Siasat Seni Indie Kala Pandemi
Bukan kisah aneh lagi kalau pada masa pandemi ini banyak musisi terpaksa menjual alat musiknya untuk sekadar menyambung hidup. Penulis pun bernasib sama. Apa yang mereka lakukan agar tetap bisa berkarya?
Hampir 8 bulan sejak pertama kali diakui kehadirannya di Indonesia oleh Presiden Jokowi (Kompas.id, 2 Maret 2020), pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Sebaliknya, penularan, kematian, dan kerusakan ekonomi kian menjadi. Seniman, yang bahkan pada masa normal pun sering mengalami kesulitan ekonomi, semakin terjepit. Selain mengasah rasa agar bisa terus berkarya, mereka kini dituntut juga untuk terutama mengasah akalnya. Mencari jalan keluar.
Bukan kisah aneh lagi kalau pada masa pandemi ini banyak musisi terpaksa menjual alat musiknya untuk sekadar menyambung hidup. Sumber pendapatan mereka menguap. Konser tidak boleh dan memang dilarang digelar. Kafe dan pusat hiburan malam tutup. Sebagian bahkan mulai gulung tikar setelah berbulan-bulan tidak beroperasi.
Penulis buku sepertinya bernasib serupa. Selama Maret hingga April 2020, sebagai tanggapan sigap untuk menekan penularan, setidaknya 32 toko yang merupakan jaringan toko buku terbesar di Indonesia tutup sementara. Beberapa bulan selanjutnya, penutupan sementara kembali terjadi di berbagai lokasi sebagai sebuah keharusan karena mengikuti peraturan pemerintah daerah.
Untungnya, orang Indonesia selalu merasa beruntung bahkan saat menghadapi kematian sekalipun, seniman di negara ini umumnya punya jiwa yang liat. Jiwa yang tidak mudah menyerah, apalagi patah. Dalam segala keterbatasan, mereka selalu bisa melakukan sesuatu yang baru dan menembus kebuntuan.
Ambil contoh Alex Kuple (51), pembetot bas yang sehari-harinya (sebelum pandemi, tentu saja) mencari nafkah sebagai session player (bersama Nugie dan Baim Trio) serta menjadi pengajar musik di beberapa sekolah musik sekaligus. Di kediamannya di Bintaro, Alex kini rajin, kalau bukan malah terobsesi, menulis, merekam, dan kemudian menerbitkan lagu-lagunya sendiri.
Perkembangan teknologi digital memang terbilang sangat berpihak pada musisi. Proses rekaman dan editing bisa dilakukan di laptop. Penayangan dan distribusi hasil akhir pun dipermudah dengan adanya berbagai streaming platform, seperti Spotify, Apple Music, dan YouTube Music, yang terbuka bagi musisi mana pun yang ingin menjual karyanya langsung ke publik.
Bagaimana pun, dengan usia yang sudah tidak lagi muda, Kuple dan banyak musisi lainnya tentu punya hambatan dalam mempelajari dan kemudian menguasai teknologi digital di bidang musik. Beruntung, sebagai session player, Kuple berkesempatan bertemu musisi dan pegiat musik berusia muda di berbagai creative hub di Jakarta.
Dari pertemuan-pertemuan di Kios Ojo Keos (dikelola oleh Efek Rumah Kaca), Earhouse (dikelola oleh Endah N Rhesa), dan Pavilun 28 (dikelola oleh Eugene Panji beserta partner) itulah Kuple mempelajari soal teknik merekam, editing, memproduksi, dan menayangkan lagu-lagunya secara digital.
Alat kerja Kuple terbilang sangat sederhana. Gitar dan bas analog tentu jadi modal utama. Alat pendukung lainnya adalah laptop dengan kemampuan sekadarnya seharga Rp 3.000.000, soundcard Rp 700.000, dan keyboard controller Rp 800.000. Dengan perlengkapan sederhana itulah Kuple mengurung diri di rumah dan memproduksi lagu demi lagu selama masa pandemi ini.
Tidak tanggung-tanggung, selama masa hibernasi akibat pandemi, Kuple sudah merilis tiga album digital dengan genre musik beragam. Masing-masing berjudul A Good Day to Start, September to Remember, dan Elec3fied.
Gerak penulis buku
Semangat mencoba cara baru dalam berkarya selama masa pandemi rupanya tidak hanya diusung oleh musisi. Penulis buku pun punya kecenderungan serupa.
