Tawuran, Perang Tanpa Alasan yang Terus Memanaskan Jakarta
Penyelesaian tawuran di Jakarta tak bisa seperti memadamkan api atau hanya sampai deklarasi damai usai pecah "perang".
Tawuran menjadi salah satu masalah serius di Jakarta dari tahun ke tahun. Masalah sosial ini sangat kompleks karena melibatkan banyak faktor, mulai ekonomi sampai demografi. Peserta tawuran pun mulai dari anak-anak hingga ibu rumah tangga. Persoalan ini harus tuntas diatasi dari akarnya.
Sebagai masalah yang kompleks, penyelesaian tawuran tidak bisa seperti memadamkan api atau hanya cukup deklarasi damai setelah pecah pertikaian antarwarga atau kelompok. Akar masalah tawuran harus ditemukan supaya terwujud program yang tepat sesuai kebutuhan warga dan berkelanjutan. Dengan demikian, persoalan ini tidak menjadi bara dalam sekam yang bisa membesar sewaktu-waktu.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menyebutkan, tawuran di Jakarta mulai menjadi masalah serius sejak akhir 1990-an. Saat itu, tawuran antarpelajar atau antarwarga kian sering terjadi, seperti di kawasan Manggarai, Tanah Tinggi, dan Matraman.
”Ini (tawuran) isu serius di Jakarta karena penyebabnya beragam. Kompleks, mulai dari faktor ekonomi, sosial, kultur, hingga demografi dan tak pernah tuntas,” kata Rakhmat, Selasa (30/1/2024).
Masalah ekonomi, misalnya, terkait perebutan lahan parkir di beberapa lokasi. Sementara masalah kultur karena adanya perbedaan latar belakang etnis di wilayah tertentu. Bahkan, tawuran bisa pecah karena masalah sepele kawula muda dalam pergaulan yang merembet ke pertikaian antarwilayah sampai membawa kelompok besar atau etnis tertentu.
Baca juga: Tawuran Pelajar Terus Berulang dan Kian Meresahkan
Dalam arsip Kompas terekam beberapa tawuran karena faktor tersebut. Dalam pemberitaan September 1998, ”Tak Tahu Lagi Cara Menghentikan Perkelahian...”, disebutkan, sejumlah lokasi permukiman padat di sepanjang rel kereta api antara Stasiun Cikini, Jakarta Pusat, dan pintu lintas Bukit Duri, Jakarta Selatan, merupakan ajang perkelahian antarwarga.
Sewaktu-waktu ”perang” yang melibatkan puluhan hingga ratusan warga bisa meledak di Bukit Duri atau di bantaran rel yang memisahkan permukiman Jalan Tambak dengan Kelurahan Menteng.
Dalam pemberitaan lainnya pada April 2000, ”Warga Matraman, Berhentilah Tawuran...”, dijelaskan, dua dari empat putaran balik di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur, ditutup. Drum-drum berisi semen cor terpasang berjajar sehingga tidak memungkinkan pengendara mobil memutar di situ.
Penutupan putar balik merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya perkelahian massal (tawuran) warga Kebon Manggis-Berlan melawan warga Tegalan-Palmeriam-Kayu Manis di sepanjang ruas jalan tersebut.
Perkelahian massal terakhir berlangsung selama empat malam sejak Sabtu (25/3/2000) malam hingga Selasa (28/3/2000) petang. Korbannya seorang marinir dan dua polisi terluka, serta lima bangunan kantor atau toko terbakar.
Diketahui, salah satu pemicu tawuran ialah perebutan kesempatan menjaga putaran balik yang bermula dari pembagian waktu, saling ledek, dan persoalan kecil di putar balik itu hingga terjadi keributan lebih besar.
Dalam tawuran lainnya yang diberitakan pada Oktober 2001, ”Narkoba, Diduga Pemicu Utama Tawuran di Galur”, tokoh masyarakat Kelurahan Galur, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, meminta polisi menindak tegas warga mereka yang sudah jelas-jelas menjadi pengedar ataupun pemakai narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba). Mereka menganggap narkoba itu menjadi pemicu utama tawuran yang terjadi selama ini.
Pendekatan komprehensif
Ada satu benang merah dari penyelesaian berbagai tawuran yang masih saja berulang. Pendekatan yang dilakukan seperti memadamkan api. Setelah terjadi tawuran, tokoh warga dilibatkan untuk deklarasi damai, tetapi akar masalahnya tak tersentuh.
Menurut Rakhmat, pendekatan tak bisa semata hanya deklarasi damai karena model memadamkan api tak menyelesaikan masalah. Justru dibutuhkan pendekatan berkelanjutan, mulai dari pemetaan titik rawan tawuran oleh polisi. Data awal itu lantas dilengkapi intervensi masalah ekonomi, sosial, pendidikan, dan lainnya.
