Pemerintah Harus Jamin Kecakapan Dewan Aglomerasi Jabodetabekjur
Pemerintah diminta menjamin Dewan Aglomerasi lebih baik dari Badan Kerja Sama Pembangunan Jabodetabekjur.
JAKARTA, KOMPAS — Draf Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta terkait rencana pembentukan kota aglomerasi Jabodetabekjur menuai polemik. Pemerintah juga diminta untuk menjamin nantinya Dewan Aglomerasi lebih baik dari Badan Kerja Sama Pembangunan atau BKSP Jabodetabekjur.
Saat ini, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sedang mengebut pembahasan RUU DKJ. Dalam draf RUU DKJ Pasal 51 Ayat (2) disebutkan, Kawasan Aglomerasi mencakup minimal wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.
Dalam draf RUU DKJ juga dibahas Dewan Kawasan Aglomerasi yang bertugas untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi. Disebutkan juga bahwa Dewan Kawasan Aglomerasi akan dipimpin oleh Wakil Presiden.
RUU DKJ ini mendapat berbagai kritik dari berbagai pihak. Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, menuturkan, aglomerasi tidak seharusnya digunakan dalam konteks perkotaan. Ia menilai, Jakarta lebih tepat menjadi kawasan metropolitan.
Menurut dia, pemerintah juga seharusnya mengevaluasi BKSPJabodetabekjur yang tidak maksimal terlebih dahulu sebelum mengembangkan Dewan Kawasan Aglomerasi.
”Keberadaan Dewan Kawasan Aglomerasi justru berpotensi mengulang ketidakefektifan BKSP Jabodetabekjur yang pernah ada,” ujarnya, Senin (18/3/2024).
Dalam prosesnya, Nirwono menilai, BKSP tidak memiliki kewenangan dan tidak punya anggaran untuk mengeksekusi program-program terintegrasi yang ingin dijalankan sehingga tidak begitu berguna untuk mengintegrasikan Jakarta dan kota-kota satelit.
Nirwono pun mewanti-wanti agar Dewan Aglomerasi, jika nantinya benar-benar akan dibentuk, bisa mengambil pelajaran dari BKSP.
”Dewan Aglomerasi harus memiliki konsep anyar dengan langkah jitu untuk bisa mengintegrasikan Jakarta dan daerah sekitarnya yang masuk Provinsi Jawa Barat (Depok, Bogor, Bekasi, dan Cianjur) dan Provinsi Banten (Tangerang),” katanya.
Nirwono mendesak pemerintah menjamin Dewan Kawasan Aglomerasi nantinya bisa lebih baik dan mampu mengatasi persoalan Jakarta dan sekitarnya, seperti banjir, kemacetan lalu lintas, polusi udara, transportasi massal, hunian terjangkau, hingga tata ruang.
Nirwono pun meminta pemerintah dan DPR mendengarkan semua pihak, seperti pemerintah tingkat daerah, DPRD, perguruan tinggi, hingga pakar perkotaan, yang dapat membantu mengukur dampak RUU DKJ bagi warga Jakarta dan sekitarnya.
Baca juga: RUU Daerah Khusus Jakarta Dibahas, Pemerintah Tegaskan Gubernur Tetap Dipilih Langsung
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, juga tidak sepakat apabila Jakarta bergabung dengan wilayah penyangganya menjadi kawasan aglomerasi. Ia lebih sepakat dengan konsep megapolitan yang diusulkan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
”Apakah Jakarta harus menunggu pembangunan kota penyangganya? Kan Jakarta lebih dahulu maju daripada wilayah aglomerasi,” katanya.
Adapun, menurut Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Suci Fitriah Tanjun, RUU DKJ sarat muatan nepotisme. Siapa yang akan memimpin Indonesia akan berkuasa di Jakarta dan daerah di wilayah aglomerasinya. Hal itu sangat berbahaya bagi demokrasi dan masyarakat.
Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memilih siapa yang mereka percaya untuk memimpin Jakarta dan kawasan aglomerasi. Selain itu, RUU DKJ dinilai telah mengesampingkan partisipasi masyarakat.
”Dalam proses penyusunannya, masyarakat tidak dilibatkan secara bermakna. Dengan kata lain, RUU DKJ hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan yang dianggap tidak memiliki kepentingan,” katanya.
Sepakat
Sebelumnya, pemerintah dan DPR menyepakati perluasan wilayah aglomerasi Jakarta. Nantinya, daerah penyangga Jakarta mencakup Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur (Jabodetabekjur).
Kemudian juga akan dibentuk Dewan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur. Ketua dan anggotanya akan ditunjuk langsung oleh presiden.
Kesepakatan itu diambil dalam rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) di ruang rapat Badan Legislasi DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Dalam rapat tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memastikan Kota Jakarta akan diperluas menjadi kota aglomerasi. Hal tersebut menyusul status Jakarta usai tidak lagi menjadi Ibu Kota.
Adapun kota aglomerasi yaitu kota yang pembangunannya akan diikuti dengan kota-kota satelitnya. Tito mengungkapkan opsi kota aglomerasi ini dipilih karena tak perlu mengubah arah pembangunannya secara administrasi menjadi kota megapolitan atau metropolitan.
Dalam draf RUU DKJ telah disebutkan, Dewan Kawasan Aglomerasi ini akan dipimpin oleh Wakil Presiden. Tugasnya untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi.
Meski akan dipimpin wapres, Tito mengatakan, tidak berarti kebijakan pembangunannya akan diambil alih dari pemerintah daerah. Sebab, eksekusi kebijakannya tetap dilakukan oleh masing-masih pemda di wilayah yang termasuk aglomerasi.
Menurut Tito, alasan daerah Cianjur masuk dalam perluasan daerah aglomerasi Jabodetabekjur ini berkaitan dengan tata kelola banjir di Jakarta dan sekitarnya. Secara geografis, Jakarta dilintasi 13 sungai, termasuk Ciliwung, yang hulunya berada di perbatasan Kabupaten Bogor dan Cianjur kemudian menuju pantai utara Jakarta.
Baca juga: Ihwal Dewan Aglomerasi Jabodetabekjur
Cianjur dan Bogor berperan sebagai daerah resapan air yang berada di dataran tinggi. Hal ini sangat penting, terutama ketika terdapat potensi banjir dari daerah dataran tinggi.
Tito menegaskan pentingnya menjaga agar daerah Cianjur dan Bogor tidak mengalihkan fungsi daerah hijau sebagai permukiman. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap daerah rendah, seperti Jakarta dan Depok, saat terjadi hujan lebat.
”Daerah tinggi ini perlu tetap menjaga lingkungan dan daya serapnya. Maka, harus dibuat tata ruang daerah hijau dan tidak boleh jadi permukiman,” katanya.
Namun, Tito menegaskan bahwa aglomerasi itu bukan menyatukan daerah pemerintah atau administrasi pemerintahan, melainkan hanya sinkronisasi program yang nanti akan diserahkan kepada presiden untuk membentuk mekanisme strukturnya.
Dalam draf RUU DKJ telah disebutkan, Dewan Kawasan Aglomerasi ini akan dipimpin oleh Wakil Presiden. Tugasnya untuk mengoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan Dokumen Rencana Induk Pembangunan Kawasan Aglomerasi.
Pembentukan Dewan Aglomerasi ini dilakukan menunggu dari keputusan dari Presiden Jokowi dan selesainya Undang-Undang DKJ disahkan.
Adapun Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono kembali menegaskan bahwa RUU DKJ masih dalam pembahasan di DPR.
”Kita tunggu saja hingga pencabutan status Ibu Kota disahkan, pasti diberikan yang terbaik untuk Jakarta,” kata Heru, Senin (18/3/2024).