Kita terbang sebentar dari Bintaro ke Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Di sana ada Benny Arnas (37) yang sehari-harinya berprofesi sebagai penulis cerpen dan novel. Bahasa kerennya, sastrawan. Meski demikian, mengacu ke isi pidato kebudayaan Seno Gumira Ajidarma yang disampaikan di ”IDWriters Literary Day” di Goethe-Institut, Jakarta, pada Januari 2015 yang menyindir keruwetan definisi sastra dan sastrawan Indonesia sebagai gejala ”ke-paimo-an”, Benny lebih suka menyebut dirinya sebagai pegiat literasi.
Atribut ”pegiat literasi” memang pantas disematkan kepada dirinya. Sejak 2007, ia menggerakkan dan membangun kesadaran literasi di Lubuk Linggau melalui Benny Institute. Lembaga pendidikan dan budaya tersebut aktif memberikan pencerahan ke khalayak melalui berbagai kelas berseri, workshop, dan seminar seputar teknik penulisan cerpen, novel, naskah film, dan peningkatan kemampuan berbahasa.
Setelah cerpennya yang berjudul Dua Beranak Temurun perdana dimuat harian Kompas pada 27 Desember 2008, Benny sepenuhnya menceburkan diri di dunia sastra. Dari cerpen, ia kemudian merambah ke novel dan bahkan sedikit-sedikit ke dunia perfilman.
Pada masa pandemi ini, Benny memberanikan diri terjun ke dunia indie. Bulan Madu Matahari, novel ke-25 atas namanya, menempuh jalur produksi dan distribusi yang terbilang unik. Alih-alih menerbitkannya dalam bentuk buku cetak, Benny memutuskan untuk terlebih dulu menyodorkan novelnya ke publik dalam bentuk potongan-potongan cerita yang diunggah di Instagram sejak Mei 2020. Suguhan berseri tersebut dilengkapi format audio yang ditayangkan terpisah, tetap per cuplikan, di kanal YouTube.
Tentu saja ia tidak meninggalkan teks dan format buku. Novelnya tersebut tetap diterbitkan dalam bentuk buku cetak yang didanai oleh pasangan Lara Hassan dan Nik Khusairie dari Malaysia. Sesuai jadwal, novel tersebut akan mulai beredar di Indonesia dan Malaysia akhir tahun 2020.
Pola yang berbeda ia terapkan untuk kumpulan catatan perjalanannya ke Eropa periode April-Mei 2019. Kali ini bukan media sosial yang menjadi tempatnya menguji naskah, melainkan sebuah platform digital yang menjanjikan suguhan novel, komik, dan konten premium bagi publik, khususnya yang merupakan generasi Z, bernama Kwikku.
Di platform tersebut Ethille! Ethille!, demikian catatan perjalanannya itu diberi judul, disuguhkan secara gratis bagi pengguna Kwikku. Tujuannya jelas: mengumpulkan audiens dari generasi Z sebagai calon pembeli edisi cetaknya yang sedang disiapkan penerbitannya oleh salah satu penerbit buku indie berpengaruh di Indonesia, DIVA Press.
Langkah Kuple dan Benny yang sama-sama menempuh jalan indie di dua industri berbeda bukanlah perjudian kosong. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di laman Rolling Stone pada 16 Maret 2020, Raine Group (bank di Amerika Serikat yang mengkhususkan diri pada layanan berupa panduan akuisisi dan investasi dalam bisnis musik) memprediksi kenaikan laba sebesar 32 persen bagi semua musisi indie.
Pertumbuhan laba yang sangat besar itu bersumber dari dua faktor utama, yakni meningkatnya jumlah musisi yang menerbitkan sendiri musiknya melalui layanan musik streaming dan melejitnya penggunan layanan musik streaming di dunia. Lebih jauh, Raine Group menyatakan dengan yakin bahwa secara keseluruhan, pada 2020, musisi indie akan mampu meraup pendapatan sebesar 2 miliar dollar AS!
Di industri buku, kisahnya serupa belaka. Besaran kue pendapatan yang dinikmati penulis dan penerbit buku indie bertambah besar setiap hari. Data yang dikumpulkan dari berbagai sumber oleh Alliance of Independent Authors menunjukkan sekitar 30 persen e-book (buku digital) berbahasa Inggris yang beredar umum saat ini ditulis oleh penulis indie dan diterbitkan oleh penerbit indie (sebagian bahkan diterbitkan sendiri oleh penulisnya).
Berdasarkan data The Association of American Publishers, pasar e-book Amerika Serikat yang pada 2019 bernilai 1,9 miliar dollar AS mengalami pertumbuhan sebesar 39 persen selama pandemi. Jelas, bagi penulis buku di seluruh dunia, menerbitkan dan mendistribusikan karya mereka dalam format e-book melalui cara-cara indie adalah strategi baru yang harus segera dikuasai. Dan, tentu saja, dijalankan.
