267 Orang Tim Reaksi Cepat Dinilai Kurang untuk Respons Bencana di Jakarta
Tim reaksi cepat BPBD DKI dengan 267 orang dinilai masih kurang. Penambahan tiga kali lipatnya dinilai jumlah ideal.
Oleh
ATIEK ISHLAHIYAH AL HAMASY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta mengusulkan penambahan petugas penanganan bencana atau tim reaksi cepat. Usulan ini mengingat seringnya terjadi kebakaran, banjir, tanah longsor, hingga angin kencang di Jakarta yang tidak mampu ditangani dengan jumlah petugas yang terbatas.
Kepala Pelaksana BPBD DKI Jakarta Isnawa Adji menjelaskan, 267 petugas tim reaksi cepat (TRC) tidak sebanding dengan jumlah 267 kelurahan yang ada di DKI Jakarta mengingat mereka bekerja dengan sistem jam kerja bergilir (sif) dan harus bersiap diri 24 jam.
”Jumlah tim reaksi cepat BPBD DKI saat ini 267 orang, seperti jumlah kelurahan di Jakarta. Jadi, satu anggota TRC saya tugaskan menjadi PIC di setiap kelurahan. Walaupun mereka bersifat mobile, home base-nya di kantor Wali Kota dan BPBD,” kata Isnawa saat dihubungi, Selasa (2/4/2024).
Saat ini, pihaknya sedang mengusulkan kepada Penjabat Gubernur DKI sekiranya memungkinkan agar bisa dilakukan penambahan anggota. Isnawa tidak meminta melakukan adanya perekrutan baru, tetapi memutasi dari Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan (PJLP), seperti petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU). Sebab, jumlah PPSU per kelurahan rata-rata 50-70 orang.
”Kalau seandainya dua anggota PPSU bisa dialihkan ke BPBD untuk setiap kelurahan, akan ada penambahan 534 anggota. Jika ditambahkan dengan 267 petugas yang sudah ada, berarti akan ada 801 petugas TRC. Angka ini cukup ideal,” tutur Isnawa.
Sebelumnya, Isnawa juga telah membahas usulannya tersebut dalam rapat laporan realisasi anggaran 2024 dan Pra-Rencana Kerja Pemerintah Daerah (Pra-RKPD) Provinsi DKI Jakarta 2025 pada Senin (1/4/2024). Saat ini, usulannya tersebut sedang dikaji.
Adapun petugas TRC bertugas memetakan potensi bencana yang ada di wilayahnya masing-masing. Para anggota harus mendalami profil kelurahan dan menginventarisasi setiap potensi bencana yang ada, seperti kebakaran, banjir, dan tanah longsor.
Lebih lanjut, TRC juga ditugaskan untuk mendata sarana, prasarana, dan segala aspek pendukung yang dibutuhkan ketika terjadi bencana. TRC akan meninjau kembali lokasi-lokasi pengungsian yang sudah ditetapkan untuk memastikan segala unsur pendukung siap dan layak ketika terjadi bencana, khususnya dalam aspek kesehatan, kedaruratan, dan logistik.
Kami menyarankan agar setiap lurah menjalani pelatihan agar lebih optimal dalam menangani kebencanaan.
Hal ini dilakukan untuk memastikan kesiapsiagaan segala unsur yang ada di tingkat kelurahan dalam merespons segala potensi bencana sehingga diharapkan dapat mengurangi risiko bencana di masyarakat.
Dengan penugasan ini, pasukan TRC diharapkan semakin dekat dan lebih dikenal oleh masyarakat, seperti ketua RT/RW, Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), dan tokoh-tokoh masyarakat dalam rangka sinergi untuk membangun budaya sadar bencana.
Adapun terkait peningkatan kapasitas petugas kebencanaan, Isnawa mengatakan, lurah memiliki tugas sebagai pemimpin dalam pengelolaan bencana di wilayah kelurahan. Hal ini berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1245 Tahun 2020.
”Kami menyarankan agar setiap lurah menjalani pelatihan agar lebih optimal dalam menangani kebencanaan. BPBD DKI menyediakan ruang dan waktu setempat untuk pelatihan,” ujarnya.
Simulasi bencana
Di sisi lain, anggota Komisi A DPRD Provinsi DKI Jakarta Israyani menyayangkan BPBD DKI belum memiliki ruang khusus simulasi bencana. Padahal, menurut dia, ruang simulasi penting dimiliki BPBD DKI untuk melakukan edukasi kepada masyarakat mengenai langkah-langkah penyelamatan diri dari bencana.
Selain mengedukasi masyarakat, menurut Israyani, ruang simulasi bencana juga penting untuk membekali aparatur sipil negara (ASN) kewaspadaan terhadap bencana.
”Selain masyarakat, tentunya para ASN juga harus jadi garda terdepan dalam manajemen kewaspadaan terkait bencana,” tuturnya.
Selain ruang simulasi, Israyani juga meminta BPBD DKI gencar melakukan pelatihan khusus di setiap kelurahan agar masyarakat dan ASN dapat memiliki kemampuan penyelamatan apabila terjadi bencana alam.
Saat dikonfirmasi, Adji menjelaskan, tidak dibangunnya ruang simulasi bencana karena masih satu gedung dengan Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat). Sebab, apabila ruang simulasi itu dibuat dapat menimbulkan getaran yang menyebabkan berubahnya struktur bangunan.
”Jadi, kalau dipasang ruang simulasi gempa, itu akan ada getaran dan magnet. Itu bisa memengaruhi struktur bangunan. Jadi tidak disarankan dibangun di dalam gedung. Kami mengusulkan di tahun 2025 ruang simulator gempa tidak di dalam gedung, tetapi di dalam truk sehingga orang bisa merasakan situasi gempa secara langsung. Ini seperti di Jepang,” kata Isnawa.