Harapan dan Nasib Jakarta di Balik Pengesahan RUU DKJ
Jakarta memiliki kewenangan yang tidak dimiliki kota atau provinsi lain, baik pekerjaan umum maupun bidang pertanahan.
Kamis (28/3/2024) siang, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ menjadi undang-undang dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. RUU DKJ terdiri dari 12 bab dan 73 pasal yang berisi ketentuan soal status Jakarta setelah tak lagi menjadi Ibu Kota.
Pasal 1 draf RUU DKJ terbaru menyebutkan, Jakarta sebagai daerah khusus mempunyai kekhususan dalam menyelenggarakan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan khusus itu ialah kewenangan yang dimiliki Provinsi Daerah Khusus Jakarta terkait pelaksanaan fungsi sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global.
Warga Jakarta Barat, Zaky Ahmad Firdaus (30), berharap kebijakan baru ini bisa membawa dampak perubahan yang baik bagi Jakarta. Ia sebenarnya tak mempermasalahkan pemindahan ibu kota. Sebab, pusat perekonomian di Jakarta diyakininya tidak banyak berubah karena sudah lama berjalan.
Di sisi lain, menurut Zaky, ada hal yang perlu disyukuri. Setidaknya, ia menilai kepadatan Jakarta akan sedikit berkurang. Angka kemacetan pun nantinya juga diharapkan bisa berkurang.
”Sekarang yang perlu terus digenjot ialah menyiapkan Jakarta untuk tetap menarik sebagai simpul perekonomian,” kata Zaky, Jumat (29/3/2024).
Tak lagi menjadi Ibu Kota, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, memproyeksikan Jakarta tetap bisa menjadi pusat ekonomi, seperti Kota New York. Jakarta berpotensi berkembang sebagai pusat perekonomian nasional, seperti kota-kota besar di dunia, misalnya Tokyo dan London.
”Penentu kebijakan dapat belajar dari kota-kota lain di dunia yang bisa menjadi kota global, pusat keuangan, bisnis, seni, dan olahraga,” katanya.
Selama ini, Jakarta telah menyumbangkan kontribusi signifikan bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, tercatat lebih kurang 17 persen perekonomian Indonesia ditopang oleh Jakarta.
”Meski ibu kota dipindahkan, Jakarta akan tetap menjadi tujuan utama masyarakat mencari kerja dari seluruh daerah sehingga nanti permasalahan urbanisasi juga harus tetap ditangani dengan serius,” ujar Nirwono.
Agar hal tersebut tercapai, Jakarta harus diberikan kekhususan karena membutuhkan tenaga untuk menyelesaikan persoalan yang mendasar, seperti penanganan banjir hingga kemacetan.
Ketua Institut Studi Transportasi Darmaningtyas pun sependapat. Sebab, ia mengatakan, kemacetan masih akan terjadi meski Jakarta sudah tak lagi Ibu Kota. Mobilitas masyarakat tetap masih akan banyak di Jakarta, terutama selama Ibu Kota Nusantara (IKN) belum memberikan kenyamanan bagi masyarakat.
Darma mengatakan, butuh puluhan tahun bagi Jakarta untuk tidak lagi macet setelah ibu kota pindah. Namun, paling tidak pemindahan ibu kota akan memengaruhi pergerakan orang yang biasa berpusat ke Pulau Jawa, terutama Jakarta.
Warga Jakarta Pusat, Arini Herdawati (28), berpendapat, pemerintah pusat dan daerah harus benar-benar menggarap masa depan Jakarta secara seksama. Hal ini mulai dari menjadikan Jakarta sebagai kota yang unggul di bidang ekonomi, layak huni, dan tidak akrab dengan bencana-bencana alam.
”Yang paling utama, pemindahan ibu kota diharapkan mampu menekan kemiskinan. Pemerintah bisa lebih fokus menggarap isu kemiskinan di Jakarta. Kan, katanya mau menjadi kota global, masa penduduknya masih banyak yang miskin,” ujar Arini.
Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretaris Daerah DKI Jakarta Sri Haryati menekankan, pihaknya dengan pemerintah pusat terus melakukan pembahasan agar Jakarta tetap bisa menjaga kestabilan ekonominya di masa depan meski bukan lagi sebagai ibu kota negara.
Sri menambahkan, pihaknya tidak bisa sendirian menjaga ekonomi Jakarta. Oleh karena itu, ia meminta pelaku usaha, termasuk para pengusaha ritel, untuk saling bahu-membahu menjaga agar sektor tersebut bisa terus berkembang dan mendukung ekonomi Jakarta.
Mengembangkan budaya
Tidak hanya tentang ekonominya, Jakarta diharapkan terus menyongsong budaya Betawi-nya sebagai jati diri di tengah-tengah keberagaman suku di Jakarta.
Imam Besar Forum Betawi Rempug Lutfi Hakim mengatakan, warga Betawi sangat setuju dengan wacana Jakarta menjadi pusat ekonomi global. Namun, sektor kebudayaan juga harus tetap diperhatikan.
”Tidak boleh menyampingkan orang Betawi dan budayanya. Semua harus terintegrasi dalam mempersiapkan perubahan Jakarta setelah tidak menjadi ibu kota,” katanya.
Menurut dia, saat ini menjadi momentum budaya Betawi menuju era tinggal landas. Betawi diharapkan bisa menjadi lebih baik dan maju.
”Saat ini orang Betawi banyak termarjinalkan secara struktur dan kultur,” lanjutnya.
Kaum Betawi, lanjut Lutfi, tidak lagi memiliki kedaulatan budaya. Sebab, ruang pengembangan budaya sangat minim yang menyebabkan banyak kebudayaan Betawi mati suri.
”Kita lihat dan kawal saja perjalanan UU DKJ. Sebagai anak Betawi, saya mengapresiasi dengan baik. Terkait budaya Betawi, ya, 50:50. Antara yakin dan tidak yakin. Apalagi, kan, budaya lain pun dapat ruang. Saya sudah hapal mental birokrat pemerintah. Bisa saja akan begini-begini saja. Tidak maju dan tidak mundur,” ujar budayawan Jakarta, Yahya Andi Saputra, saat dalam konfirmasi yang berbeda.
Tidak boleh menyampingkan orang Betawi dan budayanya. Semua harus terintegrasi dalam mempersiapkan perubahan Jakarta setelah tidak menjadi ibu kota.
Kewenangan khusus
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, produk legislasi itu merupakan wujud komitmen untuk mengupayakan Jakarta menjadi kota berkelas dunia setelah tidak lagi menjadi ibu kota negara.
Harapan Tito, Jakarta tidak hanya mampu membangkitkan aktivitas ekonomi di wilayah Jakarta itu sendiri ataupun Indonesia, tetapi juga menjadi sentra penting ekonomi di Asia Tenggara, bahkan dunia. Kemudian, Jakarta dapat terus mempertahankan kontribusi ekonomi tersebut setelah ibu kota negara berpindah ke IKN.
“Bahkan, lebih ditingkatkan agar dapat bersaing dan setara dengan kota-kota kelas dunia,” ucapnya saat pengesahan RUU DKJ, Kamis.
Untuk itu, lanjut Tito, UU DKJ mengakomodasi penyesuaian kebijakan regulasi menyangkut kekhususan bagi Jakarta setelah tak lagi menjadi ibu kota negara.
“Pemerintah dan DPR punya visi yang sama untuk Jakarta bahwa setelah tidak menjadi ibu kota harus tetap dilekatkan status kekhususan sehingga bisa mengakselerasi pertumbuhan perekonomian,” kata Tito.
Sementara itu, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, nantinya Jakarta setelah tidak menjadi ibu kota negara akan memiliki kewenangan khusus yang tidak dimiliki kota ataupun provinsi lain, baik pekerjaan umum maupun bidang pertanahan.
