Ekosistem Transportasi Berbasis Listrik di Jabodetabek Diperluas
Transportasi massal listrik penting dalam menghemat energi sektor industri, rumah tangga, serta dampak perubahan iklim.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek atau BPTJ mendorong percepatan pengembangan transportasi umum berbasis listrik di wilayah Jabodetabek melalui quick win pengembangan rute angkutan umum berbasis jalan. Ekosistem transportasi publik ramah lingkungan bisa terwujud jika ada sinergi lintas kementerian dan lintas sektor.
Pelaksana Tugas Sekretaris BPTJ Hananto Prakoso mengatakan, BPTJ telah menetapkan quick win pengembangan rute angkutan umum berbasis jalan berdasarkan hasil analisis sketch planning atau rencana sketsa dari metode yang dikembangkan oleh World Bank.
Baca juga: Menanti Integrasi Layanan Bus ”Buy the Service” di Jabodetabek
Melalui quick win, BPTJ tidak hanya mengembangkan rute, tetapi juga feeder atau angkutan penghubung LRT Jabodebek dan Transjabodetabek.
Quick win pengembangan rute angkutan umum merupakan salah satu upaya untuk mendukung program penurunan emisi dari sektor transportasi. Dalam mencapai target net zero emission tahun 2060, Pemerintah Indonesia juga terus mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan.
”Salah satunya melalui pengembangan ekosistem kendaraan listrik guna menurunkan emisi dan polusi yang ditimbulkan dari sektor transportasi,” ujar Hananto, Rabu (1/5/2024).
Quick win pengembangan rute angkutan umum berbasis jalan itu, kata Hananto, sudah dipaparkan dalam acara Sharing Session Akselerasi Pengembangan Ekosistem Angkutan Umum Berbasis Listrik di Wilayah Jabodetabek, Selasa (30/4/2024). Pada acara tersebut, hadir pihak pengembang perumahan, perbankan, dan instansi lintas sektor lainnya.
BPTJ tidak hanya mengembangkan rute, tetapi juga ’feeder’ atau angkutan penghubung LRT Jabodebek dan Transjabodetabek.
Hananto menjelaskan, dari estimasi matriks asal-tujuan, BPTJ mengidentifikasi jumlah pergerakan antarkecamatan di wilayah Jabodetabek lebih dari 75 juta pergerakan per hari. Dari jumlah pergerakan yang masif tersebut, ada sembilan layanan angkutan umum berbasis jalan dan rel yang bersifat commuting dengan 6.583 simpul transportasi.
Berdasarkan cakupan pelayanan transportasi publik sejauh 500 meter dari titik simpul, angkutan umum yang ada berpotensi melayani 7,97 juta atau 25,18 persen penduduk Jabodetabek. Dari 7,97 juta penduduk itu, 7,3 juta jiwa di antaranya atau lebih dari 65 persen penduduk DKI Jakarta berpotensi dilayani oleh angkutan umum massal di wilayah Jakarta.
Sementara untuk wilayah Bodetabek, hanya 656.000 jiwa atau kurang dari 5 persen penduduk Bodetabek yang berpotensi terlayani oleh angkutan umum massal. Upaya peningkatan layanan transportasi publik ini secara tidak langsung juga akan memperbaiki kualitas udara.
”Potensi market angkutan umum sangat besar dengan adanya lebih dari 75 juta pergerakan di Jabodetabek, sedangkan capaian modal share pada tahun 2023 baru mencapai 20 persen dari 60 persen total pergerakan di Jabodetabek,” ujar Hananto.
Jika melihat tren jumlah penumpang angkutan umum Jabodetabek pada 2023, jumlah penumpang Transjakarta mencapai 1,17 juta per hari. Lalu disusul KRL sebanyak 952.000 penumpang, MRT Jakarta 278.955 penumpang, LRT Jabodebek 29.971 penumpang, LRT Jakarta 2.749 penumpang, Transjabodetabek 1.924 penumpang, JRC 7.717 penumpang, dan layanan buy the service (BTS) di Bogor 11.317 penumpang. Total pengguna enam moda transportasi itu sebanyak 2,454 juta penumpang per hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan layanan, BPTJ berupaya untuk menyediakan layanan berdasarkan tingkat keterjangkauan masyarakat yang dapat dilihat dari harga tempat tinggal. Adapun sasaran dalam jangka pendek BPTJ adalah perumahan kelas menengah ke atas.
Saat ini terdapat 2.010 kawasan perumahan di Jabodetabek, dengan 158 kawasan di antaranya merupakan perumahan kelas atas. Terkait layanan angkutan umum, layanan JRC (Jabodetabek Residence Connexion), ada 23 perumahan kelas atas yang sudah terlayani JRC.
