Gaji Pas-pasan, ”Side Job” Jadi Harapan Kelas Menengah Indonesia
Pekerjaan tambahan menjadi harapan baru bagi kelas menengah Indonesia yang memiliki sisa gaji pas-pasan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, AGUIDO ADRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian masyarakat kelas menengah Indonesia terpaksa menambah pemasukan dengan melakukan pekerjaan sampingan atau side job. Penghasilan tambahan itu digunakan untuk menambal kekurangan dana kebutuhan primer, menabung, hingga menyenangkan diri.
Pekerjaan tambahan ini menjadi penting bagi kelas menengah di Indonesia agar tetap bisa hidup di tengah kenaikan biaya hidup serta stagnasi gaji. Hasil analisis dari olahan data Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik, Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menemukan, angka rata-rata sisa gaji dari kelas menengah Indonesia, yang jumlahnya 38,5 juta jiwa atau 20,7 persen penduduk Indonesia, pada tahun 2021 sebanyak Rp 435.888 per bulan.
Dengan hanya sisa gaji Rp 435.888 per bulan, kelas menengah Indonesia butuh setidaknya dua bulan hanya untuk bisa membeli 1 gram emas senilai Rp 1,1 juta (Antam per 9 Februari 2024). Kondisi kelas menengah Indonesia ini berbeda jauh dengan kelas kaya. Warga kaya Indonesia memiliki sisa gaji rata-rata Rp 1,5 juta per orang per bulan. Kelompok ini hanya butuh waktu 21 hari untuk membeli 1 gram emas (Kompas, 26/2/2024).
Kelas menengah Indonesia membutuhkan tambahan pekerjaan agar mereka bisa menabung dan bertahan hidup. Pekerjaan tambahan menjadi jalan keluar dan penyelamatan Mira (29) untuk tetap bertahan hidup di Jakarta. Hal itu harus ia lakukan karena gaji dari pekerjaan utamanya sebesar Rp 9 juta per bulan.
Dari angka itu, Rp 5,5 juta terpakai untuk cicilan rumah dan membantu perekonomian keluarga. Praktis, Mira hanya mengantongi Rp 3,5 juta juta per bulan setelah gajinya dipotong pengeluaran rutin itu.
”Kalau hanya tergantung gaji utama enggak cukup. Harus ada side job pastinya. Itu sangat membantu untuk menambal kebutuhan pribadi, kayak bayar indekos, transportasi, makan,” kata Mira saat dihubungi, Senin (26/2/2024).
Mira mengambil dan mengerjakan pekerjaan tambahan sebagai kreator konten, seperti menulis artikel pendek dan iklan, sesuai dengan bidang pekerjaan utamanya di sektor food and beverage. Ia mengambil pekerjaan tambahan itu pada hari libur atau setelah pekerjaan utamanya selesai.
Kalau hanya tergantung gaji utama enggak cukup. Harus ada ’side job’pastinya. Itu sangat membantu untuk menambal kebutuhan pribadi, kayak bayar indekos, transportasi, makan.
Penghasilan tambahan yang diperoleh Mira berkisar Rp 1 juta-Rp 3 juta per bulan. Mira juga pernah mendapatkan bayaran Rp 5 juta dan tertinggi Rp 20 juta. Namun, itu hanya ia dapatkan sekali atau maksimal dua kali dalam setahun.
”Capek, tapi demi bertahan hidup. Work-life balance itu hanya ilusi. Saya juga nabung, tapi tergerus karena kepakai terus. Makan tabungan, istilahnya. Jadi, meski sudah ada kerja dan penghasilan tambahan, tetap kurang,” lanjutnya.
Walakin, Mira harus kembali memutar otak untuk menekan pengeluaran dengan memasak dan membawa bekal makanan. Saat tidak ada lagi uang yang tersisa, mau tak mau ia meminjam uang kepada teman atau keluarganya.
Mengatur keuangan
Sementara itu, peneliti pada salah satu lembaga swadaya masyarakat di Jakarta, Lilis Shofiyanti (31), menambah penghasilan dengan mengirim tulisan untuk media massa. Ia juga menulis untuk jurnal, seminar, dan lokakarya. Hal itu membantu menambah penghasilannya tetapnya sebesar Rp 7,5 juta per bulan.
”Dengan pekerjaan tambahan, yang biasanya aku dapatkan dari NGO (lembaga swadaya masyarakat) lain, penghasilanku bertambah jadi Rp 9 juta-Rp 10 juta. Tapi, pekerjaan tambahan itu tidak tentu ada tiap bulan,” tambahnya.
Lilis biasanya mengalokasikan 50 persen gaji tetapnya untuk kebutuhan primer, seperti membayar sewa indekos, makan, transportasi, dan mengirim uang kepada orangtua di Demak, Jawa Tengah.
Sebanyak 30 persen gajinya untuk dana sosial, seperti membeli kado pernikahan teman, serta membeli barang yang diinginkan. Sementara 20 persen sisanya untuk tabungan dan dana darurat.
”Kalau ada uang tambahan, uangnya akan kubagi dua dan dimasukkan ke alokasi dana 30 persen (dana sosial dan kepentingan pribadi) dan 20 persen (tabungan dan dana darurat),” ucap Lilis.
Untuk menekan pengeluaran, Lilis menyewa indekos yang berjarak hanya 500 meter dari kantor. Dengan demikian, ia tak perlu membeli sepeda motor dan bisa berjalan kaki setiap hari. Ia juga membatasi uang makan menjadi Rp 15.000-Rp 20.000 sekali makan.
Perencana keuangan Nadia Harsya menyarankan agar individu membuat catatan pengeluaran harian secara rutin. Pos-pos pengeluaran pun mesti diperhatikan secara detail. Uang sisa sebaiknya ditabung. Jika tak ada sisa, maka pengaturan keuangan mesti dievaluasi.
”Yang tak kalah penting dari mengatur keuangan adalah punya uangnya dulu. Harus mencari tahu bagaimana cara bisa menghasilkan uang, mungkin dari bekerja, berdagang/bisnis, dan freelance. Kalau ternyata belum surplus atau boncos mulu, solusinya adalah ngirit (berhemat) atau mencari income tambahan,” tutur Nadia (Kompas, 26/2/2024).