Ampun Pandemi, Ampun Penguasa Musik Digital!
Pandemi menjadi arus lain, selain disrupsi teknologi digital, yang menyeret para pelaku industri musik masuk lebih dalam ke pusaran dunia digital. Apa untung ruginya?
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F17c3fa92-9aa2-4464-bf0e-6fd627d95a41_jpg.jpg)
Musisi pendukung penyanyi Isyana Sarasvati tampil dalam konser Prambanan Jazz Virtual Festival 2020 di kompleks Candi Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (31/10/2020). Perhelatan musik tahunan itu pada tahun ini menampilkan 13 kelompok musisi dan digelar tanpa penonton akibat pandemi.
Pandemi Covid-19 membuat banyak musisi tidak punya banyak pilihan untuk eksis selain memanfaatkan kanal-kanal digital. Apa saja konsekuensinya?
Sejak pandemi melanda setahun yang lalu, para musisi tak bisa lagi manggung secara fisik. Konser, festival musik, dan acara peluncuran album semuanya dibatalkan. Kondisi ini langsung memukul ekonomi dan mental para promotor pertunjukan dan musisi.
Sebagai ilustrasi, band metal Seringai yang dalam setahun pernah manggung 50-60 kali, selama pandemi praktis hanya bisa berdiam di rumah. Band asal Jakarta ini setidaknya kehilangan 16 jadwal pertunjukan ke sejumlah daerah sepanjang tahun 2000. Para anggotanya kini mengandalkan pendapatan dari luar panggung.
Situasi serupa dihadapi Promotor musik Ferry Dermawan dari Plainsong Live. Pandemi membuat Plainsong terpaksa membatalkan tiga konser tunggal dan satu festival musik. Padahal, ada uang muka yang sudah mereka bayarkan kepada beberapa agen penampil mancanegara (Kompas, 4/1/2021).
Banyak pegiat musik, mulai dari band rock/pop di Jakarta hingga band dangdut di Pantura Jawa, berusaha mempertahankan eksistensinya lewat konser virtual. Namun, konser virtual secara ekonomi dan sensasi tak bisa dibandingkan dengan konser fisik. Seringai bahkan menyebut konser virtual tidak sesuai dengan ”kodrat” band panggung.
Apa mau dikata, kanal-kanal virtual itulah yang kini tersedia dan bisa menghubungkan para pegiat musik dengan penggemarnya di masa pandemi ini.

Konser virtual Mikha Angelo
Pada akhirnya, pandemi menjadi arus lain, selain disrupsi teknologi digital, yang menyeret para pelaku industri musik masuk lebih dalam ke pusaran dunia digital. Sebuah dunia di mana pemilik teknologi digital global menjadi aktor paling dominan dan monopolik dalam struktur ekonomi-politik, dalam hal ini, industri musik digital.
Baca juga: Industri Musik Tersungkur di 2020 Coba Bangkit di 2021
Dengan bertumpu pada kekuatan distribusi digital dan algoritma, mereka sukses melengserkan aktor dominan industri musik era konvensional, yakni label/produser yang bertumpu pada kekuatan produksi dan kemampuan merumuskan ”selera pasar”.
Lalu apa yang tersisa untuk musisi yang menjadi jantung industri musik? Pada dasarnya, sejak era konvensional hingga digital, musisi tak pernah benar-benar menjadi pemain dominan dalam industri musik. Musisi—terutama yang meniti karier di jalur mainstream—nasibnya lebih sering ditentukan oleh produser/label dan sekarang oleh para penguasa musik digital.
Akses yang menggoda
Sejak awal, perkembangan teknologi digital menghadirkan banyak paradoks. Dalam konteks bisnis musik, teknologi digital di satu sisi menjanjikan akses yang luas bagi semua musisi di mana pun berada untuk menjangkau pasar global.
Viralnya lagu ”Ampun Bang Jago” merupakan contoh sempurna bagaimana akses yang ditawarkan dunia digital begitu menggoda. Sejak dirilis pada 12 September 2020, lagu berirama disko itu telah mengiringi lebih dari 2,7 juta video orang di banyak negara berjoget di aplikasi TikTok.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2F67a86bb3-adc6-48ea-aaa6-c45dce94b977_jpg.jpg)
Penonton menyaksikan penampilan Jonathan Dorongpangalo (23) dan Everly Salikara (22) dalam sebuah acara di Manado, Sulawesi Utara, Selasa (19/1/2021). Keduanya dikenal sebagai penggubah lagu ”Ampun Abang Jago” yang viral.
Tanpa perlu hijrah ke Jakarta yang dulu dianggap sebagai episentrum industri musik Indonesia, pencipta lagu itu, Jonathan ”Tian” Dorongpangalo dan Everly Salikara dari Bitung, Sulawesi Utara, berhasil menarik perhatian jutaan audiens di banyak negara mulai Filipina, Korea, Vietnam, Myanmar, hingga China.
