Gaji yang tak sebanding lurus dengan tingginya kebutuhan harian membuat warga semakin menjerit.
Oleh
AGUIDO ADRI, SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja kelas menengah harus menekan biaya belanja makanan agar bisa menghemat pengeluaran. Gaji yang tak kunjung naik dan tingginya harga kebutuhan pokok membuat warga semakin terjerembab dalam jurang kemiskinan.
Harga sembako yang belakangan terus melonjak membuat pekerja kelas menengah menjerit. Penghasilan atau gaji tak sebanding dengan tingginya harga kebutuhan harian.
Juliana Fauziah (32), yang berpenghasilan Rp 6,5 juta per bulan, sangat terdampak dengan kenaikan harga sembako, terutama beras. Ia tak habis pikir dengan harganya yang terus melambung. Saat hendak membeli beras di toko ritel, harganya bisa mencapai Rp 100.000 untuk 5 kilogram. Melihat harga tersebut, ia urung membeli.
”Saya mengecek di pasar tradisional, harga beras tak masuk akal, sekilo Rp 17.000-Rp 18.000. Gimana mau menghemat? Sekarang yang penting bisa makan dulu. Mau gimana lagi, tetap harus beli beras untuk bekal,” ujar Juliana kesal, Senin (26/2/2024).
Bukannya menghemat untuk biaya makan, Juliana justru harus mengeluarkan uang lebih banyak. Padahal, masih banyak kebutuhan lainnya yang harus ia perhatikan agar tetap bisa bertahan.
”Gaji segitu-gitu saja, tetapi biaya kebutuhan hidup terus naik. Perusahaan dan pemerintah apa enggak mikir hidup kita. Saya sehari sudah batasi uang makan Rp 10.000, maksimal 20.000. Itu untuk dua kali makan. Mau turunin sampai berapa biar bisa hemat,” ujarnya.
Perempuan asal Cirebon itu pun terpaksa berutang kepada teman-temannya. Hal itu membuatnya semakin terbebani.
Bahkan, sejak November tahun lalu, ia tak lagi mengirim uang ke orangtua untuk membantu biaya pendidikan adiknya yang sedang kuliah. Dulu, dalam sebulan, ia selalu mengirim Rp 1,2 juta.
”Mungkin pulang kampung, tetapi saya takut apakah nanti dapat pekerjaan yang layak di sana. Saya merantau untuk memperbaiki hidup, eh, malah enggak baik-baik,” ucapnya.
Juliana tak sendiri. Peneliti di salah satu lembaga swadaya masyarakat di Jakarta, Lilis Shofiyanti (31), menyebut bahwa salah satu pos pengeluaran terbesarnya adalah untuk makan. Dalam sebulan, ia bisa menghabiskan Rp 1,5 juta-Rp 2 juta untuk makan. Itu pun sudah sambil berhemat.
”Biaya makan aku beri kisaran Rp 15.000-Rp 20.000 untuk sekali makan. Aku bawa minum sendiri saat makan di luar untuk mengurangi biaya minum. Kadang-kadang ingin jajan kopi atau minuman masa kini. Enggak apa-apa buat saya. Toh, itu untuk menyenangkan diri sendiri,” tuturnya, Senin (26/2/2024).
Lilis memiliki pemasukan tetap sebesar Rp 7,5 juta per bulan. Sebesar 50 persen gajinya lantas dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan primer, seperti membayar biaya sewa kos, makan, transportasi, dan mengirim uang untuk orangtua.
Sebanyak 30 persen gajinya untuk dana sosial, serta 20 persen sisanya untuk tabungan dan dana darurat. Lilis mengatakan, formula mengatur keuangan ini baru ia terapkan di pertengahan tahun 2023. Formula ini ia temukan setelah mencoba berbagai metode.
Sebelumnya, ia tak pandai mengatur keuangan lantaran masih kerap bermain dan jalan-jalan. Ia tak mempunyai sisa uang untuk ditabung. Bahkan, beberapa kali uangnya habis sebelum tanggal gajian.
Walakin, ia bisa menyambung hidup dari pekerjaan sampingan yang dijalaninya.
Karyawan swasta, Dito Imbang Irawan (29), merasakan pula dampak kenaikan harga pangan. Agar bisa berhemat, ia dan istrinya, yang menjadi ASN, membawa bekal ke tempat kerja masing-masing. Menu keduanya disamakan dengan menu anak mereka yang berusia 1,5 tahun. Dengan demikian, mereka tak hanya hemat biaya, tetapi juga hemat waktu untuk memenuhi kebutuhan pangan.