Musisi Rindu Konser, Rindu Penghasilan
Mau nonton konser yang mana? Pertanyaan yang sebelum pandemi Covid-19 terdengar biasa sekarang jadi pertanyaan yang aneh. Ya, setahun ini genap kita tak bisa jejingkrakan, ”moshing”, atau ”headbanging” di arena konser.
Selama satu tahun pandemi Covid-19, kebisingan konser musik lenyap. Seiring dengan itu, penghasilan pelaku industri konser menguap. Mereka hanya bisa berharap roda industri konser bisa bergulir lagi.
Sekitar dua pekan lalu, sejak sore hingga menjelang tengah malam, pasangan duet Endah Widiastuti dan Rhesa Aditya kedatangan tamu di Earhouse, warung yang mereka kelola di daerah Pamulang, Tangerang Selatan. Tetamu itu di antaranya adalah musisi Pamungkas dan manajernya; Dado Darmawan yang menjadi manajer Jason Ranti; dan Cak Hend dari tim trio Nonaria.
Mereka saling melontarkan keluh-kesah selama satu tahun bertahan hidup di tengah paceklik panggung terkait pandemi Covid-19. ”Intinya, kami sama-sama rindu panggung, sama-sama gelisah kapan bisa manggung lagi. Di luar musisi, ada banyak pekerja yang hidupnya terkait konser, misalnya pedagang makanan dan minuman, teknisi panggung, dan jasa sewa sound system,” kata Endah Widiastuti, Senin (8/3/2021).
Artis atau musisi, kata Endah, masih bisa menikmati hasil dari pertunjukan virtual—meski bayarannya tak sebesar konser konvensional. Endah N Rhesa, misalnya, bisa tampil virtual sebulan dua kali demi menghidupi mereka dan orang-orang yang bekerja untuk mereka. Meski demikian, industri pertunjukan musik punya ekosistem kompleks yang melibatkan banyak orang.
Obrolan malam itu menyepakati mereka harus mulai bergerak dengan cara mereka. Peringatan Hari Musik Nasional yang jatuh setiap 9 Maret dianggap sebagai momentum yang tepat untuk memulainya. Setelah Wendi Putranto, salah satu pendiri M Bloc, ikut nimbrung, mereka menamai perkumpulan itu Angin Ancol Movement (AAC).
Sebagai langkah awal, mereka akan menggelar acara bincang-bincang berjudul Blok M Music Conference 2021 dengan tema ”Kebangkitan Musik Nasional Pasca Pandemi: Kapan atau Kapan-kapan?” pada hari ini. Konferensi ini berisi lima diskusi terkait musik menghadirkan tak kurang dari 30 narasumber dari pagi hingga malam.
Kami sudah siap, kok, menggelar konser dengan protokol kesehatan yang ketat. Kalau sudah oke, kami tancap gas bikin konser.
Selain musisi, pihak pemerintah juga hadir sebagai pembicara, terutama di topik ”Menunggu Hari Dikabulkannya Perizinan Konser Offline”. Diskusi panel itu akan diisi oleh perwakilan dari kepolisian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pariwisata DKI Jakarta, juga penyelenggara festival musik.
”Semoga dari diskusi dengan pemerintah besok (nanti) akan ada keputusan langsung bahwa konser offline sudah bisa digelar. Kami sudah siap, kok, menggelar konser dengan protokol kesehatan yang ketat. Kalau sudah oke, kami tancap gas bikin konser,” kata Wendi.
AAC dan M Bloc bahkan sudah memberi nama pertunjukan itu, menyusun penampilnya, dan mengajukan izin untuk tanggal 26 Maret kepada pemerintah. Konsernya bakal bernama Grand Rapid Live dengan penonton terbatas dan berjarak satu sama lain. Tiket akan dijual dengan harga relatif mahal karena sudah termasuk tes usap antigen di Rumah Sakit Pusat Pertamina. ”Kalau hasilnya negatif (Covid-19), akan ada shuttle bus dari RSPP yang menjemput ke M Bloc,” lanjut Wendi.
Perlu disapa
Sebelumnya, sekelompok pekerja seni dan industri pertunjukan musik mengirimkan surat terbuka kepada Presiden RI. Inti surat itu adalah meminta pemerintah memberi kepercayaan kepada mereka untuk menggerakkan kembali roda industri event, termasuk pertunjukan musik secara bertahap dengan protokol kesehatan ketat. Surat terbuka, antara lain, diajukan oleh 14 asosiasi, termasuk Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI).
