Pejalan Kaki Masih Berebut Ruang di Trotoar
Trotoar yang aman dan nyaman masih menjadi mimpi panjang di Ibu Kota. Di pusat kota, pejalan kaki masih berebut ruang.
Keberadaan trotoar yang aman dan nyaman menjadi dambaan warga Ibu Kota. Namun, mimpi itu sepertinya akan lebih lama terwujud karena hingga sekarang masih banyak titik yang belum tersentuh pembangunan trotoar yang memadai. Para pejalan kaki harus beradu ruang dengan pedagang dan tukang parkir liar.
Dengan hati-hati Idham (33) memikul dua kaleng kerupuk berisikan dagangannya, yakni gulali rambut nenek, saat di sekitar kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Untuk memasarkan produknya, warga Kampung Melayu, Jakarta Timur, itu mesti berjalan kaki sekitar 10 kilometer per hari.
Namun, pekerjaan itu bukan tanpa kendala. Di sepanjang rute dagangannya, ada beberapa titik yang ia anggap ”angker” karena risikonya yang cukup tinggi. Terutama di area Manggarai hingga Pasar Rumput, Jakarta Selatan.
Di rute itu, trotoar yang tersedia tak lebih dari 1,5 meter. Itu pun diokupasi para pedagang barang bekas. Terkadang, ia harus berjalan di bahu jalan lantaran semua trotoar sudah diokupasi. Beberapa sepeda motor pun menggunakan trotoar untuk menghindari kepadatan lalu lintas di jalan. Tak heran, kerap kali ia diklakson dari belakang oleh para pengendara yang tidak sabar menunggu langkah Idham.
”Terkadang saya waswas berjalan di trotoar. Takut diserempet kendaraan. Padahal, trotoar kan haknya pejalan kaki,” ujar Idham yang sudah 17 tahun berjualan gulali rambut nenek di kawasan itu, Minggu (3/3/2024).
Baca juga: Sangat Sedikit Ruas Jalan di Jakarta yang Punya Trotoar
Hanif (24), pengguna angkutan umum di Jakarta, merasakan hal serupa. Baginya, trotoar yang aman di Jakarta hanya di jalan-jalan protokol seperti di Jalan Sudirman-Thamrin. Sementara yang lain belum begitu aman dan nyaman.
”Banyak trotoar yang digunakan untuk berdagang dan lahan parkir,” katanya.
Ia meminta agar pemerintah tegas menertibkan ”penjajah trotoar” yang masih bebas berkeliaran. Ini demi kenyamanan para pejalan kaki.
”Kalau pejalan kaki sudah nyaman, otomatis pengguna kendaraan umum pasti akan bertambah,” kata Hanif yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta ini.
Pantauan kondisi trotoar di Jakarta, Minggu, cukup beragam. Ada yang sangat terawat, ada yang cukup terawat, dan ada pula yang tidak terawat atau telantar. Untuk yang sangat terawat terlihat di Jalan Sudirman-Thamrin yang sangat nyaman digunakan. Dengan lebar sekitar 3 meter, pengguna trotoar merasa aman. Pedagang liar pun sangat jarang terlihat.
Namun, ada pula trotoar yang telantar. Salah satunya terlihat di depan apartemen Kalibata City. Di sana trotoar tidak digunakan sebagaimana mestinya. Pedagang kaki lima seakan berkuasa. Tidak ada ruang lagi untuk pejalan kaki untuk menikmati haknya.
Menjamurnya pedagang di kawasan itu tidak lepas dari adanya bisnis liar yang dijalankan oleh salah satu organisasi masyarakat. IW, salah satu anggota organisasi masyarakat tersebut, mengaku menyewakan lahan untuk berdagang di trotoar.
Baca juga: Pasca-penataan, Trotoar di Jakarta Tetap Belum Ramah Pedestrian
Untuk satu lapak, ia mengenakan tarif Rp 2,5 juta untuk awal. Adapun untuk setiap bulan, ia mengenakan tarif Rp 300.000. ”Banyak yang mau berdagang di sini karena selain ada penghuni apartemen, kawasan ini dekat dengan Stasiun Duren Kalibata,” kata IW.
Tidak hanya untuk lahan berdagang, trotoar juga digunakan untuk lahan parkir liar 24 jam. Kendaraan yang terparkir di sana nyaris tak pernah sepi.
IW menyadari bahwa berjualan di trotoar tidak diperbolehkan. Namun, karena besarnya pasar, bisnis liar itu pun tetap berjalan.
Jalur sepeda
Setali tiga uang, jalur sepeda pun tidak kalah merana. Para pengguna sepeda pun tidak bisa leluasa menggunakan haknya. Hal ini diakui oleh Suryadi (70) Ketua Komunitas Sepeda Gojes (Gowes Jelas Sehat).
Menurut dia, hak pesepeda menggunakan jalur sepeda terkadang terjajah oleh para pengendara sepeda motor yang juga melewati jalur yang sama. ”Walau sudah berada di jalur sepeda, kami juga harus berhati-hati,” katanya.