Baca juga: Jonathan Dorongpangalo dan Everly Salikara Mendunia dengan Disko Tanah
”Invasi” dIsko tanah jadi makin meluas setelah lagu-lagu racikan Tian dan Ever dialirkan ke kanal Youtube, dan makin menggema lewat popularitas aplikasi TikTok. Mereka tampil di ajang TikTok Awards 2020 yang disiarkan televisi nasional. Lagu mereka jadi salah satu unggulan di media sosial asal China itu. Sulit dibayangkan hal ini bisa terjadi di era industri musik konvensional yang rantai produksi dan distribusinya panjang dan makan waktu lama.
Seiring viralnya lagu itu, sang pencipta menerima royalti atas penggunaan lagu untuk iklan aneka produk. Situs e-dagang Tokopedia, misalnya, menggunakan lagu itu dalam versi aransemen untuk iklan. Produk jamu saset Bejo Jahe Merah produksi PT Bintang Toedjoe bahkan menjadikan Tian dan Ever sebagai model dalam klip video iklannya.
Tian dan Everly enggan menyebut jumlah rupiah yang mereka peroleh dari lagu ”Ampun Bang Jago”. Menurut mereka, angkanya patut disyukuri. ”Tuhan kasih kami (rezeki) di ’Ampun Bang Jago’,” kata Tian.
Di luar akses yang menggiurkan, para pemilik teknologi digital, sebenarnya menetapkan aneka batasan lewat mekanisme industri yang mereka rancang, mulai dari mekanisme akses hingga kapitalisasi produk. Oleh karena itu, tidak banyak musisi yang benar-benar mendapat ”berkah” langsung dari perusahaan kanal digital.
Tian dan Everly mungkin lebih banyak mendapat uang dari penyewaan lagu ”Ampun Bang Jago” untuk iklan produk dibandingkan pendapatan langsung dari hasil monetisasi oleh kanal digital.
Promotor dan produser musik Log Zhelebour yang malang melintang di industri musik Indonesia sejak akhir 1970-an menceritakan, bagaimana mekanisme yang dibangun para penguasa industri musik digital, nyaris membuatnya frustrasi. Log sejak tahun lalu mencoba menjual lagu-lagu rock lawas band asuhannya seperti Jamrud dan Boomerang melalui platform musik streaming milik perusahaan global.

Penampilan Jamrud dalam The 90’s Festival di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Sabtu (23/11/2019).
”Ternyata enggak semudah yang dibayangkan. Label dan musisi lokal harus pakai aggregator (semacam perusahaan perantara antara label/musisi dan toko musik virtual). Label-label global, sih, nggak perlu pakai itu karena punya jaringan khusus dengan mereka,” kata Log, Kamis (11/2/2021).
Log menambahkan, hasil penjualan lagu yang diterima produser/label dipotong aggregator 25-30 persen (tergantung perjanjian). Produser juga mesti membayar royalti untuk pencipta lagu dan penyanyi masing-masing 9 persen. Sisanya sekitar 52-57 persen dipotong pajak 15 persen, biaya produksi, promosi, gaji, dan pajak karyawan. ”Untuk produser jatuhnya jadi kecil banget,” ujarnya.
Ketika lagu/album sudah bertengger di kanal digital pun, uang tidak serta merta mengalir deras. Pasalnya, harga yang dibayarkan oleh platform streaming untuk setiap pemutaran lagu kelewat kecil. Songtrust, lembaga pengelola pendapatan musik dari streaming yang berdomisili di New York, menyebutkan, Spotify membayar di rentang 0,0031-0,00437 dollar AS kepada pemegang hak lagu untuk sekali putar (minimal 30 detik).
Jika dirupiahkan, sebuah lagu harus dimainkan minimal 72.000 kali untuk menghasilkan uang setara UMP DKI Jakarta (Rp 4,4 juta). Itu pun sebelum ”disunat” aggregator dan label.
Jika dirupiahkan, sebuah lagu harus dimainkan minimal 72.000 kali untuk menghasilkan uang setara UMP DKI Jakarta (Rp 4,4 juta). Itu pun sebelum ”disunat” aggregator dan label.
Platform lainnya, seperti Apple Music, Pandora, Deezer, Amazon Music, dan Youtube Music, setali tiga uang. Di jajaran ini, Platform Tidal dengan keunggulan resolusi audio tinggi membayar lebih tinggi, yaitu 0,01284 dollar AS. Tetapi, Tidal belum masuk Indonesia.
Rapper Joe Million (28) pernah bersaksi bahwa dia membutuhkan waktu dua tahun untuk ”menikmati” hasil dari memajang sekitar 20 lagu di sejumlah platform digital, seperti Spotify, Pandora, dan Apple Music. ”Dapatnya sekitar Rp 1 juta setahun. Setengahnya aku pakai untuk memperpanjang langganan lagi setahun ke depan. Sisanya kupakai rekaman. Habis sudah,” kata Joe.