”Supaya pola yang sama tidak berulang. Intervensi ini melibatkan akademisi dan masyarakat setempat untuk program berkelanjutan. Sasarannya terutama kawula muda karena jangka panjang,” ucap Rakhmat.
Contohnya kajian sosiologis tawuran pemuda di Johar Baru oleh Linda Darmajanti, Paulus Wirutomo, Daisy Indira Yasmine, Evelyin Sulaiman, dan Ida Ruwaida dari Universitas Indonesia. Kajian ini kemudian terbit dalam buku berjudul Perang Tanpa Alasan yang bekerja sama dengan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, tahun 2017.
Baca juga: Remaja Jakarta, Berawal dari Gim Daring Berakhir di Jeruji Besi
Dalam Bab 2 ”Kemiskinan, Eksklusi Sosial: Analisis Struktur-Kultur-Proses” disebutkan, studi awal tentang tawuran di Johar Baru oleh Paulus Wirutomo dkk tahun 2011 menunjukkan temuan menarik. Para remaja ataupun warga yang terlibat tawuran menyatakan penyebab tawuran tidak jelas.
Secara sosiologis, temuan ini menstimulasi kajian lebih mendalam karena tawuran di daerah tergolong kumuh dan miskin itu justru memiliki penyebab ganda sehingga setiap individu yang terlibat tawuran sulit menjawab penyebab tawuran secara jelas. Kajian tersebut melihat kepadatan penduduk sebagai salah satu faktor mendasar. Luas lahan 238 hektar dengan 108.000 warga membuat setiap orang punya ruang gerak hanya 2,3 meter persegi.
Pendekatannya melalui kajian, bukan hanya memadamkan api. Kemudian, melibatkan partisipasi warga setempat
Hal itu bertambah dengan kurangnya fasilitas sosial dan fasilitas umum yang membuat aktivitas, gerak, dan kreativitas terbatas. Adapun faktor lainnya ialah pengangguran dan angka putus sekolah yang cukup tinggi.
Situasi ini berujung adanya waktu luang yang tidak produktif bagi kaum muda. Banyak di antara mereka mengalami krisis kepercayaan diri sehingga mencarinya dengan cara yang tidak tepat, yaitu bergabung dalam gangster yang menyimbolkan kondisi kejiwaan mereka, seperti sadigo (salah dikit golok) dan madesu (masa depan suram).
Tawuran yang terjadi merupakan lambang prestasi mereka. Tawuran itu juga tidak jarang melibatkan ibu rumah tangga karena kesal area mereka dimasuki dan diserang kelompok lain. Dalam berbagai tawuran pun ada indikasi dimanfaatkan kelompok lain untuk mendapat keuntungan, terutama pengedar narkoba.
Baca juga: Kapok Ditahan karena Tawuran, Remaja Ini Memilih Ikut ”Street Boxing”
Lintas sektor
Selanjutnya, dalam Bab 4 ”Merajut Harmoni Sosial” dikatakan, sejak tahun 2011, penanganan konflik di Johar Baru menggunakan upaya intervensi terpadu dan lintas sektor. Bentuknya pelatihan keterampilan, menggiatkan pokdarkamtibmas, pengembangan kegiatan musik, dan lainnya.
Namun, upaya tersebut belum optimal. Dalam kajian ini disarankan pembenahan konsep pembangunan, khususnya untuk kampung kumuh dengan pendekatan inklusif, pendekatan pendidikan melalui bidang seni, balai warga yang pemanfaatannya perlu dipikirkan bersama komunitas, jaminan perlindungan keamanan, dan birokrasi pemerintah yang kaku perlu dikombinasikan dengan pendekatan yang luwes, aspiratif, dinamis, dan kreatif.
”Pendekatannya melalui kajian, bukan hanya memadamkan api. Kemudian, melibatkan partisipasi warga setempat. Memang sulit menghilangkan tawuran sampai nol, tetapi paling tidak meminimalkan tensinya, ketegangan, jadi lebih cair dan tak kaku,” kata Rakhmat.
Rakhmat sendiri menyarankan memaksimalkan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) yang terdapat di seluruh Jakarta. Ruang terbuka untuk publik ini menjadi wahana permainan dan tumbuh kembang anak, sarana kegiatan sosial warga, pengembangan pengetahuan dan keterampilan kader PKK, dan ruang terbuka hijau.
Selain itu, menjadi lokasi kegiatan Bina Keluarga Balita Pendidikan Anak Usia Dini, posyandu, perpustakaan anak, tempat berolahraga, tempat bermain, kegiatan kreatif anak, 10 program pokok PKK, kegiatan kesenian, layanan kebencanaan dan kegiatan warga yang tidak berpotensi mengakibatkan kerusakan taman atau prasarana dan sarana yang ada.
”Banyak RPTRA bisa dimanfaatkan untuk kegiatan seni, budaya, dan lainnya. Ketegangan warga disalurkan ke situ. Semuanya memang tak bisa instan, tetapi harus dilakukan,” ucap Rakhmat.