Pesepeda praktis hanya bisa aman ketika berjalan saat hari bebas kendaraan bermotor (HBKB). Oleh karena itu, momen HBKB tidak pernah ia lewatkan. ”Selain untuk konvoi santai, kami juga memanfaatkan HBKB untuk bersilaturahmi,” katanya.
Walau belum benar-benar aman, Suryadi beranggapan jalur sepeda di Jakarta masih jauh lebih baik dibandingkan kota lain di Indonesia. Masih banyak kota yang belum memiliki jalur sepeda. Kalaupun ada, jaraknya masih lebih pendek dibandingkan Jakarta.
Mengacu pada informasi di laman Dinas Bina Marga DKI Jakarta, pemerintah provinsi melanjutkan komitmen revitalisasi trotoar pada 2024. Trotoar bakal dilengkapi tiang pembatas trotoar(bollard), tempat duduk, lampu penerangan jalan umum, dan ubin jalur pemandu disabilitas netra (guiding block).
Jika fasilitas pendukung tidak nyaman, bagaimana warga mau beralih ke angkutan umum.
Trotoar yang bakal direvitalisasi Dinas Bina Marga DKI Jakarta berlokasi di Jalan Taman Jatibaru-Jalan Jatibaru Bengkel sekitar 400 meter, Jalan Raya Duri Kosambi sekitar 2.100 meter (dua sisi), Jalan HR Rasuna Said sekitar 3.000 meter, dan Jalan Letjen MT Haryono sekitar 3.500 meter. Selain itu, suku dinas bina marga di lima kota administrasi juga mengerjakan revitalisasi trotoar, masing-masing menangani ratusan hingga ribuan meter.
Hananto Krisnawardono, Kepala Bidang Kelengkapan Jalan Dinas Bina Marga DKI, mengatakan, Pemprov DKI Jakarta pada 2023 telah merevitalisasi trotoar seluas 55.000 meter persegi dengan panjang total 11 km.
”Antara lain di kawasan Blok M untuk mendukung KTT ASEAN, di Velodrome, di Jalan Mangga Dua, kemudian Jalan Matraman Raya,” ujarnya.
Terkait panjang jalan dan panjang trotoar di Jakarta, Hananto menyebut sedang mencari datanya terlebih dahulu. Meski demikian, berdasarkan pemberitaan Kompas.id, 4 Januari 2023, revitalisasi trotoar di Jakarta mencapai 30 persen dari target pembenahan trotoar sepanjang 2.600 km.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga berpendapat, pembangunan trotoar di Jakarta belum memiliki pedoman yang jelas. Pedoman yang dimaksud adalah rencana induk fasilitas pejalan kaki yang dituangkan dalam peraturan daerah. Hal ini penting sebagai tolok ukur pembangunan.
Pemerintah selama ini dinilai belum memiliki pegangan yang jelas terkait pembangunan trotoar. Semua masih terpaku atas usulan dari suku dinas di setiap kota. ”Seharusnya suku dinaslah yang harus mengikuti aturan dari pemprov, bukan sebaliknya,” katanya.
Pembangunan fasilitas umum, seperti trotoar, halte, dan jembatan penyeberangan orang, idealnya didasari visi utama untuk memudahkan warga mengakses angkutan umum atau untuk pengembangan kawasan. ”Jika fasilitas pendukung tidak nyaman, bagaimana warga mau beralih ke angkutan umum?” ujarnya.
Nirwono mencontohkan kawasan Sudirman-Thamrin yang memiliki trotoar, JPO, dan Halte yang baik. Itu tidak lepas dari terintegrasinya moda transportasi umum baik LRT, MRT, KRL, dan BRT Transjakarta. Sayangnya, mumpuninya, fasilitas umum di pusat kota belum merata hingga ke pinggiran Jakarta.
Jika rencana induk sudah diterbitkan, pemerintah akan lebih mudah menentukan skala prioritas. Selain itu, keberadaan rencana induk juga menjadi landasan bagi pemerintah untuk mengajak pihak swasta berkontribusi dalam pembangunan fasilitas umum di Jakarta melalui skema pungutan penambahan koefisien lantai bangunan (KLB).
Skema ini sudah pernah dilakukan pada masa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama. Dengan begitu, pemerintah mengajak serta swasta untuk bertanggung jawab dalam pembangunan kota.
”APBD pun bisa dihemat atau dialihkan untuk pembangunan trotoar baru di daerah pinggiran,” ujar Nirwono.
Perbaikan atau pembangunan trotoar yang mengacu pada rencana induk nyaris terwujud pada 2022 melalui rencana induk jaringan utilitas. Pembangunan trotoar seyogianya dibarengi dengan pembangunan lainnya, seperti penanaman jaringan utilitas dan pembangunan saluran air.
Namun, draf itu terhenti karena pergantian kepala dinas bina marga. Inilah yang menjadi salah satu kendala, sebuah kebijakan bisa tiba-tiba hilang ketika pergantian kekuasaan. ”(Oleh) Karena itu, political will menjadi faktor krusial,” ujarnya.
Pembangunan fasilitas umum yang berkualitas menjadi dambaan setiap warga Jakarta. Semua harus didasari atas satu visi, yakni keselamatan penggunanya.