Bentuk Kota Aglomerasi, Ajak Bicara Pemda Se-Jabodetabekjur
RUU DKJ dinilai harus dikaji ulang. Sebab, tidak ada urgensi untuk terburu-buru dalam mengesahkan rancangan UU itu.
JAKARTA, KOMPAS —Perluasan kawasan aglomerasi Jabodetabekjur dinilai masih perlu dibahas ulang dengan melibatkan pemerintah daerah di setiap wilayahnya. Keputusan untuk terburu-buru membahas Rencana Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta atau RUU DKJ pun dipertanyakan.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam rapat Pleno pada Senin (18/03/2024) di Gedung DPR menyepakati keputusan tingkat I untuk membawa RUU DKJ ke Sidang Rapat Paripurna DPR RI.
Dalam draf RUU DKJ Pasal 51 Ayat (2) disebutkan, Kawasan Aglomerasi mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.
Baca juga: Di Balik Pembahasan Kilat RUU DKJ, Benarkah Ada Nama Gibran?
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan, secara teknis, RUU DKJ hanya membahas persoalan Jakarta. Menurut dia, RUU DKJ harus mencerminkan semangat kebersamaan dalam mengelola Jabodetabekjur, bukan hanya fokus pada Jakarta saja.
Nirwono belum mendengar jika pemerintah daerah di Bodetabekjur turut diajak berbicara terkait rencana ini. Ia memberi saran sebaiknya melibatkan suara pemimpin daerah dalam proses pengambilan keputusan.
Ia meminta dalam pembahasan RUU DKJ turut memasukkan daerah penyangga ke dalamnya. Nirwono bahkan punya pandangan agar RUU DKJ diganti menjadi RUU Jakarta Raya yang akan dipimpin satu kepala daerah.
Nirwono juga mempertanyakan perlunya Dewan Aglomerasi. Ini merujuk pada keberadaan Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur yang dinilainya tidak optimal. Menurut dia, setiap daerah memiliki cara pandang dan kepentingan berbeda-beda dalam mengatasi persoalan.
”Pengalaman BKSP, penyebab utamanya tidak berhasil adalah kepala daerah berbeda partai politik. Sering kali program dilakukan karana beda kepentingan,” kata Nirwono, Selasa (19/3/2024).
Ia mencontohkan dalam program pengendalian banjir. Jakarta meminta kawasan Puncak, Cianjur, masuk dalam kawasan konservasi air dan tanah agar pengendalian banjir diselesaikan dari hulu ke hilir. Namun, izin vila dan hotel masih banyak diberikan di kawasan tersebut.
”Ujungnya mereka (pemerintah daerah Cianjur) berpandangan ini untuk kepentingan PAD (pendapatan asli daerah). Beda cara pandang, beda kepentingan,” katanya.
Jika memang harus ada Dewan Aglomerasi, ia mengingatkan ada tiga hal yang harus dipenuhi. Pertama, Dewan Aglomerasi yang ditunjuk harus mendapatkan dukungan dari semua kepala daerah Jabodetabejur yang berbeda partai politik.
Kedua, Dewan Aglomerasi harus memahami persoalan Jakarta dan sekitarnya dengan benar. Selanjutnya, partai politik yang menjadi pendukung harus mendukung sepenuhnya.
”Tanpa tiga hal itu, tidak akan berjalan dengan baik,” ujarnya.
Baca juga: Hanya Dibahas Empat Hari, RUU Daerah Khusus Jakarta Sudah Siap Disahkan
Menurut Nirwono, masih banyak yang perlu dibereskan. Ia juga mempertanyakan apakah pemerintah sudah menyurvei warga Jakarta untuk mendapatkan gambaran Jakarta seperti apa yang diinginkan pada 20-30 tahun ke depan.
”Tidak ada urgensi untuk terburu-buru dalam mengesahkan RUU DKJ. Lebih baik RUU DKJ disahkan terlambat, tetapi matang; daripada buru-buru, tetapi masih banyak yang perlu diselesaikan,” katanya.
Nirwono berharap tidak ada alasan tersembunyi RUU DKJ ini terburu-buru disahkan. Meskipun Jakarta sudah tidak menjadi Ibu Kota, selama belum ada penerbitan keputusan presiden (keppres), seharusnya masih bisa dipertimbangkan.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai, bisa terjadi dualisme kekuasaan jika wakil presiden mengurus wilayah aglomerasi. Selain itu, jika wakil presiden ikut menangani wilayah aglomerasi, bisa saja terjadi konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
”Oleh karena itu, ya, lebih baik dicoret saja pasal itu. Kembalikan pengurusan kepada pemimpin provinsi dan kabupaten/kota di daerah aglomerasi itu. Enggak usah memakai pemerintah pusat,” ucap Ujang.
Ia juga khawatir jika pasal terkait wakil presiden ikut mengurus wilayah aglomerasi seolah sebagai upaya pemberian kekuasaan kepada Gibran Rakabuming Raka yang kini berpeluang besar menjadi wakil presiden.
Membingungkan
Adapun anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Gilbert Simanjuntak, mengatakan, RUU DKJ sangat membingungkan.
