Tipu Daya Melenakan Anak-anak Korban Video Pornografi
Interaksi antara lima tersangka dan delapan anak laki-laki di bawah umur itu dilakukan intens sekitar tiga bulan.
Peredaran video pornografi anak di bawah umur kembali menjadi perbincangan publik setelah Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta mengungkap kasus pornografi yang melibatkan delapan anak sebagai obyek pelampiasan seksual jaringan internasional pada Minggu (25/2/2024). Pelaku mendekati korban dengan cara mengajak main game online bersama dan memberi sejumlah hadiah.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Reza Fahlevi mengatakan, interaksi antara lima tersangka dengan delapan anak laki-laki di bawah umur itu dilakukan intens sekitar tiga bulan. Awalnya, mereka tidak saling mengenal. Perkenalan dilakukan melalui grup yang membahas game online di media sosial.
Seorang pelaku berinisial HS merupakan dalang dari kegiatan menyimpang ini. HS mencari sendiri target yang akan menjadi korban, lalu mengenalkan korban kepada keempat temannya.
Mulanya, korban dan pelaku (HS) memiliki akun media sosial yang tergabung dalam satu komunitas grup gim daring. Kemudian, HS mencoba menjalin komunikasi dengan mengajak korban mainbareng (mabar) game online Free Fire dan Mobile Legends.
Setelah main bareng, HS mulai sering mengajak korban berinteraksi melalui kolom chat. Pelaku juga memberikan gift, chip, dan skin kepada korban untuk menunjang permainan pada game online.
Baca juga: Lewat Gim Daring, 8 Anak Jadi Korban Video Pornografi
”Mereka main game bareng (mabar), berinteraksi melalui chat, memberikan gift, lalu terakhir mendatangi ke korban dengan dalih janjian mabar,” kata Reza, Selasa (27/2/2024).
Saat mendatangi korban, HS kerap memberikan sejumlah uang, barang, hingga makanan untuk mendapat kepercayaan dari korban dan orangtua korban. Bahkan, para korban juga menganggap HS sebagai sosok kakak yang baik hati dan tidak pernah kasar terhadap korban.
Korban dan tersangka tak hanya sekali bermain game online bareng di kamar rumah korban selayaknya teman. Setelah merasa semakin dekat, para korban diiming-imingi akan diberikan akun game online, uang berkisar Rp 200.000-Rp 500.000, serta handphone dengan syarat mau melakukan tindakan seksual.
Para korban akhirnya mau melakukan tindakan seksual dengan pelaku, seperti bersentuhan alat kelamin hingga melakukan persetubuhan. HS juga menawarkan korban kepada empat pelaku lainnya untuk menggunakan anak-anak tersebut sebagai partner dalam melakukan kegiatan homoseksual tersebut. Bahkan, korban pun sadar bahwa tindakan tersebut direkam.
Tidak hanya direkam, bahkan ketika sedang melakukan aktivitas seksual tersebut, para pelaku beberapa kali melakukan video call melalui salah satu aplikasi (Telegram) dengan klien yang berasal dari luar negeri. Pelaku juga mengirimkan video-video anak tersebut kepada kliennya.
Saat mendatangi korban, HS kerap memberikan sejumlah uang, barang, hingga makanan untuk mendapat kepercayaan dari korban dan orangtua korban. Bahkan, para korban juga menganggap HS sebagai sosok kakak yang baik hati dan tidak pernah kasar terhadap korban.
Video adegan seksual tersebut diperjualbelikan di grup percakapan media sosial lintas negara (Telegram) dengan harga 50-100 dollar AS per konten. Dari hasil penjualan konten pornografi anak ini, pelaku mendapat keuntungan lebih kurang Rp 100 juta.
Proses produksi video tersebut dilakukan di sejumlah tempat, mulai dari kamar korban hingga hotel di kawasan Kota Tangerang. Video-video pornografi itu berdurasi 1 hingga 2 menit.
Baca juga: Menjaga Anak dari Bahaya Predator yang Incar ”Mangsa” Melalui Gim Daring
”Tersangka lebih dari tiga kali melakukan tindakan asusila terhadap masing-masing korban,” tutur Reza.
Delapan korban dengan inisial MAH, FM, RN, NF, HS, S, AFB, dan DP ini berusia rentang dari 12-16 tahun. Semuanya merupakan warga Jakarta Barat. Beberapa korban bahkan ada yang saling kenal dan saling bertetangga. Adapun tersangka sebenarnya juga berencana menyasar teman-teman korban yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumah korban.
Kejahatan berulang
Peristiwa pelecehan seksual ini dilakukan dalam kurun waktu panjang, antara 2022 hingga terungkap pada Agustus 2023. Terungkapnya kasus jual-beli video pornografi ini bermula dari informasi Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat kepada Kepala Kepolisian Resor Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Besar Polisi Roberto Gomgom Manorang Pasaribu.
