Tak Lagi Ibu Kota, Jakarta Tetap Menarik bagi Investor
Tanpa status ibu kota, Jakarta nanti akan fokus mengembangkan visi utamanya sebagai pusat perdagangan dan kota global.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah tak lagi menjadi Ibu Kota, dengan sejumlah kewenangan yang dimilikinya, Jakarta akan difokuskan untuk menjadi pusat perdagangan dan kota global. Penataan yang diberikan melalui kewenangan Jakarta dan kolaborasi dengan daerah penyangga dinilai akan semakin memberi ruang untuk Jakarta bergerak maju.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro mengatakan bahwa Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) mengembangkan Jakarta menjadi pusat perdagangan dunia. Sebab, lebih dari 17 persen produk domestik bruto (PDB) nasional dihasilkan di Kota Jakarta.
Setelah tak lagi menjadi Ibu Kota, Jakarta mendapatkan kewenangan khusus untuk menjadi pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa dan keuangan, serta kegiatan bisnis nasional, regional, dan global. Meski berubah status, Jakarta diproyeksi tetap akan menarik bagi investor.
”Kami menaruh harapan banyak agar kewenangan yang diberikan ini mampu mengembangkan DKJ sebagai pusat perdagangan dunia bukan hanya mempertahankan posisi DKJ sebagai pusat perdagangan RI,” kata Suhajar dalam diskusi daring Forum Merdeka Barat 9 bertajuk UU DKJ: Masa Depan Jakarta Pasca-Ibu Kota di Jakarta, Senin (22/4/2024).
Menurut Suhajar, setelah ibu kota pindah, Jakarta justru akan semakin fokus mengembangkan visi utamanya sebagai pusat perdagangan dan kota global. Penataan yang diberikan melalui kewenangan Jakarta akan semakin memberi ruang untuk Jakarta bergerak maju.
Dalam UU DKJ, lanjut Suhajar, pemerintah bersama DPR memberikan banyak kewenangan khusus kepada Jakarta di berbagai bidang, salah satunya perdagangan, yang meliputi kewenangan perizinan dan pendaftaran perusahaan di bidang perdagangan, stabilitas harga barang kebutuhan pokok dan barang penting, pengembangan ekspor, serta standardisasi perlindungan konsumen.
Secara terperinci, Suhajar menyebutkan, subbidang perizinan dan pendaftaran perusahaan mencakup penerbitan surat izin usaha perdagangan bahan berbahaya dan pusat perbelanjaan.
Kemudian, subbidang stabilitas harga barang kebutuhan pokok dan barang penting mencakup penjaminan ketersediaan kebutuhan pokok dan bahan penting, pemantauan harga dan stok barang, serta operasi pasar. Adapun subbidang pengembangan ekspor mencakup penyelenggaraan kampanye pencitraan produk ekspor serta DKJ skala nasional dan internasional.
Baca juga: RUU DKJ Bakal Dikebut, Baleg DPR Ingatkan Jangan seperti UU Cipta Kerja
Selanjutnya, kata Suhajar, subbidang standardisasi perlindungan konsumen mencakup verifikasi standar ukuran serta edukasi di bidang metrologi legal dan pengawasan tata niaga impor melalui kawasan pabean.
”Kendali berbagai kewenangan khusus di DKJ ini, baik di bidang perizinan maupun dengan operasional, dipimpin Gubernur bersama DPR dan perangkat-perangkat-nya,” tuturnya.
Selain sebagai regulasi pendukung transisi pemerintah menuju Ibu Kota Nusantara (IKN), Suhajar bahwa UU DKJ ditujukan untuk pemerataan pembangunan. Oleh sebab itu, minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara wajib disalurkan sampai ke kelurahan.
Menurut Suhajar, kebijakan itu merupakan salah satu wujud dari kesepakatan antara pemerintah dan DPR untuk memberi ruang, akses, dan peluang lebih besar bagi pemerintah DKJ untuk berkembang.
”Kebijakan minimal 5 persen APBD untuk kelurahan dibagi berdasarkan beban kerja dan wilayah administratif kelurahan untuk menyelesaikan masalah sosial ke masyarakat,” ujarnya.
Minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara wajib disalurkan sampai kelurahan.
Kawasan aglomerasi
Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi Nasdem Taufiq Basari mengatakan, penataan ruang menjadi penting bagi Jakarta untuk mempererat perekonomian setelah tidak lagi jadi Ibu Kota. Oleh sebab itu, kerja sama dengan wilayah penyangga sangat penting dilakukan.
Taufiq menuturkan, pembentukan kawasan aglomerasi menjadi salah satu kebijakan baru yang akan berlaku saat Jakarta tak lagi menyandang status Ibu Kota Negara Indonesia. Dibentuknya kawasan aglomerasi atau bisa disebut Jabodetabekjur tersebut untuk menyelaraskan rencana tata ruang dan pembangunan wilayah menjadi satu kesatuan.
Meski secara administrasi pemerintahan wilayah-wilayah tersebut tetap berada di bawah masing-masing provinsi, tetapi ada beberapa program khusus yang menjadi bagian dari kawasan aglomerasi. Program tersebut meliputi transportasi, pengelolaan sampah, pengelolaan lingkungan hidup, penanggulangan banjir, pengelolaan air minum, pengelolaan limbah, infrastruktur wilayah, penataan ruang, serta energi.
“Adanya kawasan aglomerasi bertujuan mempermudah komunikasi antar wilayah di kawasan aglomerasi,” kata Taufiq.
Menurut Taufiq, Jakarta tidak akan bisa berjalan sendiri dalam pembangunannya, begitu pula daerah di sekitar Jakarta. Maka dari itu, butuh sinkronisasi tata ruang antara Jakarta dan daerah sekitar agar masalah yang dihadapi bisa terpecahkan.
Baca juga: Harapan dan Nasib Jakarta di Balik Pengesahan RUU DKJ
”Dewan Aglomerasi nantinya akan ditunjuk oleh presiden dan diawasi langsung oleh DPR karena dewan ini dibentuk presiden dan bertanggung jawab ke presiden. Sementara DPRD akan mengawasi gubernur DKJ dan seluruh pemerintahan provinsi,” ujarnya.
Penurunan perekonomian
Adapun pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN dikhawatirkan dapat mengurangi potensi perekonomian Jakarta. Pengamat tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, khawatir akan kemampuan Jakarta untuk mandiri setelah lepas status menjadi ibu kota.
Dengan pindahnya ibu kota negara di IKN, Yayat menilai kegiatan ekonomi yang diperoleh pada sektor administrasi dan pemerintahan bakal berkurang. Dengan demikian, Jakarta perlu mencari alternatif sebagai pengganti potensi ekonomi yang hilang di sektor tersebut.
Jika hal itu tidak dilakukan, Yayat mengaku khawatir Jakarta akan kalah dengan pengembangan Bumi Serpong Damai (BSD) dan Pantai Indah Kapuk (PIK) yang baru-baru ini ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh pemerintah. Posisi PIK dan BSD membuat kedua wilayah itu bisa mendapat banyak insentif bisnis.
Selain itu, pemindahan ibu kota disebut tidak menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta. Sebab, melihat di data produk domestik regional bruto Bekasi, Depok, dan Tangerang Selatan, ternyata sektor yang paling dominan itu adalah sektor ekonomi tersier.
”Jadi kota-kota di Jabodetabek itu ekonominya fokus pada tersier, khususnya layanan transportasi dan perdagangan eceran. Perekonomian Jakarta ternyata sangat bergantung pada perdagangan eceran serta reparasi mobil dan motor. Ini berarti mayoritas bisnis di Jakarta digerakkan oleh sektor transportasi, khususnya motor,” kata Yayat.
Oleh sebab itu, Yayat menyarankan agar pemerintah kelak memikirkan cara untuk mendorong perekonomian Jakarta. Di sisi lain, Jakarta memiliki kekuatan lewat sektor jasa keuangan, asuransi, dan perusahaan. Ketiga sektor ini tidak dimiliki kota-kota tetangga di sekitarnya.