketika sudah ada yang berani tampil. ”Sebetulnya aku belum berani karena belum yakin masyarakat Indonesia sudah siap dan sadar akan protokol kesehatan yang benar itu seperti apa,” katanya.
Kegelisahan bersama
Kegelisahan Yanti dan Bernardino sejatinya juga dirasakan oleh para pelaku industri musik. Kegusaran mereka disampaikan dalam beberapa panel diskusi bertema ”Kebangkitan Musik Nasional Pasca-pandemi: Kapan atau Kapan-kapan?” yang diadakan untuk memperingati Hari Musik Nasional di Live House M Bloc, Jakarta Selatan, sejak Selasa (9/3/2021) pagi hingga malam.
Acara itu digagas oleh beberapa manajer artis, seperti Dado Darmawan (manajer Jason Ranti), Rendi Raditya (Endah N Rhesa), Rey Idris Letlora (Pamungkas), dan Cak Hend (Nonaria). Wendi Putranto, salah satu pendiri M Bloc, juga ikut bergabung dan memberi nama perkumpulan itu Angin Ancol Movement.
Agenda acara itu adalah mencari ketegasan dari pemangku kebijakan terkait izin mengadakan pertunjukan dengan protokol kesehatan. Acara bernama Blok M Music Conference 2021 itu menghadirkan pembicara berbagai pihak, mulai dari pemerintah, musisi, promotor festival, pekerja panggung, hingga manajer artis.
”Musisi, tim produksi, dan promotor sebenarnya sudah rindu banget bikin pertunjukan. Protokol kesehatan untuk kegiatan seni dan budaya juga sebenarnya sudah pernah dikeluarkan Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif. Namun, untuk dapat izin keramaian masih susah banget. Protokol itu, kan, seharusnya bisa dicoba, nanti dievaluasi pelaksanaannya,” kata Endah Widiastuti yang jadi salah satu pembicara di sesi sore hari.
Yacko, seorang rapper dan pengarah program Flavs Festival, memberi penegasan, ”Yang dibutuhkan pelaku industri pertunjukan musik sekarang adalah peraturan yang jelas, terukur, dan bisa dijalankan supaya enggak ada rasa takut ketika berkonser.”
Salah satu protokol kesehatan yang banyak disinggung selama konferensi itu adalah aturan pembatasan jumlah penonton menyesuaikan kapasitas ruang pertunjukan.
Beberapa band dengan pengikut banyak, seperti Slank atau Tipe-X, misalnya, sepertinya mustahil membikin konser besar di tempat terbuka. ”Mungkin agak susah, tetapi manajemen band pasti bisa merancang pertunjukan terbatas. Protokol kesehatan diterapkan dulu pada pertunjukan skala kafe, misalnya. Kalau di lapangan (stadion) mungkin agak susah memprediksi jumlah penonton yang datang,” kata Tresno Riadi, vokalis Tipe-X.
Pertunjukan skala kecil mungkin bisa jadi solusi sementara. Perkumpulan AAM dan M Bloc sudah merancang pertunjukan kecil dengan tiket relatif mahal—separuhnya dipakai untuk tes cepat antigen di rumah sakit. ”Kalau pertunjukan nanti secara protokol kesehatan dianggap berhasil, bisa jadi patokan untuk pertunjukan lain,” kata Wendi.
Di lain sisi, pembatasan penonton agak kurang menguntungkan bagi penyelenggara festival besar. David Karto, penyelenggara Synchronize Fest, tak membayangkan festivalnya didatangi sekitar 2.500 orang saja atau 25 persen dari kapasitas Gambir Expo. ”Kalau pun izin bisa keluar, saya enggak mau paksakan festivalnya bakal sebesar sebelumnya. Kami akan mulai lagi pelan-pelan, seperti bayi yang baru belajar berjalanlah,” kata David.
Asthie Wendra, pengarah pertunjukan profesional, sepemikiran dengan David. Menurut dia, awak panggung memerlukan waktu untuk mempelajari penerapan protokol kesehatan. Kerumitan akan membesar seiring skala pertunjukannya. ”Festival besar enggak bisa tiba-tiba dibikin. Banyak hal harus dipelajari lagi oleh kru. Tim produksinya harus benar-benar menguasai dulu protokol kesehatan,” kata Asthie.
Konferensi itu mungkin tidak memberi jawaban atas pertanyaan kapan ada konser lagi. Tetapi, desakan agar ranah kreatif musik diperhatikan mulai digaungkan. Semoga kita segera berjumpa di arena konser sesungguhnya.