Untuk perumahan kelas atas di DKI Jakarta, 30 perumahan tidak memerlukan penyediaan rute JRC dengan asumsi bahwa jaringan layanan angkutan umum di DKI Jakarta sudah sangat masif. Di luar DKI Jakarta, terdapat 117 perumahan yang belum dilayani oleh rute JRC sehingga diperlukan upaya pengembangan rute baru.
Kementerian Perhubungan secara bertahap akan menyediakan rute baru JRC. Pada 2024 ini ada 40 perumahan dengan 106 bus. Selanjutnya, pada 2025 ada 40 perumahan dengan 86 bus dan pada 2026 ada 37 perumahan dengan 46 bus.
Selain JRC, melalui quick win pula, BPTJ menganalisis cakupan layanan LRT Jabodebek dengan mengidentifikasi perumahan kelas menengah dan bawah yang masuk dalam wilayah cakupan layanan LRT.
Analisis menggunakan network analyst dengan menetapkan cakupan layanan dalam perjalanan selama 15-30 menit dari tiap stasiun LRT Jabodebek. Dari analisis tersebut, diperoleh 48 perumahan kelas menengah dan 64 perumahan kelas bawah yang menjadi target pengembangan rute feeder LRT. Kebutuhan angkutan penyambung sebanyak 287 bus sedang dengan 18 rute.
Lintas sektor
Menurut Plt BPTJ Suharto, pengembangan rute hingga kebijakan ekosistem kendaraan listrik, khususnya angkutan umum berbasis listrik, perlu bertransformasi melalui kerja sama dan komitmen lintas sektor, antara pemerintah dan swasta.
Keterlibatan pengembang perumahan hingga perbankan memiliki peran penting dalam membangun ekosistem angkutan umum yang ramah lingkungan serta meningkatkan efektivitas angkutan umum bagi masyarakat pengguna kendaraan pribadi.
”Pada awal tahun 2024, BPTJ bekerja sama dengan operator dan pengembang telah membuka layanan rute bus perkotaan menggunakan bus listrik dari PIK 2 ke Sedayu City, Kelapa Gading. Upaya ini tentunya menjadi langkah awal yang baik untuk mewujudkan ekosistem angkutan umum berbasis listrik di wilayah Jabodetabek,” kata Suharto.
Keterlibatan lintas sektor atau semua pemangku kepentingan, kata Suharto, dinilai penting karena pergerakan manusia di wilayah aglomerasi sangat tinggi. Jika pengembangan layanan transportasi publik kurang, banyak dampak turunan yang harus ditanggung, seperti kemacetan, polusi, pemborosan BBM, dan kesehatan.
Hemat energi
Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Hendra Iswahyudi melanjutkan, transportasi massal, terutama berbasis kendaraan listrik. tidak hanya berperan penting dalam menghemat energi selain sektor industri dan rumah tangga. Namun, hal itu juga menjadi kunci dari perubahan iklim di Indonesia.
Berdasarkan catatan BMKG pada 2020, sejak tahun 1981 hingga 2018, Indonesia mengalami tren peningkatan suhu 0,03 derajat celsius per tahun. Indonesia mengalami kenaikan permukaan air laut berkisar 0,8-1,2 sentimeter per tahun, sementara sekitar 65 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir.
Baca juga: Sejumlah Perusahaan Transportasi Mulai Sediakan Layanan Inklusif untuk Kelompok Rentan
Salah satu faktor Indonesia sangat rentan terdampak perubahan iklim adalah kendaraan. Data menunjukkan, ada sekitar 157 juta kendaraan di Indonesia.
Khusus di Jabodetabek, di wilayah hukum Polda Metro Jaya ada 23,276 juta kendaraan atau peringkat kedua dari 34 polda di seluruh Indonesia. Peringkat pertama diduduki Jawa Timur dengan total 24,915 juta kendaraan.
Bandingkan dengan kendaraan bermotor listrik yang hingga awal September 2023 baru mencapai 68.207 unit dan 91 kendaraan yang dikonversi menjadi kendaraan listrik. Adapun jumlah kendaraan listrik berbasis baterai pada awal April 2024 baru 133.225 unit.
”Elektrifikasi kendaraan menjadi pendukung pengembangan reduksi emisi. Sebagai gambaran, sektor transportasi pada tahun 2022 memiliki konsumsi 429 MBOE (million barrels of oil equivalent). Terdapat potensi penghematan energi 15-35 persen dengan strategi implementasi pada angkutan umum (BRT/MRT/LRT) melalui fuel switching dari BBM ke gas, hidrogen, serta listrik,” ujar Hendra.
