Saat ini, banyak anak muda yang konsisten peduli pada lingkungan. Mereka tak hanya belajar melalui teori pelajaran di sekolah, tetapi langsung beraksi. Bersama dengan komunitas, anak muda menjaga bumi ini.
Oleh
Susie Berindra
·6 menit baca
Biodiversity Warriors yang dibentuk Yayasan Kehati (BW Kehati) menjadi salah satu tempat anak muda yang peduli lingkungan berkumpul. Sejak berdiri pada 18 Juni 2014 di Jakarta, komunitas ini beranggotakan 2.000 yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka selalu meregenerasi anggotanya.
Salah satu anggota BW Kehati Kezia Ruth Marganti Sitompul yang bergabung dengan BW Kehati sejak tahun 2017, aktif dalam pemeliharaan terumbu karang di Nusa Dua, Bali. “Saya bergabung dengan BW Kehati setelah menjadi 10 orang terpilih yang mengunggah artikel keanekaragaman hayati. Setelah itu, saya jadi tertantang untuk lebih mendalami keanekaragaman hayati,” kata Ruth saat menjadi pembicara dalam webinar Biodiversity For Sustainable Future: Waktunya Yang Muda Peduli. Indonesian Biodiversity Matters!, Rabu (26/8/2020). Acara ini kolaborasi London School of Public Relation dan Yayasan Kehati.
Kezia merupakan mahasiswa Universitas Udayana yang pernah mendapat kesempatan menjadi Coralwatch Ambassador yang berpusat di University of Queensland tahun 2018. Dia menjadi satu-satunya ambassador terpilih dari Indonesia. Dia juga aktif di Reef Education Center di Nusa Lembongan dan pembuatan buku Coral Reef Field Guide yang dilakukan atas skerja sama antara Nusa Dua Foundation dan Bali Marine Walk.
“Dalam pembuatan buku itu, saya membuat foto-foto ikan dan terumbu karang yang masih aktif. Selain memotret terumbu karang juga mengamati perkembangannya,” ujarnya.
Pada pembuatan buku itu, Kezia terlibat pada kegiatan pengambilan foto dan identifikasi semua jenis ikan, coral, dan biota lain di sekitar lokasi diving dan snorkeling di mangrove dan ponton Bali Marine Walk. Kegiatan itu dilakukan Kezia mulai dari November 2019 hingga Februari 2020.
Awal tahun ini, dia menjadi panitia Conservation Camp Tambora Muda. Meski menjadi panitia, K ezia tetap menambah pengalaman dengan mengikuti kelas metode penelitian di lapangan. “Di kelas itu, saya jadi kenal dengan banyak teman dan kakak-kakak yang inspiratif. Kita memang harus beraksi, janan diam saja. Banyak sekali teman yang terlibat dengan aksi peduli lingkungan,” ujarnya.
Anggota BW Kehati dari Aceh, Zulfikar membagikan pengalamannya meningkatan pendapatan masyarakat di daerahnya. Dia membantu meningkatkan pendapatan keluarga nelayan dengan budidaya tiram di Desa Alue Kota Banda Aceh.
Tahun 2017, saat masih menjadi mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala, Aceh ini, Zulfikar mengajukan proposal kepada Yayasan Kehati melalui skema Small Grant Project. Program tersbeut merupakan pemberian dana hibah dari Kehati untuk anggota BW dalam melakukan program pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
“Saya kerja sama dengan lsm, mencari bagaimana cara menanggulangi masalah dan menafaatkan potensi yang ada. Ibu-ibu di sekitar desa itu sudah budidaya tiram tetapi tidak tahu bagaimana meningkatkan kualitasnya. Lalu kami mencari berbagai cara dengan memanfaatkan sampah organik di sekitarnya,” kata Zulfikar sambil menunjukkan foto-foto hasil budidaya tiram.
Saat itu, para nelayan menggunakan metode budi daya tiram secara konvensional, sehingga penghasilan tidak maksimal. Setiap hari, mereka berendam selama selama 5-6 jam untuk mencari tiram, dan mendapatkan pendapatan yang kecil, yaitu sekitar Rp 10.000-Rp 15.000. “Saya menemukan banyak masalah di sekitar wilayah itu,” katanya.
Tak mau diam saja, Zulfikar mulai bergerak. Sambil merestorasi lahan mangrove yang rusak, dia mengubah pola budidaya tiram dengan cara lebih modern. Setelah melalui beberapa percobaan, mereka menemukan metode floating culture yaitu budidaya tiram secara mengapung menggunakan ban mobil atau motor bekas yang ditancapkan di dasar sungai dijadikan keramba. Pola ini membutuhkan waktu empat bulan untuk panen.
