Generasi Z: Sudah Susah Cari Kerja, Dianggap Sebelah Mata Pula
Generasi Z merasa kurang diberi kesempatan dalam bekerja. Mereka juga dicap baperan, tak kuat mental, dan susah diatur.
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pencari kerja dari generasi Z yang terserap di sektor formal semakin sedikit. Anak-anak muda ini merasa kurang diberi kesempatan untuk menunjukkan kelayakannya. Alhasil, mereka pun bekerja serabutan sembari menunggu panggilan kerja yang lebih layak.
Semenjak lulus S-1 ilmu komunikasi di sebuah sekolah tinggi di Jakarta pada awal tahun lalu, Citra Imelda (21) belum merasakan pengalaman bekerja. Sejak satu bulan setelah lulus, ia telah mengajukan lamaran ke ratusan tempat kerja melalui berbagai platform pencari kerja. Sejauh ini, hanya dua perusahaan yang memanggil untuk wawancara, tapi berakhir dengan kekecewaan.
”Saya paham banyak yang bilang generasi Z itu susah diatur, baperan (bawa perasaan, mudah tersinggung), dan gampang memutuskan untuk resign jika pekerjaan yang dilakukan kurang sesuai. Tapi, tidak semua generasi Z seperti itu. Saya pun bahkan akan sangat bersyukur jika memiliki gaji meskipun belum setara UMP. Lebih baik gaji kecil daripada menjadi penganggur,” kata Citra, warga Jakarta Pusat, Senin (20/5/2024).
Citra juga menyayangkan jika sejumlah perusahaan tidak memberikan kesempatan kepada generasi Z untuk menunjukkan kelayakannya. Sebab, ia pernah melakukan wawancara kerja, tetapi dinilai belum cukup berpengalaman untuk jabatan tersebut.
Untuk mengisi waktu yang lowong sambil terus mencari pekerjaan tetap, Citra membuat konten di media sosial. Dia melakukan itu ketimbang tidak ada pemasukan sama sekali.
”Sekarang sambil mencari kerja dengan memantau lowongan kerja lima jam per hari, saya rutin bikin konten di akun media sosial saja. Saya berharap bisa mendapatkan penghasilan di sana. Meski belum sampai jutaan per bulan, setidaknya bisa buat beli paket internet dan jajan agar tidak minta orang tua,” tuturnya.
Terkadang, Citra juga bekerja serabutan, seperti membantu membuatkan desain, menjaga toko jika pemiliknya sedang pergi, membantu berjualan ibunya di pasar, hingga membantu tetangganya membuat kue.
Baca juga: Lulusan Apa yang Paling Cepat Dapat Kerja?
Hal serupa dilakukan Muhammad Rudi Aldian (22). Ia memutuskan mencari pekerjaan sementara sembari menunggu panggilan kerja. Yang terpenting, ia memiliki pendapatan untuk kehidupan sehari-hari.
”Saya pernah ditawari kerja jadi kasir dengan gaji Rp 2,5 juta per bulan. Namun, saya lebih memilih menolak pekerjaan itu dan memilih bekerja sebagai driver ojek online sambil menunggu panggilan kerja,” kata lulusan S-1 administrasi perkantoran tersebut.
Baca juga: Mengejar Lowongan Kerja: 300 Kali Berharap, 300 Kali Kecewa
Aldian sudah hampir satu tahun menjadi pengemudi ojek daring. Meski hasilnya tidak menentu, ia bisa mendapatkan uang lebih jika berusaha lebih untuk menarik penumpang. Sebab, pendapatannya berdasarkan seberapa banyak ia mengangkut penumpang.
”Kalau lagi butuh uang banget, saya kerja dari pagi sampai malam,” ujar Aldian.
Warga Jakarta Barat, Dina Saputri (22), hingga kini masih menganggur. Meski pernah bekerja di sejumlah tempat, ia belum menemukan tempat kerja yang memperhatikan mental karyawan. Beberapa tempat kerja yang pernah ia singgahi kerap masih didominasi oleh generasi-generasi yang lebih tua yang menganggap generasi Z sebelah mata. ”Sudah susah cari kerja, pas dapat kerjaan, dianggap sebelah mata pula,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman Dina, generasi yang lebih tua, kadang melabeli generasi Z dengan hal-hal negatif, seperti memiliki mental lemah, tidak sopan, dan hanya ingin kerja kalau gaji tinggi. Dampaknya, mereka kurang berbaur dan membuat batasan dengan generasi Z. Padahal, dalam dunia kerja, generasi Z tentu memerlukan bimbingan dari seniornya.
Baca juga: Generasi Z Lebih Susah Cari Kerja
”Bukan mental lemah, tapi saya lebih senang kalau mendapat support dan kepercayaan dari orang sekitar agar bisa bekerja dengan baik, bukan malah sebaliknya. Mereka bukan mengayomi kita yang masih muda dan baru memulai bekerja, tetapi malah membuat tertekan,” kata Dina.
