Membuat Video Jurnalistik Lebih Bermakna
Video jurnalistik bisa dibuat oleh siapa saja asalkan mengandung data yang benar. Kini, banyak anak muda yang tertarik membuat video jurnalistik.
Membuat video jurnalistik tak perlu peralatan supercanggih yang berharga mahal. Video jurnalistik dengan gaya bercerita yang menarik bisa dibuat dengan ponsel yang kita gunakan sehari-hari. Saat ini, banyak anak muda yang terus mengasah kemampuannya membuat video.
Akhir pekan lalu, Sabtu (29/8/2020), Kompas Muda menggelar webinar bertema ”Serunya Video Jurnalistik” dengan pemateri Rian Septiandi, videografer harian Kompas. Tema ini diambil setelah banyaknya masukan dari pembaca muda yang ingin belajar pembuatan video. Satu bulan sebelumnya, webinar Kompas Muda mengambil tema terkait penulisan puisi.
Antusiasme yang besar dari anak-anak muda terlihat dari banyaknya peserta yang datang dari sejumlah daerah. Sebagian besar peserta merupakan mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Situbondo (Jawa Timur), sampai Tarakan (Kalimantan Timur). Mereka juga aktif bertanya mengenai seluk-beluk pembuatan video jurnalistik.
Muhammad Raihan Aditama, mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, yang menjadi salah satu peserta webinar menceritakan pengalamannya membuat video. Meski telah mempunyai pengalaman membuat video sejak duduk di bangku SMP, Raihan merasa masih perlu banyak belajar.
”Saya tertarik di video, awalnya karena suka fotografi lalu coba-coba bikin video bareng teman dan sampai sekarang malah jadi hobi,” kata Raihan yang juga Magangers Kompas Muda Batch X.
Sejak SMP, Raihan sudah membuat banyak video, mulai dari video dokumentasi acara sekolah, video jurnalistik, sampai terlibat dalam proses pembuatan film pendek. ”Dulu, beberapa kali bikin video jurnalistik dan dikirim ke NET TV untuk acara CJ. Untuk dokumentasi juga sering, acara sekolah, pengajian, dan pernikahan,” kata Raihan.
Video jurnalistik yang pernah dibuat Raihan antara lain video feature tentang penjual Salome bergaya pantomim, acara padusan budaya dan barongsai untuk menyambut bulan Ramadhan, serta liputan safari Ramadhan Presiden Joko Widodo. Semua pengambilan gambar dilakukan di Wonosobo, tempat tinggal Raihan.
”Untuk bisa membuat video jurnalistik, saya merasa harus selalu ingin tahu dan enggak boleh malas mencari informasi. Sebagai citizen journalist, saya juga harus membuat video yang menarik supaya bisa layak tayang di televisi atau media sosial,” kata Raihan.
Ingin menambah ilmu terkait pembuatan video jurnalistik yang bisa menarik perhatian penonton juga memotivasi Sterrelif Saputra Azaini (23), mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam yang sedang menyelesaikan skripsi di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Hadid Surabaya. Di kampusnya, dia sudah mengambil mata kuliah jurnalistik.
”Tetapi, sebagian besar hanya berupa pembuatan berita tertulis. Padahal, sekarang video sudah banyak dibutuhkan untuk melengkapi tulisan,” katanya.
Sterrelif melanjutkan, hingga kini ia belum percaya diri membuat video untuk melengkapi tulisan-tulisannya. ”Kalau wawancara dengan menggunakan kamera atau membuat video lebih terlihat ketimbang wawancara hanya tertulis. Tetapi, saya tetap akan mencoba membuat video jurnalistik,” ujarnya.
Sterrelif juga sangat tertarik mempelajari masalah hukum terkait dengan pemberitaan. ”Saya harus baca-baca lagi. Ini menarik sekali. Jalan yang ditempuh oleh pers ketika menerima gugatan terkait berita sangat berbeda. Terkadang masih khawatir menerima keberatan dari narasumber setelah membuat sebuah tulisan,” katanya.
Brigitta Alma (20), mahasiswa semester III Jurusan Logistik Politeknik Akademi Pimpinan Perusahaan (AAP) Jakarta, mengaku banyak mendapatkan pencerahan dari webinar tersebut. ”Di kampus, saya kebetulan mau ikut organisasi jurnalistik, tetapi masih maju mundur,” kata Alma.
