Lembaga Pengelola Transportasi untuk Kikis Ketimpangan Jabodetabek
Tidak senapas dalam kebijakan transportasi menimbulkan ketimpangan layanan angkutan umum antara Jakarta dan Bodetabek.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Studi terbaru Institute for Transportation and Development Policy atau ITDP Indonesia menunjukkan kebutuhan adanya satu lembaga pengelola transportasi di Jabodetabek. Lembaga ini harus kuat dalam pelbagai sisi, yaitu kebijakan, anggaran, dan implementasi di lapangan.
Studi terbaru ITDP ini dilakukan bersama UK Partnering for Accelerated Climate Transitions. Hasilnya dipublikasikan pada Rabu (20/3/2024) dalam Urban Transport Discussion #31: ”Integrasi Kelembagaan, Solusi Karut-marut Transportasi Jabodetabek?”, bersama Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Transjakarta, ahli, dan pengguna transportasi.
Hasil studi itu antara lain pengembangan transportasi publik massal tidak merata, bergantung pada prioritas, dan kapasitas keuangan tiap-tiap daerah. Alhasil, Jakarta melesat jauh meninggalkan daerah tetangganya di aglomerasi Jabodetabek.
Tingkat layanan, termasuk tarif transportasi, berbeda-beda antarwilayah sehingga ada rute perjalanan yang tidak menarik bagi masyarakat. Hal ini ditambah tidak terpadunya titik transit ataupun tarif tersebut terjadi karena wewenang yang dimiliki secara parsial oleh tiap-tiap pemangku kepentingan, serta tidak adanya kewajiban untuk berkoordinasi antardaerah.
Salah satu contoh dari persoalan ini ialah mentoknya rencana operasionalisasi rute S41 Pondok Cabe ke Lebak Bulus. Padahal, rute ini bisa mengintegrasikan angkot dari Parung di Kabupaten Bogor dan Pondok Cabe di Tangerang Selatan ke Jakarta.
Selama ini dari Parung dan Pondok Cabe hanya ada pilihan angkot yang berbeda jauh standar pelayanan dan tarifnya dengan mikrotrans di Jakarta. Belum lagi ada Transjakarta dan MRT Lebak Bulus sebagai pilihan warga Parung dan Pondok Cabe yang hendak ke dalam kota.
Direktur ITDP Indonesia Gonggomtua Sitanggang menuturkan, sudah ada BPTJ untuk mengoordinasikan kebijakan transportasi. Akan tetapi, implementasi di lapangan belum optimal sebab keterbatasan alokasi anggaran sebagai badan di bawah Kementerian Perhubungan.
ITDP Indonesia menyarankan adanya kelembagaan yang terintegrasi, dapat menjamin adanya komunikasi antarpemangku kepentingan terkait, menjadi penghubung utama dalam integrasi layanan transportasi publik di Jabodetabek, termasuk secara fisik pada titik transit ataupun nonfisik pada struktur tarifnya.
”Jakarta sudah cukup ideal, tetapi daerah lain? Idealnya ada satu lembaga terintegrasi, kuat dalam perencanaan transportasi, pengawasan, dan keuangan. Jika memungkinkan setingkat kementerian atau badan usaha negara yang nantinya bisa bekerja sama dengan badan usaha daerah, seperti Transjakarta,” kata Gonggom.
Integrasi
Mobilitas di Jabodetabek bersifat lintas batas, tetapi dikelola oleh daerah masing-masing. Kondisi ini salah satu faktor utama penghambat pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan umum.
Jakarta sudah cukup ideal, tetapi daerah lain? Idealnya ada satu lembaga terintegrasi, kuat dalam perencanaan transportasi, pengawasan, dan keuangan.
BPTJ mencatat 75 juta pergerakan warga setiap harinya. Namun, sampai tahun 2023, tingkat penggunaan angkutan umum dari 9 layanan angkutan umum berbasis jalan dan rel masih 19,43 persen. Padahal, ada potensi 7,97 juta pengguna angkutan umum (25,15 persen) di Jabodetabek berdasarkan perhitungan cakupan layanan 500 meter dari titik simpul angkutan umum.
Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan Sekretariat BPTJ Hananto Prakoso mengatakan, ekspansi rute angkutan berbasis jalan paling memungkinkan saat ini guna memaksimalkan potensi pengguna angkutan umum. Upaya ini tentu saja harus dibarengi dengan kebijakan lain seperti jalan berbayar dan parkir terbatas dengan tarif progresif supaya pengguna kendaraan pribadi berkurang sembari memperkuat layanan angkutan umum.
”BPTJ bertugas mengoordinasikan kebijakan. Belum punya cukup kekuatan sampai ke eksekusi sehingga butuh penguatan kelembagaan,” kata Hananto.
Penguatan kelembagaan ini, dipastikan Hananto, sudah ada dalam pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Kepala Divisi Integrasi Angkutan Transjakarta Gatot Indra pun setuju adanya lembaga pengelola transportasi Jabodetabek. Hal ini berkaca pada rencana operasionalisasi rute S41 Pondok Cabe ke Lebak Bulus yang mengalami hambatan di lapangan.
”Transjakarta sudah menjangkau 88 persen wilayah Jakarta. Bagaimana dengan Bodetabek yang warganya banyak beraktivitas di Jakarta. Maka, butuh lembaga yang bisa atur operator supaya Jabodetabek punya standar pelayanan minimal,” ucap Gatot.
Peneliti Litbang Kompas, Dewi Pancawati, menambahkan, adanya lembaga pengelola transportasi penting agar bisa mengintegrasikan transportasi Jabodetabek secara paripurna. Sebab, pengguna kendaraan pribadi ingin naik angkutan umum yang praktis, cepat, dan nyaman.
”Akses ke halte jauh. Apalagi, daerah tetangga belum sebagus Jakarta. Lembaga pengelola transportasi harus lebih tegas, bisa mendorong warga beralih ke angkutan umum,” ucap Dewi.
Suara warga
Sementara itu, pengguna angkutan umum menyetujui adanya lembaga pengelola transportasi agar tak ada ketimpangan layanan antara Jakarta dan Bodetabek.
Aan, salah satu pengguna kursi roda, mendambakan kualitas layanan transportasi yang sama antara Kota Depok dan Jakarta. Selama ini dia harus naik angkutan daring ke halte terdekat. Padahal, jika kerja sama antardaerah mulus, jaringan transportasi bisa menjangkau lebih banyak kawasan, termasuk permukimannya sehingga tak perlu naik angkutan daring.
”Disabilitas juga ingin ke mana-mana tanpa hambatan,” ujar Aan.
Rafif, pengguna angkutan umum lainnya, berharap adanya peningkatan layanan dari halte sampai kemudahan integrasi. Jika memungkinkan, ada standar atau fasilitas yang seragam.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah DKI Jakarta Yusa C Permana mengingatkan pentingnya koordinasi dengan kementerian/lembaga agar jangan hanya wacana, tetapi dapat terwujud. Apalagi, adanya wacana dewan kawasan Jabodetabekjur yang juga akan mengurusi transportasi dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta.
”Koordinasi dan komunikasi penting supaya lembaga ini bisa terbentuk. Termasuk di dalamnya ada indikator kinerja daerah dalam transportasi. Dari situ daerah lain bisa siapkan anggaran yang cukup, meskipun tidak sebesar Jakarta,” kata Yusa.