Saat ini, Dina masih mencari pekerjaan yang sesuai di bidangnya, yakni administrasi, dengan mengikuti bursa kerja, mencari pekerjaan melalui beberapa aplikasi seperti Instagram, Facebook, Jobstreet, Indeed, Glints, Fiverr, dan Top Karir. Namun, ia tidak menolak jika mendapat pekerjaan di luar minatnya asalkan lingkungan kerjanya bagus.
Menurun
Berdasarkan hasil olahan Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap data Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (Sakernas BPS) bulan Februari 2009, 2014, 2019, dan 2024, menunjukkan adanya tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal. Berdasarkan data Sakernas BPS, penciptaan lapangan kerja formal mengalami penurunan signifikan, dari 15,6 juta tenaga kerja formal yang tercipta selama periode 2009–2014 menjadi hanya 2 juta pada periode 2019–2024.
Ada pula hasil olah data yang menunjukkan bahwa generasi Z (lahir 1997-2012) lebih sulit mencari kerja. Data Sakernas Agustus 2017 dan Agustus 2022 memperlihatkan adanya penurunan jumlah serapan kerja dan penambahan durasi mendapatkan kerja yang dialami lulusan baru (fresh graduate) pada semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam Sakernas, waktu kelulusan dan masa tunggu mendapatkan pekerjaan dihitung sejak pelaksanaan survei pada bulan Agustus hingga setahun ke belakang.
Sebagai contoh, pada periode September 2016 hingga Agustus 2017, ada 5,8 juta orang yang lulus di semua jenjang pendidikan. Sebanyak 1,2 juta orang atau 21,9 persen di antaranya diterima kerja sebagai pegawai/buruh di sektor formal.
Adapun jumlah lulusan selama periode September 2021 hingga Agustus 2022 naik menjadi 7,1 juta. Akan tetapi, dari jumlah itu, hanya 967.806 orang atau 13,6 persen di antaranya yang diterima bekerja di sektor formal.
Memperkuat literasi
Psikolog dan pakar pengembangan sumber daya manusia dari Asosiasi Psikologi Positif Indonesia, Endang Retno Wardhani, menyebut, sebelum memasuki dunia kerja, generasi Z harus menyiapkan beberapa hal. Sebab, tantangan yang akan dihadapi generasi Z saat baru saja memasuki dunia kerja sangat besar.
Menurut Endang, generasi Z perlu memperkuat literasi, terutama literasi di bidang teknologi dan digital. Generasi Z dapat memilih jenis pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi mereka di bidang pekerjaan yang diinginkan.
”Salah satu bentuk pembelajaran yang dapat dipilih ialah pelatihan berbasis digital atau boothcamp digital. Ini lebih sesuai dengan karakteristik generasi Z yang lebih senang dengan sesuatu yang praktis dan atraktif. Motivasi generasi Z untuk belajar pun akan semakin tinggi,” ujarnya.
Kemudian, generasi Z perlu menyiapkan diri dengan mencari informasi tentang perusahaan incaran beserta keahlian apa saja yang dibutuhkan di perusahaan tersebut. Sebelum itu, mengetahui kekuatan dan kelemahan pada diri masing-masing sangat diperlukan untuk berkompetisi dalam melamar sebuah pekerjaan.
”Jangan mudah bermalas-malasan atau mager (malas gerak) istilah generasi Z sekarang. Ini justru dapat menghambat mereka untuk berkembang dan mempelajari hal baru,” tuturnya.
Jika merasa mager, Endang mengatakan, para anak muda ini bisa menambah energi dari teman yang bisa memotivasinya untuk memacu semangat. Menjadikan teman sebagai rekan belajar dapat membuat mereka terdorong untuk melakukan hal yang lebih positif.
Salah satu bentuk pembelajaran yang dapat dipilih ialah pelatihan berbasis digital atau boothcamp digital. Ini lebih sesuai dengan karakteristik generasi Z yang lebih senang dengan sesuatu yang praktis dan atraktif.
Endang juga mengatakan bahwa generasi Z perlu mengubah pola pikir (mindset) untuk lebih percaya diri. Dari yang sebelumnya ragu-ragu dalam melakukan suatu hal menjadi lebih optimistis agar hasilnya dapat lebih maksimal.
”Selain itu, generasi Z perlu memperlihatkan sikap yang baik selama proses pencarian kerja berlangsung. Memanfaatkan pusat karier di kampus-kampus untuk mengetahui informasi seputar karier juga bagus, serta membangun jejaring,” kata Endang.
Baca juga: Merantau Itu Berat, Tanpa ”Skill” Kamu Tak Akan Kuat
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengakui, proporsi pekerja di sektor informal saat ini lebih tinggi ketimbang sektor formal. Menyusutnya lapangan kerja di sektor formal pada 2019-2024, menurut dia, akibat pandemi. Dampaknya, ada pekerja yang harus dikurangi jam kerjanya, ada yang dirumahkan sementara, bahkan ada yang terkena pemutusan hubungan kerja.
Salah satu upayanya adalah dengan memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mau memberikan pelatihan atau pendidikan vokasi berupa praktik kerja, pemagangan, dan pembelajaran. ”Proses magang berguna untuk kesiapan pelajar atau mahasiswa terjun ke dunia kerja,” katanya. (Kompas.id, 20/5/2024)