”Bisa dikatakan industri event, termasuk pertunjukan musik, yang paling pertama terkena dampak pandemi dan bakal menjadi yang terakhir siuman,” ujar Anas Syahrul Alimi, promotor konser sekaligus Ketua Bidang Jaringan dan Pendidikan APMI, Senin (3/8/2021). Dia menjelaskan, para pekerja seni sengaja mengirim surat kepada Presiden agar mereka disapa.
Bisa dikatakan industri event, termasuk pertunjukan musik, yang paling pertama terkena dampak pandemi dan bakal menjadi yang terakhir siuman.
”Alhamdulillah, akhirnya kami diajak bicara juga,” tambah Anas. Senin siang, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menggelar ”Bincang-bincang Industri Event dan Mice” yang juga dihadiri Kepala Polri dan jajarannya, Satgas Penanganan Covid-19, Kementerian Kesehatan, pelaku industri MICE, dan sejumlah promotor musik. Acara itu, antara lain, membicarakan aneka persiapan yang diperlukan untuk menggulirkan kembali industri event, termasuk konser.
Anas menegaskan, industri konser/festival punya dampak ekonomi ikutan yang besar sehingga layak diperjuangkan. Prambanan Jazz Festival yang ia gelar, misalnya, biaya produksinya sekitar Rp 30 miliar dan pendapatan kotor sekitar Rp 40 miliar. Namun, berdasarkan survei yang ia lakukan pada 2019, uang yang berputar selama tiga hari penyelenggaraan bisa mencapai Rp 800 miliar. Uang itu mengalir ke industri hotel, penerbangan, transportasi, tempat wisata, dan kuliner.
”Penonton yang datang 60.000 orang, sebagian besar dari luar daerah. Mereka bawa duit semua,” kata Anas.
Sejauh ini, belum ada data pasti berapa potensi bisnis yang hilang akibat lenyapnya konser/festival selama pandemi. M Bloc, kata Wendi, kehilangan pendapatan Rp 2,5 miliar dari sewa gedung pertunjukan. Sementara itu, Anas selaku promotor kehilangan kesempatan menggelar sejumlah festival musik internasional atau lokal yang ia rintis dengan susah payah, seperti Prambanan Jazz Festival, Borobudur Symphony, Jogjarockarta, Batik Music Festival, dan 11 konser lainnya.
Survei pendataan pelaku event yang dilakukan Kemenparekraf pada April 2020 hanya mencatat potential loss dari pembatalan acara karena Covid-19 berkisar Rp 1,78 triliun-Rp 5,28 triliun. Di dalamnya termasuk acara yang melibatkan musik.
Baca juga : Industri Musik Tersungkur di 2020 Coba Bangkit di 2021
Anas dan para promotor lainnya berharap pemerintah bisa mulai melonggarkan izin konser secara terbatas dan dengan protokol kesehatan sangat ketat. Promotor pasti akan bekerja dengan sangat hati-hati agar konser tidak memicu kluster baru. ”Kami akan menggunakan pengalaman yang kami punya untuk menyajikan konser secara kreatif, beradaptasi dengan pandemi sehingga aman,” katanya.
Jika izin keluar, Anas memperkirakan pihaknya paling cepat bisa menggelar konser pada Juli 2021. Ini dengan memperhitungkan progres pencapaian vaksinasi nasional. Jika konser bisa mulai digelar 2021, industri ini paling cepat akan normal 2024. ”Jadi, waktu pulihnya sekitar tiga tahun. Kalau mundur, ya pulihnya juga mundur. Kalau itu terjadi, mungkin perusahaan penyelenggara konser/festival sudah mati duluan,” tambahnya.
Ia membayangkan, konser/festival ke depan akan digelar secara hibrid. Penonton yang hadir secara fisik akan dibatasi. ”Saya berencana pada Prambanan Jazz Festival nanti, penonton akan duduk di dalam boks, yang tiap boks isinya hanya empat orang. Atau bisa juga membuat konser secara drive in, dengan penonton di dalam mobil,” tuturnya.
Hendra Noor Saleh dari Dyandra Promosindo menyambut baik kemungkinan penyelenggaraan acara mulai bisa dilakukan April mendatang. Namun, aturan yang membatasi pengunjung 25 persen dari kapasitas gedung perlu dipertimbangkan masak-masak dari segi hitungan bisnis. Selain itu, penyelenggara Synchronize Festival ini menilai, perhelatan konser berisiko paling tinggi dibandingkan event lain semisal pameran jika dilihat dari urusan penegakan protokol kesehatan.
”Acara musik, apalagi konser besar, melibatkan emosi sehingga penonton bisa saja lupa aturan. Risikonya jadi besar untuk penyelenggara konser,” ujarnya.
Baca juga : Ampun Penguasa Musik Digital