Papua sangat kaya dengan sumber daya alam. Sayangnya, belum semuanya bisa dimanfaatkan dengan baik. Untuk itulah, kaum muda Papua bergerak untuk memajukan daerahnya.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tanah Papua berlimpah sumber daya alam yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Namun, buruknya tata kelola sumber daya alam dan minimnya perhatian dari pusat membuat Papua bersama dengan Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi termiskin di Indonesia.
Hal itu terungkap dalam diskusi dengan pembicara anak-anak muda asli Papua, yang diselenggarakan di kampus Universitas Indonesia, Kamis (27/2/2020). Hadir dalam diskusi bertajuk ”Mari Cerita (MaCe) Papua” antara lain dosen President University dan Doktor Asli Papua Termuda UI Jean Richard Jokhu, petani muda Grison Krey, Direktur Institute Kalaway Muda Nanny Uswanas, dan pegiat sosial Ronald Manoach. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Econusa bekerja sama dengan Universitas Indonesia Bidang Akademik dan Kemahasiswaan.
Berdasarkan data yang dirilis BPS dalam Berita Resmi Statistik 15 Juli 2019, Papua, bersama dengan Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi termiskin di Indonesia. Presentase kemiskinan Papua yaitu 27,53 persen, meningkat dari September 2018 sebanyak 27,43 persen. Presentase kemiskinan di Papua Barat 22,17 persen dan di Nusa Tenggara Timur 21,09 persen.
Grison Krey menuturkan, ia sempat heran karena orang-orang yang tinggal di daerahnya, di Kampung Solol, Raja Ampat, Papua Barat, membeli sayur dan buah-buahan dari pendatang. ”Kita punya potensi alam yang sangat kaya, tetapi kenapa ada pendatang dari kota membawa sayur-sayur ke desa lalu kita beli?” katanya.
Grison kemudian menyadari bahwa orang-orang desa, terutama anak muda, belum mengelola sumber daya alam secara efektif. Kalaupun ada petani yang menanam sayur-sayuran, mereka kesulitan menjual hasil bumi itu antara lain karena terkendala masalah transportasi. Masalah lainnya, untuk berkebun banyak petani masih membabat hutan sehingga merusak lingkungan. Petani juga menggunakan zat kimia untuk membunuh hama yang berdampak buruk untuk kesehatan.
Berangkat dari kepedulian untuk memperbaiki kehidupan masyarakat asli Papua melalui pertanian, Grison kemudian mengajak anak muda untuk menanam sayuran. Mulanya, Grison mengajak anak-anak muda menonton film atau diskusi. Sambil berkumpul dengan anak muda, ia berbagi pengetahuan. Akhirnya, anak-anak muda tertarik dan mulai menanam sayuran di pekarangan rumah mereka. Hasil perkebunan itu kemudian dijual di pasar.
Anak-anak muda yang semula enggan bertani karena masalah gengsi mulai tertarik untuk menanam sayuran. Sejumlah orang dewasa yang semula bekerja sebagai penebang hutan juga kini beralih profesi menjadi petani. Dengan mempunyai hasil pertanian, mereka tidak perlu lagi berbelanja kepada pendatang. Uang yang semula dipakai untuk berbelanja sayuran bisa dipakai untuk kebutuhan lainnya.
”Ada kebanggaan tersendiri begitu melihat orang-orang terinspirasi menjadi petani. Selama ini anak muda enggan bertani karena gengsi,” katanya.
Selain membagikan pengetahuan di kampung halaman, Grison juga berkeliling ke sejumlah daerah di Papua, seperti Pegunungan Arfah untuk berbagi ilmu mengenai pertanian. Kegiatan untuk membagikan ilmu dan pengalaman pertanian ini dilakukan Grison sejak 2018.
Menurut Grison, tata kelola untuk mengembangkan sumber daya alam di Papua harus diperbaiki. Ia mencontohkan, di Pegunungan Arfah, seorang petani harus menempuh perjalanan sejauh lima jam perjalanan untuk menjual hasil bumi. Kadang-kadang perjalanan terkendala tanah longsor atau banjir. Transportasi untuk mengangkut sayuran juga tidak murah, yaitu Rp 2 juta-Rp 3 juta sekali perjalanan.
”Begitu sampai di kota, menjual sayuran juga tidak mudah. Bisa memakan waktu sebulan sampai sayur-sayuran habis terjual. Nanti begitu dihitung, uang yang terkumpul ternyata lebih sedikit dari modal,” katanya.
Kekayaan alam berlimpah
Ronald Manoach mengatakan, meskipun secara statistik Papua dinyatakan miskin, daerah itu sesungguhnya menyimpan kekayaan alam yang berlimpah. ”Kekayaan kami banyak, tetapi belum dikelola dengan baik. Air dan udara kami berkualitas, tetapi belum terkelola,” katanya.
Ini menjadi ironis, menurut Ronald, karena perusahaan tambang mineral di Papua mewajibkan karyawan mengkonsumsi sayuran-sayuran organik. Namun, sayuran bukan dari hasil petani Papua. ”Kenapa pemerintah tidak mengelola petani kami dan menyalurkan hasil sayuran ke perusahaan?” katanya.
Membangun Papua, menurut Ronald, harus dilakukan secara adil. Artinya, pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan warga setempat dan sesuai dengan konteks budaya yang ada di sana. ”Kami minta keadilan, itu bukan berarti semua serba sama. Bukan berarti roadmap pembangunan nasional semuanya bisa diterapkan di Papua. Harus lihat juga apa permasalahannya, bagaimana cari jalan keluarnnya. Semua harus kontekstual,” ujarnya.
Menurut Nanny, pembangunan di Papua sering tidak sesuai dengan kultur masyarakat setempat. ”Ketika saya masih kecil, saya heran disuruh membaca kalimat ’Ini Ibu Budi’. Saya bingung, siapa Budi? Saya tidak kenal Budi. Kalau di Ibu Yohanes, saya kenal, karena saya punya kawan bernama Yohanes. Itu artinya, bahkan pendidikan pun belum sesuai kultur yang ada di Papua,” ujarnya.
Sementara itu, Richard Jokhu mengatakan, keadilan bukan dinilai dari materi semata, melainkan dari perhatian dan kasih sayang tulus yang diberikan oleh pemerintah pusat. ”Banyak gejolak muncul karena ketidakadilan pembangunan. Kalau pembangunan dilakukan dengan hati, saya yakin tembok kemarahan akan runtuh,” ujarnya.