Tempat Pemrosesan Akhir di Tangerang Nyaris Penuh, Darurat Sampah di Depan Mata
TPA Rawa Kucing, Tangerang, nyaris penuh. Pengolahan sampah dari hulu dan penerapan ekonomi sirkular mendesak dilakukan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Tempat Pemrosesan Akhir Rawa Kucing, Kelurahan Kedaung Wetan, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, nyaris tidak mampu lagi menampung timbulan sampah. Tanpa pengelolaan terpadu dari hulu, darurat sampah ada di depan mata. Penerapan ekonomi sirkular untuk pengelolaan sampah juga mendesak dilakukan.
Kondisi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Rawa Kucing yang nyaris penuh terlihat dari sampah yang sudah menggunung dengan ketinggian sampah mencapai 25 meter. Volume timbunan sampah di sana mencapai 1.600 ton per harinya.
Kondisi ini diperparah dengan bencana kebakaran TPA Rawa Kucing yang terus berulang. Puncaknya terjadi pada 20 Oktober 2023 dengan luas area yang terbakar 27 hektar atau 80 persen dari total 34,8 hektar lahan TPA. Proses pemadaman saat itu berlangsung 12 hari. Selama itu pula Pemerintah Kota Tangerang memberlakukan status tanggap bencana darurat daerah. Dengan volume sampah harian yang terus meningkat dan daya tampung TPA Rawa Kucing yang terbatas, apabila penanganan TPA Rawa Kucing tidak dikelola dengan baik, masalah sampah menjadi bom waktu yang siap meledak kapan pun.
Koordinator Presidium Koalisi Aktivis Lingkungan Hidup Kota Tangerang Ade Yunus, Senin (15/4/2024), menyatakan, Kota Tangerang sudah berstatus darurat sampah.
Menurut dia, kebijakan terintegrasi diperlukan agar volume sampah yang sudah menggunung di TPA Rawa Kucing dapat dikurangi sampai habis. Pengelolaan sampah harus berjalan terintegrasi mulai dari penegakan aturan, pengelolaan dengan teknologi yang tepat, hingga internalisasi budaya mengelola sampah dari hulu.
Berbagai aksi bersih-bersih hanya mampu merelokasi atau memindahkan sampah ke TPA. Dengan demikian, untuk mengelola sampah yang menggunung di TPA, diperlukan langkah konkret yang lebih ekstrem dan tepat guna, salah satunya melalui program Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL).
”Sampah yang dapat didaur ulang memiliki potensi ekonomi sirkular. Bank sampah membantu mengelola sampah yang dapat didaur ulang dan masih memiliki nilai ekonomis. Komposter mengelola sampah rumah tangga dan sampah organik lain yang dapat dijadikan kompos,” kata Ade.
Dengan kondisi Kota Tangerang yang darurat sampah, menurut dia, pilihan terbaik adalah pengendalian sampah dari hulu. Program RW Tanpa Sampah melalui pengelolaan berbasis masyarakat perlu digencarkan. Di hilir, pengelolaan sampah dengan proyek PSEL perlu digulirkan.
Sebelumnya Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Tihar Sopian mengatakan, upaya sosialisasi dan edukasi kepada warga sudah dilakukan melalui beragam program, seperti bank sampah di hampir setiap kelurahan serta program sedekah sampah. Hingga saat ini ada sekitar 80 bank sampah di seluruh Kota Tangerang.
”Namun, memang semenjak pandemi Covid-19, program itu tidak berjalan optimal,” ujarnya.
Semua sampah itu harus diangkut agar tak mengotori kota. ”Kondisi ini membuat tumpukan sampah di TPA semakin menggunung,” ucap Tihar.
Hingga saat ini pihaknya berupaya mengurangi tumpukan sampah. Jika tidak ditanggulangi, kapasitas TPA dikhawatirkan tidak lagi mencukupi. Dari total 34,8 hektar lahan TPA, hanya tersisa 2,5 hektar yang belum digunakan.
Sampah yang dapat didaur ulang memiliki potensi ekonomi sirkular.
Langkah antisipasi sudah diupayakan dengan pembangunan fasilitas pengolahan sampah terpadu ramah lingkungan Kota Tangerang, yang ditargetkan akan mulai memasuki tahap konstruksi pada 2025. Dengan begitu, sampah tidak ada lagi yang dibiarkan dan dibuang, tetapi dikonversikan menjadi listrik.
Kota Tangerang bisa belajar dari Jakarta yang sudah membangun pola pengurangan sampah mulai dari hulu. Target pengurangan sampah hingga 20 persen yang dikirim ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang pun terus digulirkan.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, 7.800 ton sampah setiap hari dikirim dari Jakarta ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang. Pihaknya menargetkan 20 persen pengurangan sampah dan 70 persen penanganan sampah pada tahun 2024. Caranya dengan membangun tempat pengolahan sampah reduce-reuse-recycle (TPS3R) di sejumlah kelurahan.
Ia pun menargetkan 44 kecamatan di DKI Jakarta setidaknya memiliki sebuah TPS3R. Pada 2023 sebanyak 7 unit TPS3R sudah dibangun. Tahun 2024 ditargetkan ada 4 TPS3R tambahan yang dibangun.
”Sisanya akan dibangun secara bertahap,” kata Asep. Masyarakat sekitar dilibatkan dalam pengoperasian. TPS3R harus dikelola secara profesional agar mendatangkan manfaat ekonomi bagi daerah dan masyarakat sekitar.
Direktur Pengurangan Sampah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Vinda Damayanti Ansjar menilai, cara paling efektif mengurangi sampah adalah dengan mengolah sampah mulai dari sumbernya. Kesadaran inilah yang perlu ditanamkan kepada warga, yakni untuk mulai memilah sampah dari rumah. Peran bank sampah sangat diperlukan untuk menyosialisasikan cara mengolah sampah.
Hanya saja, dari 16.000 bank sampah di Indonesia, tidak semua dapat beroperasi secara optimal. Banyak bank sampah yang mati suri. Ke depan, KLHK akan mencoba untuk mengangkat kembali ”pamor” bank sampah agar lebih dikenal warga.
Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional menunjukkan, DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi yang cukup berhasil mengurangi sampah, yakni sekitar 26 persen. Adapun kebanyakan provinsi baru berhasil mengurangi sampah sekitar 10 persen. Padahal, pada 2030 pemerintah menargetkan pengurangan sampah hingga 30 persen.
”Karena itu, edukasi harus mulai digencarkan,” kata Vinda tegas.
Pada 2030 izin untuk pembukaan TPA baru tidak lagi dikeluarkan. Kondisi ini dipicu banyaknya kasus kebakaran TPA pada tahun 2023 sebanyak 35 kasus.
”Bencana itu muncul karena sebagian besar TPA di Indonesia menerapkan sistem pembuangan sampah terbuka (open dumping) dan mulai beralih ke sistem landfill pada tahun 2025,” katanya.