Selter, Wujud Cinta untuk Transpuan
Selter di Joglo, memberikan tempat untuk para transpuan yang kesulitan mendapatkan tempat tinggal dan akses kesehatan.
Transpuan ada di antara kita, tetapi mereka kerap masih tidak diterima dan sering diabaikan negara. Jangankan mendapat cinta, dihargai sebagai sesama insan saja pun masih sulit. Kaum marjinal berlapis kini perlahan diperhatikan dan mendapat cinta dari inisiasi kecil sejumlah anggota masyarakat.
Sebuah kamar berukuran luas sekitar 12 meter yang berada di kawasan padat penduduk, Joglo, Jakarta Barat, pada Jumat (12/4/2024) siang, tampak tertata rapi. Dua kipas angin di kamar itu terus berputar mengembuskan hawa sejuk.
Satu kulkas, dispenser, dan alat pemadam api ringan (Apar) juga tersedia di sana. Di sisi lain kamar, terdapat dua kasur yang diletakkan bertumpuk. Kamar yang dilengkapi dapur dan toilet itu lengkap dengan beragam perabotan rumah tangga. Ada kompor gas, tabung elpiji, hingga peralatan masak.
Indekos yang disewa Rp 700.000 per bulan itu rupanya selter untuk transpuan. Di tempat itu, para transpuan yang selama ini kerap kesulitan mendapat akses tempat tinggal, akses kesehatan, hingga kependudukan diberdayakan.
Jhon Pebri (43), salah satu transpuan yang sudah 13 tahun merantau ke Jakarta, misalnya, telah tinggal di sana sejak satu bulan lalu. Dia memutuskan tinggal di selter itu setelah tak mampu lagi menyewa kontrakan. Pekerjaannya sebagai pengamen tidak memberi nafkah yang cukup.
"Saya sering menunggak kontrakan karena penghasilan saya enggak cukup. Kebetulan, sudah kenal pengelola selter ini cukup lama. Saya diminta tinggal dulu di sini sampai ekonomi saya membaik," kata transpuan asal Palembang, Sumatera Selatan itu.
Selter sederhana yang berdiri sejak satu tahun lalu itu tak hanya jadi tempat tinggal transpuan yang tak memiliki rumah. Di tempat itu, para transpuan yang kesulitan mendapat akses kesehatan, pengurusan identitas kependudukan, hingga pendampingan hukum dibantu dan difasilitasi.
"Kami juga sering berkumpul di sini. Kemarin, kami semua buka puasa di sini," kata Pebri.
Semua yang masuk ke sini, keluar itu harus punya KTP, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan
Donasi publik
Selter sederhana yang berjarak sekitar 100 meter dari Tempat Pemakaman Umum (TPU) Joglo itu dikembangkan oleh tiga pegiat isu sosial dan minoritas. Mereka selama ini rutin memperjuangkan hak dari kaum marjinal yang kerap luput dari jangkauan negara. Mereka adalah Mia Olivia, Echy, dan Hartoyo.
Baca juga: Remaja Masjid, Gaul dengan Jazz
Menurut Mia, selter yang sementara ini dihuni Pebri, didirikan oleh gerakan mereka yang bernama Ragam Berdaya Indonesia. Tujuan awal dari gerakan ini ialah agar seluruh transpuan, transjender, termasuk kaum marjinal lain mendapat akses setara dari negara, terutama jaminan kesehatan, jaminan kematian, kecelakaan, hari tua, pensiun, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
"Semua yang masuk ke sini, keluar itu harus punya KTP, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Itu mereka harus punya," katanya.
Ide yang melatarbelakangi lahirnya gerakan itu bermula dari sosok bernama Echy yang saat ini masih aktif di Yayasan Srikandi Sejati. Dia awalnya merogoh kocek sendiri untuk mewujudkan niat baik itu.
"Makin lama, makin banyak orang datang ke selter. Makin berat dong. Apalagi kalau ada yang sakit," kata Mia.
Echy pun menghubungi Mia dan Hartoyo, lalu menjelaskan niat mulia itu. Gagasan itu disambut baik. Mereka pun bekerja sama mencari donasi.
Saat selter itu berdiri, mereka sempat mendapat donasi dari salah satu lembaga konsultasi dan bantuan hukum bagi korban dan penyintas kekerasan berbasis jender. Lembaga tersebut membantu pembiayan sewa selter selama lima bulan.
Upaya mencari donasi tak berhenti di sana. Mereka selain merogoh kocek, juga kembali membuka donasi publik. Donasi yang awalnya untuk membayar sewa selter itu rupanya direspons positif oleh masyarakat. Total donasi yang terkumpul sejak Januari 2024 mencapai sekitar Rp 43 juta.
"Hal yang bikin surprise saat open donasi, penyumbang itu kami banyak tidak kenal. Mereka juga bukan dari gerakan atau mitra kami, bahkan sampai Malaysia, menyumbang cukup besar," ucapnya.
Donasi juga datang dari organisasi minoritas jender dan seksual. Selain itu, ada pula pekerja media, sesama pegiat kaum marjinal, hingga pelanggan, dan penjual barang seken.
Baca juga: Mereka yang Kembali Secepatnya, Sebelum Puncak Arus Balik
Donasi publik dan swadaya yang dilakukan oleh Mia dan dua kerabatnya meski nilainya masih tergolong kecil, namun cukup membantu para transpuan. Selama selter itu berdiri, ada 25 transpuan yang pernah menginap cukup lama di sana.
"Sementara untuk yang singgah saja, seperti butuh istirahat atau di selter untuk sekadar makan saja. Jumlahnya sampai 100-an orang," kata Mia.
Dalam kesempatan yang berbeda, Hartoyo, salah satu penggerak Ragam Berdaya Indonesia menjelaskan bahwa selama bulan Ramadhan mereka juga mengumpulkan donasi. Program itu disebut Jalinan Kasih Transpuan, yang disingkat JaKat. Selain dari donasi rutin, JaKat khusus dibuka bagi orang-orang yang ingin membantu kelompok transpuan selama bulan puasa.
Penerimaan rendah
Isu marjinal terutama marjinal berlapis seperti transpuan memang masih sulit diterima di Indonesia. Dari survei Litbang Kompas, kelompok minoritas ini menghadapi tantangan terbesar dalam hal penerimaan, diskriminasi, hingga kesulitan ekonomi. (Kompas, 26 Juli 2022).
Survei yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 76 responden transpuan di 11 provinsi di Indonesia menunjukkan, 94,7 persen responden menyadari adanya perbedaan ekspresi jender pada dirinya pada usia kurang dari 18 tahun. Hanya, yang berani berterus terang jauh lebih sedikit, yakni 65,8 persen responden yang mengungkapkan identitas dirinya adalah transpuan ketika berusia kurang dari 18 tahun.
Jika mereka mengungkap identitas mereka, saat itulah mereka menjadi kurang diterima keluarga hingga masyarakat. Orang-orang terdekat, seperti keluarga, saudara, ataupun kerabat, kurang menerima keberadaan mereka. Hal ini diungkapkan oleh sekitar 32 responden transpuan. Bahkan, ada 14,5 persen responden lainnya yang benar-benar tidak diterima oleh keluarga dengan identitas barunya itu.
Di lingkup lebih luas lagi, yakni komunitas masyarakat, penerimaan terhadap transpuan semakin rendah lagi. Sebanyak 51,4 persen responden mengaku masyarakat kurang menerima keberadaan mereka. Bahkan, empat dari 10 responden merasa bahwa masyarakat tidak menerima keberadaannya sama sekali.