Ia bingung terkait penggunaan istilah aglomerasi. Menurut dia, aglomerasi artinya konsentrasi. Namun, konsentrasi seperti apa yang diharapkan tidak dijelaskan.
Padahal, Jabodetabekjur memiliki konsentrasi yang berbeda-beda. Misal, Jakarta konsentrasinya jasa, Tangerang industri, dan Puncak bahan makanan.
”Kalau konsentrasinya tentang tata kelola harus dikelola dengan badan yang memang mampu,” ujarnya.
Namun, jika menilik pengalaman negara lain yang melakukan pemindahan ibu kota, maka ibu kota lama umumnya bersifat otonomi agar dapat berkembang. Bukan dicengkeram oleh Dewan Aglomerasi.
Akan tetapi, RUU tersebut tak jelas mengatur status Jakarta apakah akan memiliki otonomi atau tidak. Selain itu, RUU DKJ juga tak membahas aspek ekonomi seiring dengan status baru Jakarta.
Di sisi lain, Lembaga Kajian Kebijakan Publik Daerah Urban Policy menyambut baik rencana pembentukan Dewan Kawasan Aglomerasi. Direktur Eksekutif Urban Policy Nurfahmi Islami Kaffah menilai, penanganan masalah di kawasan aglomerasi tidak bisa dibebankan secara parsial mengandalkan pemerintah daerah saja. Sebab, APBD kabupaten/kota penyangga Jakarta sangatlah terbatas.
Masyarakat Betawi tidak hanya Jakarta, tetapi ada juga di daerah penyangganya.
Meskipun istilah Dewan Kawasan Aglomerasi masih baru dalam tata kelola antarpemerintah daerah, kehadiran Dewan Kawasan Aglomerasi dinilai sangat urgen menuntaskan masalah lintas batas wilayah Jabodetabekjur yang selama ini kurang berjalan efektif.
Namun, ia mengatakan, ada tiga catatan serius tentang Dewan Kawasan Aglomerasi yang harus diperhatikan. Pertama, dukungan anggaran pusat; kedua, kejelasan program; dan, ketiga, dukungan pemerintah daerah kawasan Jabodetabekjur.
Kemudian, tokoh Betawi dari Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), Yahya Andi Saputra, menilai, Jakarta tidak bisa berdiri sendiri untuk mengatasi persoalan, termasuk dalam pelestarian budaya Betawi.
”Masyarakat Betawi tidak hanya Jakarta, tetapi ada juga di daerah penyangganya,” katanya. Awalnya, ia mengharapkan DPR melibatkan banyak pihak, termasuk budayawan Betawi, dalam pembahasan RUU DKJ. Hal ini agar bisa mengatur sinergi dalam pemajuan dan pembangunan kebudayaan Betawi melalui mekanisme pemetaan urusan dan kelembagaan.
”Apakah keputusan itu sesuai dengan kemauan masyarakat? Sebelum keputusan seharusnya melibatkan masyarakat. Nah, sekarang udah diputusin, masyarakat mau bilang apa?” ujarnya.
Aglomerasi hingga Cianjur pun dinilai terlalu jauh. Selain wilayahnya yang jauh, karakter kulturnya juga dinilai berbeda.
Gubernur dipilih rakyat
Sebelumnya, wacana penunjukan langsung Gubernur Jakarta dalam RUU DKJ juga menjadi polemik banyak pihak. Namun, pada Senin (18/3/2024), Panitia Kerja RUU DKJ akhirnya memutuskan gubernur dan wakil gubernur Jakarta tetap dipilih langsung oleh rakyat.
Nirwono menyetujui gubernur Jakarta dipilih oleh rakyat. Ia menilai, apabila seusai melepaskan status Ibu Kota dan menjadi DKJ, pemilihan gubernur dan wakil gubernur ditunjuk langsung presiden merupakan langkah yang buruk.
”Warga Jakarta masih bisa menentukan pilihannya. Jangan mengabaikan hak pilih warga Jakarta sebagai penghuni atau pemilik wilayah Jakarta,” lanjutnya.
Baca juga: Dalam 5 Menit, DPR dan Pemerintah Sepakat Gubernur Jakarta Tetap Dipilih
Lebih lanjut, Nirwono mengatakan bahwa penunjukan langsung kepala daerah oleh presiden akan berdampak buruk terhadap nasib demokrasi di Indonesia.
”Penunjukkan langsung gubernur dan wakil gubernur DKJ oleh presiden akan menjadi preseden buruk demokrasi, mencederai semangat demokrasi,” katanya.
Begitu halnya warga Jakarta Pusat, Renaldi Surya (26). Ia menilai masyarakat masih mampu menentukan pemimpin kotanya. Ia takut jika gubernur yang dipilih presiden hanya berdasakan kedekatan antara mereka, bukan kecakapan dalam memimpin.
Ayu Sarah (31) dari Jakarta Barat juga sependapat. Jika nantinya gubernur tidak sesuai dengan yang diharapkan rakyat, akan banyak persoalan yang muncul.
”Nanti, kalau ada masalah, pasti juga akan banyak demo. Untung masih tetap dipilih warga,” tuturnya.
Namun, ia juga ingin memastikan nantinya gubernur terpilih memang mengetahui seluk-beluk Jakarta. Bukan orang asing yang baru mengenal Jakarta.