Dewan Kawasan Jabodetabekjur Kelola Problem Megakota secara Serius dan Fokus
Jabodetabekjur butuh dewan kawasan yang mengelola berbagai problem secara serius dan lebih fokus.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Adanya dewan kawasanJabodetabekjur dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta berpeluang memperkuat koordinasi vertikal/daerah dengan pusat dan horizontal/antardaerah tetangga. Peluang ini dapat berbuah manis apabila dewan kawasan berupa lembaga deliberatif dengan pimpinan yang andal atau ahli sesuai kebutuhan kawasan.
Jakarta akan jadi kota global selepas ibu kota negara yang akan pindah ke Nusantara di Kalimantan Timur. Salah satu upaya mewujudkan kota global ini dengan adanya dewan kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur—selanjutnya disebut Jabodetabekjur.
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta, dewan kawasan Jabodetabekjur bertujuan mengoordinasikan penataan ruang kawasan strategis nasional pada kawasan aglomerasi dan dokumen rencana induk pembangunan kawasan, serta mengoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan dalam rencana induk oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Intinya, dewan kawasan yang bakal dipimpin wakil presiden ini ada untuk mengatasi masalah banjir, transportasi dan kemacetan, sampah, dan sanitasi. Selain itu, menangani persoalan permukiman kumuh, pengembangan wilayah pesisir dan pantai utara, mitigasi bencana dan penataan kawasan hulu, serta penyediaan air baku dan air minum.
Menurut Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Publik Universitas Indonesia Irfan Ridwan Maksum, perlu penguatan Jakarta sebagai megakota dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa. Penguatan melalui dewan kawasan ini agar koordinasi vertikal dan horizontal makin efektif.
”Modelnya (dewan kawasan) sektor spesialis per bidang. Jangan lintas bidang, supaya implementatif,” ujar Ridwan, Senin (18/3/2024).
Chairman Klaster/Pusat Kajian DeLOGO-Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia ini menyarankan, dewan kawasan Jabodetabekjur berupa lembaga deliberatif. Lembaga ini harus mampu bergerak ke atas (vertikal) dan ke semua arah atau sekeliling kota Jakarta (horizontal).
Lembaga deliberatif menekankan pada peran partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan politik melalui dialog dan diskusi rasional. Ini berkaca dari adanya lembaga sejenis, tetapi kurang dukungan dari daerah, seperti Tim Koordinasi Penataan Ruang Jabodetabekpunjur Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Kementerian Perhubungan, dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Kementerian PUPR.
”Lembaga yang sudah ada memang mirip, tetapi tidak partisipatif. Hanya dari kementerian/lembaga, jadi tidak didukung dari bawah,” kata Ridwan.
Lembaga deliberatif
Lembaga deliberatif ini tersusun dari sektor pusat yang terkait dan daerah di kawasan aglomerasi, terutama Jakarta. Pimpinannya bersama, setara, dan andal atau ahli.
Lembaga yang sudah ada, menurut Ridwan, sulit mengadaptasi materi RUU Daerah Khusus Jakarta sehingga kemungkinan masuk sebagai perwakilan dalam lembaga deliberatif asalkan relevan atau bisa saja dilebur ke dalam dewan kawasan.
”Pimpinan lembaga deliberatif, komandannya setara, bukan wakil presiden. Bisa dari orang luar atau dari dalam daerah dan kementerian/lembaga terkait. Yang pasti ahli di bidang tersebut dan orang yang andal,” tuturnya.
Ridwan mengingatkan bahwa tak kalah krusial ialah mendesain dengan benar kelembagaan dewan kawasan secara lembaga deliberatif dan administratif. Basisnya karena kebutuhan Jakarta sebagai megakota. Jika perlu, RUU Daerah Khusus Jakarta menjadi RUU Daerah Khusus Megakota/Megalopolitan Jakarta.
”Lembaga deliberatif juga menjalankan koordinasi yang monoaspek. Bukan multiaspek,” kata Ridwan.
Koordinasi multiaspek, menurut dia, umumnya lemah dalam implementasi. Koordinasi semacam ini mirip yang dilakukan Badan Kerja Sama Pembangunan Jabodetabekjur. Lemah karena menempatkan otonomi setiap daerah tetap dipertahankan berjalan efektif.
Sebaliknya, koordinasi monoaspek bisa meningkat jadi lembaga kolaboratif. Dalam koordinasi ini tidak perlu wakil presiden atau kepala pemerintahan sebagai pimpinan dewan kawasan karena Jakarta butuh sarana untuk mengelola berbagai problem secara serius dan lebih fokus.
Pimpinan lembaga deliberatif, komandannya setara, bukan wakil presiden. Bisa dari orang luar atau dari dalam daerah dan kementerian/lembaga terkait. Yang pasti ahli di bidang tersebut dan orang yang andal.
Kebutuhan ini dapat dikelola dengan koordinasi monoaspek melalui satu sektor tertentu yang diisi berbagai pemangku kepentingan yang relevan.
Secara terpisah Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono kembali menegaskan bahwa RUU Daerah Khusus Jakarta masih dalam pembahasan di DPR. ”Kita tunggu saja hingga pencabutan status ibu kota disahkan, pasti diberikan yang terbaik untuk Jakarta,” kata Heru.