Staf Edukasi dan Outreach Yayasan Kehati Ahmad Baihaqi atau Abay mengatakan, BW Kehati menggandeng anak muda untuk mempopulerkan keanekaragaman hayati dari segi keunikan dan pelestarian melalui aksi nyata maupun dunia maya. “Kami memberikan kesempatan kepada semua anak muda bisa memajang foto dan artikelnya di website dengan memakai tanda pagar #BWKEHATI. Mereka juga bisa saling bertukar informasi,” kata Abay.
Anak muda yang mengunggah artikel untuk BW Kehati akan mendapatkan poin, bila mencapai 1.000 poin, mereka bisa mengikuti BW Kehati Journey. Kegiatan itu melibatkan anak muda untuk meneliti keanekaragaman hayati yanga da di area kerja Kehati. Selain program tersebut, ada juga BW Kehati Goes To School dan Capture Nature.
Selain itu, kata Abay, melalui media sosial, BW Kehati membuat tantangan-tantangan seru. Misalnya, tantangan Hug and Kiss A Tree yang diselenggarakan pada Januari 2020. Selain itu, ada lomba foto dengan tema membuang sampah pada tempatnya merupakan gaya hidup, serta lomba penulisan esai untuk memperingati Hari Air Sedunia.
Membantu pendidikan anak
Banyak cara dilakukan anak muda untuk melestarikan lingkungan sekaligus membantu masyarakat di sekitarnya. Faesal Adam bersama dua temannya, Pipin Fajar, dan M. Rohman dari Semarang membentuk Kreasi Sampah, Ekonomi Kota atau Kresek. Komunitas yang dibentuk pada 27 September 2015 ini memberdayakan masyarakat melalui bank sampah, lalu mengumpulkan dana untuk memberikan beasiswa pendidikan di Kudus dan Solo, Jawa Tengah.
Pengalamannya menjalankan Kresek disampaikan Faesal di webinar Vibrant Youth Climate Action in The New Normal, Sinergitas Aksi dan Peran Pemuda Indonesia bersama Pemerintah, Jumat (28/8). “Sudah hamper lima tahun ini, Kresek focus pada pemberdayaan dan kampanye lingkungan. Kami mempunyai desa binaan untuk pengelolaan bank sampah dan kampanye peduli lingkungan di dua kota, Kudus dan Solo,” kata Faesal.
Mereka membuat program sedekah sampah dengan mengajak masyarakat memilah-milah sampah dari rumah. Selain bank sampah, Kresek juga mempunyai program bulanan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk mengajari siswa mendaur ulang sampah.
Tahun 2019, lanjut Faesal, Kresek memberikan beasiswa pendidikan kepada siswa SD berupa uang tunai, tumbler dan buku lingkungan. Namun, mulai tahun ini, beasiswa diberikan kepada siswa SMA. “Kami pilih siswa SMA supaya lebih mudah diarahkan untuk kegiatan peduli lingkungan,” katanya.
Dari beasiswa yang diberikan kepada para siswa itu, Kresek bisa meregenerasi anak muda peduli lingkungan. Empat siswa yang mendapat beasiswa meraih jura dalam lomba peduli lingkungan. “Uang beasiswa itu ya kami dapatkan dari sedekah sampah. Masyarakat kumpulkan sampah layak jual, seperti kardus, botol dan besi serta minyak jelantah yang digunakan untuk biodiesel. Sampah itu dijual untuk diputar lagi oleh Kresek,” kata Faisal.
Dari Lembata, Nusa Tenggara Timur, ada Maria Rosalinda Buran Lengari yang juga menunjukkan aksi peduli lingkungan. Dia terlibat dalam penelitian penyulingan air laut. Maria prihatin melihat masyarakat Lembata yang selalu kekurangan air. Kesempatan untuk penelitian desilinasi air laut datang ketika ada bantuan dana dari Plan Indonesia melalui program Project Climate Change Child Centeres Adaptation.
“Tahun 2017, kami melakukan uji coba pertama dengan 200 liter air laut yang disuling dengan suhu 32 derajat celcius selama dua hari. Dari uji cob aitu muncul tantangan air tersebut belum layak dikonsumsi,” kata Maria.
Meski begitu, Maria optimis, inovasi yang dilakukan bersama teman-temannya itu bisa digunakan pada saat pandemi Covid-19 saat ini. Hasil penyulingan air laut itu bisa digunakan amsyarakat untuk cuci tangan.
Selain mereka, tentunya masih banyak lagi anak muda yang terus bergerak melestarikan lingkungan. Dari mereka pula muncul inovasi-inovasi baru yang berguna untuk kehidupan manusia.