Waktu Surut Bukan Acuan Keberhasilan Pengendalian Banjir Jakarta
Waktu surut banjir Jakarta kurang dari enam jam bukan indikator keberhasilan karena aktivitas warga terganggu.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banjir yang melanda Jakarta setelah hujan deras, salah satunya dari meluapnya air sungai, menandakan penanganan yang belum optimal. DPRD DKI Jakarta menyoroti, waktu surut banjir yang kurang dari enam jam bukanlah indikator keberhasilan penanganan lantaran aktivitas warga terganggu sehingga pada gilirannya berpengaruh terhadap roda perekonomian.
Hujan deras sejak Minggu (24/3/2024) sampai Senin (25/3/2024) mengakibatkan Kali Ciliwung meluap. Sebanyak 30 rukun tetangga (RT) kebanjiran setinggi 30 sentimeter sampai 2 meter. Sebelumnya, Jumat (22/3/2024), banjir melanda 55 RT dan 30 ruas jalan setelah hujan deras turun pada dini hari. Banjir kemudian surut hingga tersisa di sembilan RT pada Sabtu pagi.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Justin Adrian, menyebutkan, waktu surut banjir kurang dari enam jam bukan indikator keberhasilan pengendalian banjir. Banjir di permukiman dan jalan merugikan warga ataupun pengguna jalan, serta mengganggu berbagai kegiatan kota.
”Waktu surut bukan indikator. Banjir merusak properti dan kendaraan yang pajaknya ditarik setiap tahun,” kata Justin, Kamis (28/3/2024).
Justin meminta upaya pengendalian banjir dilakukan secara simultan agar hasilnya lebih optimal. Hal ini berkaca dari normalisasi kali atau sungai yang belum berjalan sesuai dengan target.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Nova Harivan Paloh juga menyoal terkendalanya normalisasi Sungai Ciliwung karena pembebasan lahan yang tak kunjung rampung sampai sekarang. Untuk itu, pemerintah daerah mesti lebih serius menjalankan program pengendalian banjir.
”Jangan main-main dengan masalah banjir. Fokus. Siapkan semuanya supaya terkendali. Banjir di Tegal Alur selama 24 jam mengganggu aktivitas dan kegiatan warga,” kata Nova.
Hati-hati
Sejak tahun 1922, seorang insinyur Belanda, Herman van Breen, sudah mengingatkan untuk berhati-hati menata perkembangan kota Jakarta. Dengan luas wilayah mencapai 650 kilometer persegi atau 65.000 hektar, ketinggian tanah Jakarta berada pada 0 sampai 10 meter di atas permukaan laut dari titik 0 Tanjung Priok dan 5 hingga 50 meter di atas permukaan laut dari Kanal Banjir sampai batas selatan Jakarta.
Pengajar pada Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Rudy P Tambunan, menuturkan, Jakarta daerah yang datar dan sebagian besar areanya merupakan submerged land atau di bawah permukaan laut. Itulah sebabnya Herman van Breen pada 1922 mengingatkan pemerintahan Hindia Belanda untuk berhati-hati menata perkembangan kota.
”Bagian tengah dan utara (Jakarta) diperlebar dengan pendekatan polder,” ujar Rudy saat dihubungi.
Peringatan Van Breen ini mulai diseriusi setelah kemerdekaan. Pada 1959, Jakarta membenahi perencanaan kota melalui Djakarta Outline Plan atau rencana pendahuluan.
Rudy menuturkan, setelah Gubernur Ali Sadikin mengabdi, perencanaan berlanjut dengan Djakarta Master Plan 1965-1985. Dalam rencana ini dideskripsikan cara menangani tata air dan transportasi Jakarta. Salah satunya adalah Jakarta bisa tertolong dari genangan air dan banjir apabila dilengkapi dengan sistem polder.
”Jakarta menggunakan pendekatan moderat dengan desain drainase untuk perkiraan curah hujan moderat (50-100 mm per hari). Di atas itu harus dengan polder yang dibangun agar bisa menampung air,” kata Rudy.
Jangan main-main dengan masalah banjir. Fokus. Siapkan semuanya supaya terkendali.
Contoh polder yang bagus menurut Rudy ada di Pantai Indah Kapuk karena dibangun sebelum daerah itu terbangun jadi perumahan. Desainnya mempertimbangkan jumlah rumah dan bangunan sehingga muncul pola drainase menjadi empat zona, yaitu utara timur, utara barat, selatan timur, dan selatan barat.
Selain itu, disiapkan pula drainase bawah tanah (subsurface drainage) atau drainase yang berfungsi mengalirkan air limpasan permukaan melalui media di bawah permukaan tanah sehingga air terus mengalir ke polder dan dipompa ke Cengkareng Drain.
”Yang (area) lain tidak bisa begitu karena sudah terbangun rumah-rumah,” ujar Rudy.
Masalah karena kawasan terbangun ini tak lepas dari rencana pembangunan. Hasil studi dengan Belanda, Jepang, dan negara lain tidak diimplementasikan dengan baik di lapangan. Sementara itu, migrasi penduduk terus bertambah dan pemerintah tidak bisa menyediakan lahan pembangunan untuk rumah rakyat.
”Akhirnya masyarakat bangun masing-masing sehingga muncul masalah baru yang tidak sesuai rencana tata ruang,” ucap Rudy.
Inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) tidak terpenuhi karena masalah tersebut. Celakanya, daerah tetangga, yakni Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, mengalami hal serupa.
Menurut Rudy, persoalan tambah pelik karena antarwilayah tidak berkolaborasi dengan baik. Jakarta membangun dengan caranya sendiri. Begitu juga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Alhasil, yang terbentuk adalah konurbasi, bukan megapolitan.
Konurbasi merupakan kawasan luas yang terdiri atas beberapa kota/kota kecil yang cenderung menyatu satu sama lain melalui jaringan transportasi atau kawasan tempat bergabungnya beberapa kota.
”Masalah ini yang sedang coba ditangani agar penataan ruang Jabodetabek menjadi terpadu,” kata Rudy.