Menurut dia, di sektor transportasi, penerapan fuel economy standard (FES) pada tahun 2025 dan percepatan elektrifikasi kendaraan dapat menghemat konsumsi energi setara dengan 8,4 MTOE pada 2030.
Pada tahun 2050, penghematan dapat mencapai 62 juta liter. Pada harga minyak saat ini, penghematan ini setara dengan penghematan biaya masing-masing 4,9 miliar dollar AS dan 36,3 miliar dollar AS.
Adapun fuel economy standard merupakan instrumen kebijakan utama yang memungkinkan Indonesia mencapai tingkat efisiensi energi dan elektrifikasi untuk mencapai net zero di sektor transportasi. Penyusunan FES juga telah diamanatkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Standar juga menjadi faktor pendorong penting penerapan kendaraan listrik di Indonesia.
Menurut Head of Industry & Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani, potensi pembiayaan perbankan untuk pengadaan angkutan umum berbasis listrik cukup potensial. Investasi sektor transportasi memiliki potensi yang besar dan dapat mencapai Rp 8 triliun. Pada 2023, kredit perbankan nasional untuk sektor angkutan jalan untuk penumpang tumbuh tinggi, mencapai Rp 10,1 triliun.
”Namun, tetap perlu diingat, risiko perubahan kebijakan, risiko industri, risiko perubahan teknologi, dan risiko operasional dapat menjadi faktor penghambat pembiayaan perbankan untuk angkutan umum berbasis energi listrik,” ucap Dendi.
Penguatan kebijakan
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, dalam membangun ekosistem transportasi publik, khususnya yang berbasis listrik atau baterai, pemerintah perlu menguatkan kebijakan dengan menetapkan transportasi publik sebagai prioritas wajib dan dasar pelayanan masyarakat.
Untuk itu, perlu ada revisi Undang-Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam revisi itu, perhubungan harus masuk kebutuhan dasar. Revisi perlu menyertakan penguatan peraturan daerah angkutan umum, yaitu 5 persen untuk angkutan umum. Selain itu, Kementerian Dalam Negeri perlu memasukkan pedoman untuk mencari pembiayaan angkutan massal.
”Anggaran untuk perhubungan ini sangat rendah, rata-rata di bawah 1 persen. Tiga persen hanya DKI dan Solo,” ujar Djoko.
Seiring dengan penguatan kebijakan dasar pelayanan masyarakat, mau tak mau pemerintah daerah akan memprioritaskan pengadaan kendaraan hingga rute. Sarana dan prasarana yang terbangun ini akan membuat masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi massal.
Dalam membangun ekosistem itu pula, pemerintah memang perlu melakukan kolaborasi lintas sektor, seperti dengan perbankan dan pengembang perumahan, khususnya di wilayah Bodetabek.
”Meski begitu, tetap transportasi publik harus disubsidi oleh pemerintah karena ini bagian dari kewajiban pemerintah,” lanjutnya.
Selain lintas sektor, agar terwujud ekosistem bertransportasi massal, perlu ada juga kolaborasi dari tingkat kementerian. Menurut Djoko, kondisi transportasi publik masih buruk karena di level kementerian tidak sejalan akibat kepentingan atau ego sektoral.
”Kemenperin justru melakukan kebijakan dengan kendaraan pribadi listrik, seharusnya yang diperluas dan diperbanyak kendaraan angkutan massalnya. Mereka justru mendorong untuk membeli motor listrik, padahal kebutuhannya transportasi massal. Kendaraan bermotor ini sudah sangat tinggi di Jabodetabek,” kata Djoko.
Kementerian Perindustrian, lanjutnya, memiliki program insentif kendaraan listrik sebesar Rp 12,3 triliun. Namun, program itu dinilai kurang jelas karena tidak merinci jenis kendaraannya. Lalu, Kemenperin menambah program dengan membeli bus dalam dua tahun anggaran 2023-2024 sebanyak 552 unit.
Pengadaan kendaraan itu pun menyisakan pertanyaan karena akan diberikan ke kota mana saja. Tidak adanya komunikasi terbuka dengan Kemenperin membuat pengadaan bus itu tidak jelas.
”Itu beli busnya dari mana? Kita Indonesia sudah ada produksi dalam negeri, Inka. Baiknya pengadaan bus ini bisa melalui Inka. Produk-produk Inka sudah kita banggakan saat G20,” kata Djoko.
Seharusnya, ujarnya, pemerintah melalui kementerian-kementerian mendorong produksi dan pembelian bus listrik dalam negeri, bukan dari luar negeri. ”Ini bukan membenturkan, tapi kita melihat ada krisis transportasi publik. Apa langkahnya untuk mengatasi kritis ini agar menikmati layanan standar minimum transportasi,” ujarnya.