Baca juga: Dibahas Tanpa Partisipasi Publik Bermakna, RUU DKJ Rawan Digugat ke MK
Salah satunya adalah sistem aglomerasi, di mana pengelolaannya akan membutuhkan bantuan beberapa wilayah meskipun berbeda dari sisi administrasinya. ”Jakarta harus menjadi kota global dan tentunya tidak bisa berdiri sendiri karena tetap butuh support dari wilayah sekitar,” ujar Supratman.
Supratman kemudian menjelaskan tujuh garis besar materi muatan dalam UU DKJ. Pertama, perbaikan definisi kawasan aglomerasi dan ketentuan mengenai penunjukan ketua dan anggota Dewan Kawasan Aglomerasi oleh presiden, yang tata cara penunjukannya diatur dengan keputusan peraturan presiden.
Kedua, ketentuan terkait pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKJ yang akan langsung dilakukan oleh warga Jakarta melalui mekanisme pemilihan. Ketiga, terkait dengan penambahan alokasi dana paling sedikit sebesar 5 persen bagi kelurahan yang berasal dari APBD DKJ sesuai beban kerja dan wilayah administratif yang wajib untuk menyelesaikan masalah sosial.
Adapun ketentuan keempat yang diatur dalam UU DKJ ialah 15 kewenangan khusus DKJ. Kewenangan itu mencangkup kewenangan khusus pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; penanaman modal; perhubungan; lingkungan hidup; perindustrian; pariwisata dan ekonomi kreatif; perdagangan; pendidikan; kesehatan; kebudayaan; pengendalian penduduk dan keluarga berencana; administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; kelautan dan perikanan; serta ketenagakerjaan.
Baca juga: RUU DKJ Disahkan, Pemindahan Ibu Kota Tunggu Keputusan Presiden
Ketentuan kelima ialah terkait prioritas kemajuan kebudayaan Betawi dan kebudayaan lain yang berkembang di Jakarta. Pelibatan lembaga adat dan kebudayaan Betawi serta pembentukan dana abadi kebudayaan yang bersumber dari APBD.
Keenam, terkait penyesuaian terkait pendapatan yang bersumber dari jenis retribusi perizinan tertentu pada kegiatan pemanfaatan ruang, yang tata cara penetapan tarifnya diatur ketentuan perundang-undangan. Lalu ketujuh penambahan ketentuan lain terkait dengan pertanahan.
Adapun saat ini, Jakarta masih menjadi ibu kota negara, meski UU DKJ sudah disahkan. Pasalnya, pemindahan ibu kota dapat dilakukan setelah adanya keputusan presiden (keppres) yang diteken presiden. Hal itu berdasarkan Pasal 39 UU Ibu Kota Negara yang menyebut Jakarta tetap sebagai ibu kota negara sampai dengan terbitnya keppres pemindahan IKN ke Nusantara.
Terburu-buru
Di sisi lain, pengesahan RUU DKJ dinilai terburu-buru. Dalam rapat pengesahan kemarin, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PKS, Ansory Siregar, berpendapat bahwa pembahasan RUU DKJ terburu-buru dan belum melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna serta belum menunjukkan adanya kekhususan yang ada untuk kota Jakarta di setiap pasalnya.
”RUU DKJ belum banyak menunjukan aturan yang memberikan kekhususan pada Jakarta untuk mempertahankan serta meningkatkan posisi Jakarta sebagai pusat perekonomian Indonesia. Oleh karena itu, saya mengusulkan untuk menjadikan kota Jakarta sebagai kota Legislatif,” ujarnya menolak pengesahan.
Peneliti Forum Masvarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, pembahasan RUU DKJ yang berlangsung singkat juga membuka peluang digugatnya legislasi tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak hanya karena durasi pembahasan, tetapi juga tidak adanya pelibatan publik secara bermakna dalam proses tersebut.
"Persoalan terkait partisipasi bermakna vang diabaikan DPR bisa menjadi alasan kuat bagi siapa pun untuk menggugat UU DKJ ke MK,” ujar Lucius (Kompas.id, 29/3/2024).