Platform penyedia musik digital yang paling adil dalam hal pembagian royalti adalah Resonate dan Bandcamp. Di situs resminya, Bandcamp secara terbuka menyatakan hanya mengutip 15 persen dari harga lagu, dan 10 persen dari merchandise (seperti CD, kaset, atau kaus) yang dipajang di situs. Sisanya diberikan kepada pemegang hak karya itu, bisa label maupun musisi.
Sementara itu, kanal Youtube tak seindah yang terlihat. Dari pengalaman Log, jumlah view (ditonton) tidak berbanding lurus dengan pendapatan. Pemilik akun bisa dapat penghasilan kalau akunnya dimonetisasi oleh Youtube lewat iklan. Namun, pembagian hasil iklan, lanjut Log, tergantung pada ”kebaikan” Youtube, alias cuma mereka yang tahu persis penghitungannya.
Kalau kita semua pasrah pada platform global, kita nggak dapat apa-apa. Duit gedenya digondol ke luar negeri semua
Tak heran kalau Log berkesimpulan bahwa para penguasa platform musik digital pada umumnya terlalu dominan dan monopolik. Akibatnya, label dan musisi terdesak ke pinggiran sehingga posisi tawarnya amat rendah dalam relasi ekonomi-politik di hadapan mereka.
Strategi perlawanan
Log berharap pemerintah secara serius memikirkan pembentukan platform musik digital yang kuat untuk mendistribusikan karya musisi lokal. ”Kalau kita semua pasrah pada platform global, kita nggak dapat apa-apa. Duit gedenya digondol ke luar negeri semua,” kata Log, yang sempat mengambil jeda dari bisnis musik sejak 2015 karena tidak mengerti sama sekali bisnis industri musik digital.
Saat jeda itu, ia mempelajari seluk-beluk bisnis digital dan mengamati tren musik rock yang sejak 1970-an menjadi arena bermain Log. Agar bisa bermain di industri digital, dia mendirikan perusahan publishing musik digital sendiri dengan nama Logis Creative Publishindo.
”Saya bikin perusahaan (publishing digital) untuk melindungi musisi-muisisi yang masih ikut label saya. Dengan memiliki publishing sendiri, saya bisa menarik dan membagikan royalti sendiri tanpa bantuan publishing lain,” ujarnya.
Ia juga mendirikan label baru bersama Pelangi dengan nama Logis Record. Sebelumnya, label lama Log bernama Logis Record dengan dua huruf ”S”.
Sejumlah pegiat musik lokal beberapa tahun lalu juga telah merintis ekosistem industri musik digital di Indonesia, baik sebagai aggregator, publisher musik digital, maupun toko musik digital. Salah satunya dilakukan enam anak muda pecinta musik mengoperasikan toko musik digital.
Pada September 2020, misalnya, enam anak muda pencinta musik mengoperasikan toko musik digital, The Store Front (TSF) yang membagi pendapatan secara lebih adil, melaporkan keuangan secara terbuka, dan tak mensyaratkan keterlibatan aggregator. TSF hanya mengutip 10 persen dari penjualan lagu/album. Sisanya, 90 persen, untuk pemilik karya. Hingga pertengahan Februari ini, katalog TSF telah berisi 150 rilisan berkas musik, mulai dari singel, minialbum, hingga album penuh.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_11264915_56_0.jpeg)
Wukir Suryadi (kiri) dan Rully Shabara dari kelompok Senyawa saat manggung pada Desember 2014.
Jalan lain ditempuh duo Senyawa, Rully Shabara dan Wukir Suryadi, yang tidak mau dicengkeram para penguasa global industri musik era digital. Alih-alih memilih toko musik virtual paling beken sejagat, mereka menyerahkan distribusi album terbaru, Alkisah, kepada 43 label rekaman dari berbagai kota di dalam dan luar Indonesia.
Setiap label diberi kuasa utuh memperlakukan album sesuai karakternya masing-masing, termasuk menentukan harga jual. Label didorong menggandeng musisi setempat untuk merekonstruksi (remix) lagu-lagu di album Alkisah. Responsnya bagus. Dari 43 label yang terlibat terkumpul sekitar 150 trek remix berbagai rupa.
”Ini mungkin survival mode kami. Sebagai musisi, caranya, ya, bikin musik, jadi album. Label yang merilis juga kebagian untungnya. Musisi yang me-remix juga kebagian. Cara yang kami pakai ini justru bisa memberi makan lebih banyak orang. Ngerti, nggak?” kata Rully.
Inisiatif-inisiatif di atas betapa pun kecilnya, penting untuk terus dikembangkan. Sebab, memasrahkan nasib semata kepada para penguasa teknologi musik digital bisa berbahaya. Ampun!