Anggaran dan Friksi Kewenangan Hambat Pembangunan Transportasi
Pembangunan konektivitas sistem transportasi massal terhambat anggaran dan kewenangan. Ketimpangan masih terjadi.
Upaya pembangunan konektivitas sistem transportasi massal antara Jakarta dan daerah penyangga masih terhambat anggaran dan friksi kewenangan. Padahal, membangun konektivitas angkutan massal terbilang mendesak mengingat kerugian akibat kemacetan terus bertambah.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Jakarta Transport Forum yang dihadiri oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan sejumlah pemangku kepentingan terkait di wilayah Jabodetabek, Kamis (7/3/2024).
Dalam sambutannya, Budi mengatakan, pengelolaan transportasi massal antara Jakarta dan daerah di sekitarnya sangatlah timpang. Jurang ketimpangan ini muncul karena adanya perbedaan kemampuan finansial.
”Pembangunan konektivitas transportasi massal terbaik di Indonesia memang ada di Jakarta karena daerah ini disokong anggaran yang cukup besar,” katanya.
Baca juga: Peningkatan Layanan Transportasi Umum Atasi Kemacetan Ibu Kota
Dengan kemampuan finansial yang kuat, lanjut Budi, Jakarta sudah memiliki sistem transportasi yang baik, bahkan terbaik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hanya tinggal pembenahan implementasi di lapangan yang perlu dipercepat mengingat pergerakan masyarakat perkotaan sungguhlah dinamis.
”Karena itu, perencanaan sistem transportasi di wilayah perkotaan tidak bisa statis, tetapi harus dinamis. Disesuaikan dengan pertumbuhan gaya hidup dan interaksi warga,” katanya.
Dengan keunggulan ini, Jakarta bisa dijadikan contoh bagi kota-kota lain yang baru dalam membangun sistem transportasi massalnya, terutama di daerah yang diprediksi akan mengalami lonjakan mobilitas penduduk.
Di sisi lain, Jakarta juga memiliki kewajiban turut membantu daerah lain dalam pengelolaan transportasi massal di daerah penyangga agar ketimpangan itu bisa dikikis.
Selain itu, ucap Budi, membangun konektivitas angkutan massal di wilayah Jabodetabek juga harus didasari komitmen pemerintah daerah/kota masing-masing, termasuk dalam pengalokasian anggaran dan kreativitas untuk menggaet pendanaan dari pihak luar APBD.
Sudah ada beberapa daerah yang menjalin kerja sama dengan pihak luar, bahkan internasional untuk membangun sistem transportasinya, seperti Bali yang bekerja sama dengan Korea, atau Medan yang sudah bekerja sama dengan Bank Dunia.
Peran pemerintah pusat dalam membangun sistem transportasi adalah menjadi stimulator. Dalam beberapa tahun ke depan, jika sudah dianggap mapan, tentu secara mandiri pemda bisa membiayai operasional moda transportasinya sendiri.
Dengan anggaran hanya Rp 4 triliun per tahun, pemerintah sulit membangun konektivitas transportasi yang optimal.
Menurut Budi, jika pemda memiliki komitmen untuk mengembangkan transportasi umum di wilayahnya, tentu akan selalu ada jalan. Ia mencontohkan untuk membangun sistem transportasi untuk satu koridor butuh sekitar Rp 13 miliar.
”Dana yang tentu bisa dialokasikan jika memang ada kemauan,” ujar Budi.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan dan Pengembangan Penelitian Daerah (Bappeda) Kota Depok Dadan Wihana mengakui pihaknya mengalami kesulitan untuk membangun sistem transportasi yang optimal karena terkendala anggaran.
”Dengan anggaran hanya Rp 4 triliun per tahun, pemerintah sulit membangun konektivitas transportasi yang optimal. Karena itu, kami butuh kolaborasi dengan pemerintah kota Jakarta,” kata Dadan.
Apalagi, sekitar 300.000 warga Depok sering beraktivitas di Jakarta. Mereka turut berkontribusi membangun pertumbuhan ekonomi di Jakarta. Sayangnya dari jumlah itu, hanya 100.000 orang yang menggunakan angkutan transportasi massal.
”Karena memang moda transportasi yang tersedia belum sebanding dengan kebutuhan,” ucap Dadan.
Selain itu, pihaknya juga terkendala dengan kewenangan. Dalam pengembangan sistem transportasi, belum tertuang secara jelas apa yang menjadi kewenangan Pemkot Depok, Pemprov Jabar, Pemprov DKI Jakarta, dan Kementerian Perhubungan. Situasi inilah yang membuat pengembangan sistem transportasi di Depok masih berjalan lambat.
Menjawab hal itu, Kepala Bappeda DKI Jakarta Atika Nur Rahmania mengatakan, membangun konektivitas dan integrasi transportasi kota yang berkelanjutan menjadi prioritas utama dalam pembangunan sistem transportasi di Jakarta. Itu karena masalah kemacetan sudah menjadi isu strategis yang terus dicari jalan keluarnya.
Atika menjelaskan, kemacetan di Jakarta menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi, bahkan kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 100 triliun per tahun.
Sayangnya, walau sudah membangun sistem transportasi sedemikian rupa, nyatanya jumlah warga yang menggunakan angkutan umum dalam beraktivitas masih kurang dari 20 persen, tepatnya 18,86 persen.
Data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta menunjukkan, dari 21,7 juta total perjalanan per hari pada tahun 2023, hanya 4,1 juta yang menggunakan transportasi publik.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2019 menunjukkan 72 persen warga yang bekerja di wilayah Jakarta dan tinggal di luar Jakarta (komuter) memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Baca juga: 70 Persen Warga Jakarta Ditargetkan Beralih ke Transportasi Umum
Sebanyak 91,5 persen memutuskan untuk tidak beralih menggunakan transportasi umum karena waktu tempuh yang lama, tidak praktis, dan jauhnya akses ke kendaraan umum. Karena itu, kerja sama dengan daerah penyangga dibutuhkan.
Diperlukan regulasi yang mampu memayungi kerja sama tersebut sehingga dapat berjalan lebih dinamis.
”Jangan sampai kerja sama ini terkendala masalah administrasi daerah. Sebab, permasalahan transportasi bersifat dinamis,” ucapnya.
Staf Ahli Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Leonardo Adypurnama Alias Teguh Sambodo menuturkan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Bappenas menempatkan pembangunan angkutan umum massal perkotaan di enam wilayah, termasuk Jakarta, sebagai proyek mayor.
Proyek ini akan berlanjut menjadi 20 kota dalam RPJMN 2025-2029, khususnya dalam rangka pertumbuhan ekonomi dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Strategi percepatan pembangunan angkutan umum massal perkotaan itu melingkupi perencanaan mobilitas terpadu, pengembangan kelembagaan transportasi metropolitan, dan penguatan integrasi sumber pendanaan.
”Agar rencana ini terwujud, perlu kolaborasi tidak hanya antarpemda, tetapi juga antarkementerian, akademisi, dan swasta,” ucapnya.