Dia semakin tertantang mau belajar tentang jurnalistik dan membulatkan tekad untuk bergabung dengan organisasi jurnalistik di kampus. Alma membayangkan, untuk mencari data yang diperlukan sebuah video jurnalistik tampaknya tidak mudah.
”Misal mencari berita tentang demo. Aku bayanginnya rusuh banget itu. Tetapi, selama kita pintar mengolah data, pasti beritanya punya nilai tersendiri,” kata Alma bersemangat.
Sementara Tatik Hardiyanti yang saat ini bekerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sering bertugas membuat video saat mendampingi kegiatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim ke luar kota. Tatik mengakui, terkadang sulit jika harus memilih informasi mana yang akan ditayangkan di video liputannya.
”Jadi, terkadang berita dan video saya panjang sekali. Tetapi, saya mulai belajar untuk memecah berita dan memberikan penajaman dari satu acara,” kata Tatik.
Tatik sudah terbiasa bekerja dengan cepat karena informasi tentang kegiatan menteri terkadang diterima hanya beberapa jam sebelum acara dimulai. ”Saya cepat-cepat mencari informasi tentang kegiatan tersebut lalu mengarahkan tim video untuk meliput,” jelas Tatik.
Bekerja memproduksi berita dan video juga sudah dilakoni oleh Rendra Farandika (24), seorang pekerja paruh waktu. Saat ini dia mengelola sebuah laman berita dan sedang mengurus perizinannya. Di sela-sela kesibukannya, Rendra terus meningkatkan kemampuan dan memperluas jejaring yang dapat menunjang pekerjaannya.
Pengalaman
Dalam kesempatan itu, Rian Septiandi berbagi cerita dan pengalamannya selama terjun ke lapangan untuk meliput berita dengan tema beragam. Dia mengawali dengan penjelasan video dokumentasi dan video jurnalistik.
”Membuat video jurnalistik memang berbeda dengan video dokumentasi yang hanya dikonsumsi pribadi atau kelompok kecil. Dengan banyak berlatih dan tetap mengikuti pakem jurnalistik, video jurnalistik dapat lebih berkualitas dan bermakna serta tetap bertanggung jawab. Video jurnalistik harus meliputi cerita, suara, dan visual yang jelas. Tiga hal itu sama penting dan harus saling mendukung,” kata Rian.
Sama halnya dengan membuat berita, lanjut Rian, video jurnalistik juga harus memiliki unsur 5W1H, yaitu what, who, when, where, why, dan how. ”Selain itu, tentu ada verifikasi dan konfirmasi ke narasumber. Video jurnalistik juga memiliki nilai berita, menyuguhkan sesuatu yang baru, serta memiliki jangkauan luas atau magnitude dari apa yang disuguhkan,” ujar lulusan Universitas Telkom, Bandung, ini.
Sebenarnya, menurut Rian, sudah banyak orang yang bisa membuat video jurnalistik yang kemudian diunggah ke media sosial. Apalagi, jurnalisme warga sudah marak sejak beberapa tahun terakhir. ”Dalam video jurnalistik ini sebenarnya banyak orang yang sudah melakukannya. Misalnya, kalau ada kecelakaan, kemudian direkam pakai handphone, lalu diunggah ke media sosial. Hanya saja, kalian harus memverifikasi kebenaran kejadian tersebut,” ujarnya.
Lalu, Rian juga menceritakan berbagai pengalaman saat membuat video jurnalistik. Salah satu pengalaman menarik ketika dia meliput di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso, Jakarta, beberapa waktu lalu.
”Pengalaman saya meliput Covid-19 paling sulit adalah antara hati nurani dan pekerjaan profesional. Saat sedang ambil gambar di RSPI, ada pasien seorang bapak yang jatuh enggak jauh dari saya, dia dipegang anak kecil. Saya bingung antara mau menolong bapak itu atau mengambil gambar. Kalau saya tolong, tidak sesuai dengan protokol kesehatan karena harus jaga jarak dan kalau bersentuhan harus pakai sarung tangan,” ujar Rian.
Selain itu, seorang videografer juga harus serba bisa dalam menjalankan tugas jurnalistik. Dia mencontohkan, saat meliput Borobudur Marathon di Magelang, Jawa Tengah, dia harus merekam gambar sebanyak-banyaknya. ”Saya sendirian di sana, harus mendapat banyak gambar di saat yang terbatas dari pagi hingga siang hari. Videografer harus bisa mengambil gambar, mengedit, sekaligus menulis naskah berita,” kata Rian.