Relasi Kuasa Jadi Pemicu Pelecehan Seksual di Kampus
Ketimpangan relasi kuasa menjadi salah satu penyebab munculnya kejahatan seksual di institusi pendidikan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketimpangan relasi kuasa menjadi salah satu penyebab munculnya kejahatan seksual di institusi pendidikan. Penegakan hukum tanpa tebang pilih pada pelaku pelecehan menjadi cara ampuh menekan risiko tersebut.
Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel saat dihubungi, Senin (26/2/2024), berpendapat, munculnya kekerasan seksual di dalam institusi pendidikan disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa. Karena ketimpangan inilah yang membuat banyak korban pelecehan seksual memilih untuk tidak melaporkan apa yang telah mereka alami.
Selain itu, pelecehan seksual juga dipandang sebagai aib yang tidak pantas untuk diumbar. Jika ini diketahui oleh banyak orang, korban juga mengalami viktimisasi sekunder.
Di sisi lain, perkara pelecehan seksual merupakan delik aduan yang tentu harus didukung dengan bukti yang cukup. Nyatanya, mengumpulkan bukti kejahatan seksual tidak selalu mudah. Banyak kendala yang dihadapi.
Itu karena kejahatan seksual biasanya dilakukan di tempat tertutup, tidak ada kamera pemantau (CCTV), tanpa saksi, dan tidak ada otopsi. Tak heran, pada akhirnya, kasus ini diselesaikan di luar ranah hukum pidana.
Karena itu, Reza beranggapan, keberanian korban untuk melapor menjadi pertanda bahwa ia memiliki resiliensi yang tentu harus terus selalu dipupuk. ”Karena butuh waktu lama bagi korban untuk mengumpulkan keberanian untuk membuat laporan,” kata Reza.
Menurut dia, upaya pencegahan harus dijalankan secara lebih komprehensif baik promotif maupun preventif. Untuk preventif, bisa dimulai dengan pencanangan zero tolerance terhadap kejahatan seksual, baik pada laki-laki maupun perempuan. ”Setiap elemen di kampus juga harus diedukasi tentang aturan yang mengikat, dan jika melanggar, akan diberi sanksi,” kata Reza.
Di sisi lain, aparat penegak hukum juga harus sigap menangani kasus ini. Sebab, menurut Reza, efek jera tidak hanya muncul dari seberapa berat sanksi yang diberikan, tetapi juga seberapa cepat kasus itu dituntaskan. ”Proses hukum terkait pelecehan seksual harus dijalankan dengan cepat dan ajek,” kata Reza.
Terbaru, dugaan pelecehan seksual menjerat Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Hendratno yang dilaporkan ke polisi oleh RZ dan DF, masing-masing ke Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Jumat (12/1/2024) dan ke Bareskrim Polri pada Senin (29/1/2024). Edie diduga melecehkan dua pegawainya itu dalam kurun waktu berbeda, setahun yang lalu.
Melalui kuasa hukumnya, Edie membantah laporan dugaan pelecehan seksual dirinya terhadap dua pegawai kampus tersebut. Pihaknya menghormati proses hukum dan berharap penanganannya profesional.
Pengacara Edie, Raden Nanda Setiawan, memastikan dugaan pelecehan seksual itu tidak benar atau tidak pernah terjadi. Pihaknya meminta asas praduga tak bersalah dijunjung tinggi. Apalagi, laporan dugaan pelecehan seksual itu terjadi setahun yang lalu.
”Terlalu janggal jika baru dilaporkan saat ini, dalam proses pemilihan rektor baru. Kami mengikuti proses atas laporan tersebut, percayakan kepada kepolisian untuk memproses secara profesional,” kata Nanda, Minggu (25/2/2024).
Selain di Universitas Pancasila, kasus pelecehan seksual juga terjadi di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Sumatera Barat. Dua mahasiswa diduga melecehkan 12 mahasiswa di kampusnya. Pelaku saling berkirim foto dan video korban yang tidak pantas.
Kasus ini pertama kali terungkap dari cuitan yang viral di media sosial. Terduga pelaku adalah sepasang kekasih berinisial NB (20) dan HJ (19), yang juga mahasiswa FK Universitas Andalas.
Pengamat kebijakan pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, berpendapat, kasus pelecehan seksual di kampus seakan menjadi anomali. ”Tentu tindakan ini bisa mencoreng nama baik lembaga pendidikan. Karena itu, perlu ada upaya pencegahan yang melibatkan semua pihak,” kata Cecep.
Regulasi yang telah dibuat itu harus didukung dengan sistem pengawasan yang memadai, termasuk dukungan dari seluruh pemangku kepentingan baik di internal maupun di eksternal kampus. ”Tentu regulasi ini juga harus didukung dengan fasilitas dan anggaran yang memadai agar bisa berjalan dengan baik,” katanya.
Misalnya dalam penyediaan fasilitas, kata Cecep, lebih baik semua akses kampus yang berkaitan dengan kegiatan perkuliahan diawasi oleh kamera pemantau, terkecuali sejumlah ruang privat. Dengan begitu, risiko pelecehan seksual di dalam kampus bisa diminimalkan.
Di samping itu, dengan adanya CCTV, tentu akan mempermudah korban memperoleh barang bukti jika benar pelecehan itu terjadi. ”Perlu dibentuk satgas untuk memastikan korban yang mengalami pelecehan seksual tidak takut untuk melapor dan mendapatkan perlindungan,” katanya.
Sebenarnya, setiap kampus sudah memiliki sistem untuk mengantisipasi segala bentuk pelecehan seksual, terutama regulasi. Hanya saja, perlu ada kajian lebih lanjut apakah sistem yang dibuat itu sudah memadai atau berjalan dengan baik atau tidak.
”Tidak boleh ada tebang pilih dalam penanganan kasus pelecehan seksual di kampus. Kalaupun terduga pelaku memegang struktur jabatan tertentu, harus dinonaktifkan sementara agar tidak ada benturan kepentingan. Namun, jika itu tidak terbukti, harus ada pemulihan nama baik. ”Semua demi kebaikan bersama lembaga pendidikan,” ujarnya.