Regina Manjali Jeli Memilih Konten Kesehatan Reproduksi di Media Sosial
Regina Manjali membuat konten kreatif di media sosial terkait dengan kesehatan reproduksi. Meski menulis singkat, semua konten yang dihasilkan dibuat dengan data dan fakta.
Berawal dari suka menulis, Regina Manjali kini aktif menjadi penulis konten akun sosial media terkait hak kesehatan seksualitas dan reproduksi remaja. Ia menyulap sumber tulisan dari jurnal ilmiah dan wawancara ahli kesehatan menjadi tulisan yang informatif dan mudah dicerna.
Lulusan Ilmu Psikologi UI ini sudah tertarik menulis sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Ketika itu, ia menulis untuk blog pribadi. Memasuki dunia kuliah, ia juga sering membuat tulisan tetapi demi kepentingan akademik. Ketertarikannya pada dunia tulis menulis semakin terasah ketika menjalani program Kompas MuDa Magangers Batch IV pada 2012.
Di ruang redaksi Kompas, Regina mempelajari berbagai genre tulisan, termasuk menulis berita dan feature. “Seiring berjalannya waktu, aku jadi mengikuti perkembangan media, termasuk media sosial,” kata Strategic Development Tabu.id ini di Jakarta, Kamis (7/1/2020).
Pada 2018, ia diajak beberapa temannya untuk menulis konten terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi remaja di akun Instagram Tabu.id. Ia kemudian bergabung sebagai Creative Content Writer. Melalui Tabu.id ia menulis berbagai topik kesehatan remaja dan membangun keterikatan dengan audiens. “Sekarang, kami sedag mengembangkan organisasi juga untuk meningkatkan kerja sama baik dari sisi bisnis ataupun organisasi,” katanya.
Dari pengalamannya bekerja sebagai magangers di Kompas dan pengalaman bekerja menulis konten untuk kepentingan sosial media, ia memahami ada perbedaan cara menulis untuk berita dan konten media sosial. Di sosial media, tulisan cenderung singat, padat, dan jelas. Sementara di media massa, artikel ditulis lebih panjang dan kompleks.
Memahami bahwa anak muda tidak terlalu suka membaca artikel yang panjang, Regina mulai fokus untuk menulis konten-konten singkat yang lebih mudah dipahami anak muda. Ia juga menyempurnakan kemampuan menulis dengan keahlian desain kreatif. Dengan perpaduan dua keahlian ini, tulisannya tak hanya enak dibaca tetapi juga menarik secara visual.
Berbekal prinsip trial and error, ia mencoba berbagai aplikasi di sosial media untuk mendesain konten. Ia juga mengulik referensi di internet untuk mendapatkan ide-ide desain yang keren.
Menulis konten di sosial media, menurut Regina, sangat menarik karena ia bisa segera mengetahui respons dari pengunjung sosial media. “Kalau dulu menulis di koran tanggapannya kan tidak langsung, sekarang begitu posting konten sudah dapat feedback,” katanya.
Pada salah satu kelas pembuatan konten kreatif yang diselenggarakan pada Oktober 2020, Regina membagikan tips-tips membuat konten sosial media. Untuk membuat konten yang terdiri dari 3-4 bagian dalam satu kali posting Instagram, Regina menjelaskan hook atau pengait itu sangat penting untuk mencuri perhatian audiens. “Hook yang bisa dipakai antara lain meme atau gambar yang menarik,” katanya.
Setelah itu pada bagian kedua pembuat konten bisa memberikan informasi lebih lanjut. Bagian ketiga juga bisa ditambahkan lebih banyak informasi. “Sementara bagian keempat adalah panggilan untuk aksi,” lanjutnya lagi.
Regina menjelaskan, konten sosial media di Tabu.id dibuat berdasarkan jurnal ilmiah dan wawancara dengan ahli. Biasanya tim Tabu.id akan mewawancarai tokoh ahli, seperti dokter atau psikolog. Ia kemudian merangkum hasil wawancara sebagai dasar menulis caption foto.
Agar konten kreatif bisa diterima publik, menurut Regina penting untuk mengetahui karakteristik, kebutuhan, dan keinginan audiens sebelum membagikan postingan. Pembuat konten juga harus mengetahui karakteristik berbagai platform media sosial.
Meskipun informasi tentang hak kesehatan reproduksi sudah banyak tersebar, menurut Regina, remaja masih membutuhkan pendampingan dari orang tua, guru, atau psikolog. “Kalau informasi itu kan hanya satu arah. Remaja tetap perlu konsultasi untuk memvalidasi perasaan atau perkembangan tubuhnya,” jelas Regina.
Untuk selanjutnya, Learning Program & Content Specialist diperusahaan start-up ini ingin mengembangkan Tabu.id tidak hanya sebagai media membagikan informasi. Tetapi juga sebagai yayasan yang bisa membuat program edukasi lebih menyeluruh untuk remaja.
Media sosial
Bagi remaja, perkembangan dunia digital dan internet bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, internet memudahkan remaja mengakses berbagai macam informasi, termasuk terkait hak kesehatan seksualitas dan reproduksi. Namun, di sisi lain, tantangan dan kejahatan di era digital juga nyata. Sangat penting mendampingi dan membekali remaja dengan cara berpikir kritis.