Fenomena musisi dan penulis buku indie tersebut, kalau dilihat dari kacamata tatanan sosial, memperlihatkan gejala matinya peran gate keeper. Selama sekian puluh (bahkan mungkin ratus!) tahun, selera publik dikendalikan oleh segelintir kurator yang bekerja di label rekaman dan penerbitan buku. Revolusi digital memorakporandakan tatanan tersebut. Dalam diam, publik memberontak dan memilih untuk menikmati suguhan alternatif yang kini semakin mudah mereka temukan di berbagai platform musik dan buku digital.
Jurus permak naskah
Di dunia perfilman yang jauh lebih sarat modal, kondisinya tidak demikian. Salman Aristo (44) dan Wicak Hidayat (40), yang merupakan penulis naskah film, mengakui bahwa industri mereka tidak ”seberuntung” industri musik dan buku. Sehebat-hebatnya penulis naskah film berkarya, mereka tetap tunduk pada kuasa produser. Berbeda dengan musisi dan penulis buku, produk akhir penulis naskah film tidak dapat dinikmati publik. Harus disulap terlebih dulu menjadi film oleh produser dan sutradara.
Tentu saja mereka tak putus asa. Juga tak putus akal. Wicak yang saat ini tinggal di Depok dan sehari-harinya juga bekerja di sebuah media online di Jakarta gigih memperjuangkan naskah film pendeknya agar tetap diproduksi. Satu naskahnya yang sudah dibeli oleh produser berbendera Iflix sebelum pandemi melanda Indonesia akhirnya terpaksa ditulis ulang, menyesuaikan kondisi finansial dan keterbatasan produksi.
Pendekatan itu terbukti jitu. Naskah disetujui. Dana produksi cair dan fase pengambilan gambar akan segera dilakukan pada November 2020.
Jurus permak naskah agar sesuai keterbatasan produksi selama pandemi juga diakui oleh Salman. Pria berusia 44 tahun yang memang merupakan penulis naskah film, produser, dan sutradara profesional ini menolak tunduk terhadap pandemi yang sedang melanda negeri. Bersama timnya di Wahana Kreator Nusantara, ia tetap giat berkarya menghasilkan naskah-naskah film dan mencari produser yang bersedia menyulapnya menjadi film. Salah satunya yang benar-benar ditulis, dirombak, ditulis ulang, dan akhirnya betulan diproduksi selama masa pandemi adalah Cinta 123 yang pengerjaannya menggandeng Starvision.
Film itu sendiri, menurut Salman, ditujukan untuk ditayangkan perdana di bioskop. Bukan di layanan film streaming (istilahnya over-the-top media service atau lebih sering disingkat OTT) lokal ataupun internasional. Mengingat peraturan pemerintah daerah soal izin operasi bioskop terkait penanganan Covid-19 yang kerap berubah arah seperti pucuk cemara ditiup angin laut, strategi tersebut tentu bukan tanpa risiko.
Barangkali itulah sesungguhnya kata kunci bagi para pegiat seni kala pandemi: keberanian dan kematangan pertimbangan dalam mengambil risiko yang terukur. Dengan segala daya olah rasa dan akal mereka, seniman dituntut membuka diri terhadap cara kreasi yang berbeda, sekaligus mencoba berbagai terobosan baru dalam menyuguhkan karyanya ke khalayak luas.
Artikel rujukan:
- https://kompas.id/baca/foto/2020/03/02/presiden-umumkan-kasus-korona-di-indonesia/
- https://www.rollingstone.com/pro/features/raine-group-independent-artists-2-billion-in-2020-967138/
- https://www.markinblog.com/book-sales-statistics/
- https://selfpublishingadvice.org/facts-and-figures-about-self-publishing-the-impact-and-influence-of-indie-authors/
- https://about.ebooks.com/ebook-industry-news-feed/
- https://industri.kontan.co.id/news/cegah-penyebaran-corona-beberapa-toko-gramedia-tutup-namun-tetap-layani-online
- https://sukab.wordpress.com/2015/01/30/seno-gumira-ajidarma-at-idwriters-literary-day/
- https://www.bennyinstitute.com/11-fakta-menarik-novel-bulan-madu-matahari/?fbclid=IwAR2KhxEoPDmNQilfRCnqTVwqmvq0mJpPadD98c-IrCdLYqxwUvcnbPZep0A
- http://www.bennyinstitute.com/15-mei-2020-benny-arnas-merilis-novel-audio/
- https://www.kwikku.com/more/about