Lembaga itu menemukan hardisk yang isinya ribuan foto dan video CSAM (child sexual abuse material) atau pornografi anak. Polres Bandara Soekarno-Hatta pun akhirnya bekerja sama dengan FBI dalam mengungkap kasus tersebut. Pihak FBI juga menginformasikan telah menangkap tiga warga negara Amerika terkait video tersebut.
Saat ini, lima tersangka warga negara Indonesia kasus pornografi anak jaringan internasional tersebut tengah dikurung di Lapas Pemuda Kelas II A Tangerang. Pelaku menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Tangerang sejak penyerahan tahap II barang bukti dan tersangka.
Kelima pelaku ialah Handiki Setiawan bin Sim Giok Kho atau HS (26), Muhammad Ammar Abdurrahman bin Budi Mulyono atau MA (26), Asep Hermansyah bin Adar atau AH (31), Nizar Zairin bin Ansor atau NZ (32), dan Kevin Ramli alias Yanto Ramli atau KR (29).
HS berperan mencari korban, memfoto dan merekam, menjual video, mengirim foto dan video kepada orang lain, menawarkan anak korban kepada orang lain, serta melakukan pencabulan terhadap anak korban dan menyediakan fasilitas.
Baca juga: Delapan Anak Korban Video Pornografi Masih Trauma dan Cemas
Kemudian, MA berperan dalam merekam, mengirim foto dan video kepada orang lain, menawarkan anak korban kepada orang lain, melakukan pencabulan kepada anak korban, dan menyediakan fasilitas. Sementara AH membeli video pornografi dari HS dan MA, serta melakukan pencabulan terhadap anak korban. Lalu, KR dan NZ juga berperan membeli video pornografi anak dari HS, melakukan pencabulan terhadap anak korban, dan menyediakan fasilitas.
Para tersangka dijerat pasal berlapis. Penyidik telah berkoordinasi dengan Kejaksaan Negeri Tangerang dan berkas dinyatakan sudah lengkap.
Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), hingga UU Perlindungan Anak. Ancaman hukuman pidana penjara minimal 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara.
Kasus ini bukan kali pertama terjadi. Para tersangka mulai melakukan perbuatan seksual kepada anak di bawah umur sejak tahun 2021 hingga 2023.
Trauma
Pelaksana Harian Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Rini Handayani menuturkan, pihaknya telah bekerja sama dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Tangerang dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang untuk mengecek kondisi fisik dan psikologis korban.
UPTD PPA Kota Tangerang telah melakukan pengecekan dan kunjungan ke rumah para korban serta melakukan pendampingan dalam proses hukum berita acara pemeriksaan (BAP) kepada para korban.
Saat ini, delapan korban yang masih anak-anak itu berada di rumah masing-masing. Semua korban yang berdomisili di Jabodetabek itu mengalami trauma akibat kasus pembuatan video porno tersebut.
Dari hasil pendampingan, ditemukan adanya kecenderungan anak merasa cemas dan kurang percaya diri. Terlebih, usia anak korban tengah memasuki tahap remaja awal yang belum memiliki kematangan secara emosional dan sosial.
”Para korban mudah dirayu, dibujuk, dan dipengaruhi oleh para pelaku karena mereka memiliki tingkat inteligensi yang cenderung rendah,” kata Rini.
Rini menegaskan, pihaknya akan terus mengawal jalannya proses peradilan dan mendukung penuh segala proses sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundangan yang dilakukan aparat penegak hukum.
Adapun kasus pornografi yang melibatkan anak di Indonesia ternyata terus bertambah. Berdasarkan data Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), kenaikan kasus terus terjadi sejak 2019 lalu.
Pada 2019, anak korban prostitusi atau eksploitasi seksual komersial tercatat sebanyak 106 anak. Lalu pada 2020 terdapat 133 anak. Pada 2021 jumlahnya naik menjadi 276 anak. Pada 2022 sempat turun menjadi 216 anak, tetapi pada 2023 jumlahnya meningkat menjadi 260 anak.
Konselor dari Akara Perempuan, Siti Hajar Rahmawati, mengatakan, akan ada perubahan perilaku setelah anak mengalami kekerasan seksual. Hal ini disebabkan gangguan mental akibat kekerasan seksual yang dialami.
Kasus ini bukan kali pertama terjadi. Para tersangka mulai melakukan perbuatan seksual kepada anak di bawah umur sejak tahun 2021 hingga 2023.
Gangguan mental ini akan menghambat anak untuk beraktivitas sehari-hari, seperti bersekolah, bermain bersama teman, dan anak menjadi pemurung atau depresif.
Jika kasus diketahui, anak mengalami masalah sosial karena mengalami stigma negatif dari masyarakat. Karena itu, perlu pendampingan intensif kepada korban, seperti pendampingan psikologis, hukum, dan medis. Orangtua dan keluarga juga merupakan kunci utama untuk melakukan pendampingan.