Psikolog dan CEO Wiloka WorkshopLucia Peppy N menjelaskan, informasi terkait terkait hak kesehatan seksualitas dan reproduksi yang dibagikan melalui sosial media sangat membantu remaja untuk memahami dirinya. “Kalau kita berbicara mengenai generasi Alfa dan generasi Z yang punya karakteristik dekat dengan dunia digital, maka edukasi kepada remaja memang harus masuk melalui digital, seperti media sosial,” ujarnya, Selasa (12/1/2020).
Peppy menjelaskan, berdasarkan teori ekologi bronfenbrener pertumbuhan individu remaja dipengaruhi oleh sistem di sekitarnya, termasuk sistem keluarga dan lingkungan sosial terdekat. Kini, dengan pertumbuhan teknologi, lingkungan sosial untuk remaja telah bergeser dari lingkungan fisik menjadi digital. Oleh karena itu, sistem yang dipakai untuk mengedukasi remaja juga harus mengikuti perkembangan yaitu melalui digital.
Perkembangan teknologi dan informasi menginspirasi berbagai komunitas dan lembaga untuk membuat konten kreatif terkait hak kesehatan seksualitas dan reproduksi melalui sosial media.
Sekelompok anak muda, terdiri dari Alvin Theodorus, Neira Ardaneshwari Budiono, Adelina Kumala, dan Patricia Agatha, misalnya, membuat akun Instagram Tabu.id sebagai sumber informasi terkait isu hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) remaja, topik penting yang masih sering dianggap tabu untuk dibicarakan.
Di Instagram, akun yang dipakai untuk membagikan edukasi terkait kesehatan kepada remaja dan dewasa juga cukup beragam. Misalnya, akun testjkt.org memanfaatkan Instagam untuk berbagi informasi terkait HIV/AIDS. Ada juga Awas KBGO yang memanfaatkan Instagram untuk mengadvokasi isu kekerasan berbasis gender online. Contoh lainnya adalah Sehatmental.id yang membagikan informasi terkait kesehatan mental.
Beberapa komunitas juga memakai platform Youtube dan Podcast untuk berbagi pengetahuan. Ada juga yang memanfaatkan kelas daring untuk berbagi penegtahuan terkait kesehatan reproduksi. Layanan kesehatan ramah remaja UNALA dan Yayasan Kampung Halaman misalnya rutin menyelenggarakan kelas daring terkait seksualitas dengan pembicara ahli di bidang kesehatan dan psikologi. Topik yang dibahas beragam, seperti ubertas, psikologi remaja, kehamilan remaja, relasi sehat dan konsen.
Peppy menilai, informasi tentang kesehatan dan seksualitas dibagikan melalui ruang digital sudah cukup komprehensif. Konten yang dibagikan tidak hanya terkait informasi, tetapi juga tips yang membantu remaja keluarg dari berbagai persoalan. Namun, mengedukasi remaja tidak cukup hanya melalui informasi satu arah di sosial media.
Ia mengingatkan bahwa remaja punya karakteristik seperti sedang mencari jati diri, kemampuan pengambilan keputusan yang belum matang, dan proses pertumbuhan yang masih berjalan. Oleh karena itu, komunikasi perlu dilakukan secara dua arah. Di dunia internet, komunikasi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui Zoom meeting, atau live Instagram.
“Dengan aktivitas-aktivitas digital ini, terbentuklah komunitas digital yang bisa saling melengkapi kebutuhan remaja. Jadi, media sosial tidak hanya dipakai untuk berbagi informasi, tetapi juga ada interaksi,” katanya.
Selama ini, menurut Peppy, intervensi pengetahuan hak kesehatan seksualitas dan reproduksi kepada remaja sudah cukup baik. Namun, tantangan justru kerap datang dari orang tua dan guru yang memiliki pemikiran kontraproduktif dengan upaya-upaya pemberdayaan remaja. Sementara, pertumbuhan remaja sangat tergantung dengan ekosistem di sekitarnya.
Peppy mencontohkan, ia sedang mendampingi remaja yang menghadapi tantangan terkait identitas seksualitasnya. Selama ini, remaja tersebut tergolong introvert. Ia punya kecerdasan mengolah informasi secara mandiri. Ini berdampak pada proses belajar, proses interaksi sosial, dan bagaimana ia merancang masa depannya.
Di era digital ini, remaja tersebut merasa lebih mendapat dukungan justru dari teman-teman digital. “Padahal, identitas yang dia hadapi di ruang digital bisa jadi karakter yang berbeda dengan kenyataannya. Identitas seseorang di ruang digital kan bisa bisa diciptakan,” kata Peppy.
Baca juga : Pendidikan Seksual Melalui Konten Kreatif
Oleh karena itu, menurutnya, penting membekali remaja dengan kemampuan kritis dalam menyerap dan mengelola konten informasi. Kritis ini sangat penting agar remaja tidak terjebak dalam tindakan-tindakan yang merugikan dirinya.
Putri Kenanga (22), karyawan swasta yang tinggal di Yogyakarta mengatakan, kelas daring terkait kesehatan seksual sangat penting. “Ini memebrikan wawasan baru, terutama kesadaran sebagai perempuan untuk selalu jaga kebersihan dan keseahtan kita,” kata remaja yang selama pandemi Covid-19 ini kerap mengikuti kelas daring terkait isu-isu perempuan.
Regina Manjali
Pendidikan:
- SMA Kolese Gonzaga Jakarta (2011-2014)
- Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia (2014- 2018)
Pengalaman:
- Tabu.id Strategic Development (September 2020-saat ini)
- Creative Content Writer (April 2018-saat ini)
- Gojek Learning Program and
Content Specialist (November 2019-Desember 2020)
- Magangers Kompas Muda Batch IV (2012)