Kejahatan Berulang Argiyan Berujung Pembunuhan
Tiga perempuan jadi korban kekerasan seksual oleh Argiyan. Pada kasus terakhir, sang ibu melaporkannya ke polisi.
Raut muka dan nada tinggi tak bisa menutupi kemarahan Hendrawan (40), paman KRA (20), saat menceritakan keponakannya yang jadi korban kekerasan seksual dan pembunuhan oleh terduga Argiyan Arbirama (19). KRA tewas setelah dicekik dan diperkosa Argiyan di Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat, pada Kamis (18/1/2024).
Sejak awal bertemu, kata Hendra, panggilan Hendrawan, pihak keluarga KRA merasa sudah tidak suka kepada Argiyan. Saat itu, Rabu (17/1/2024), KRA mengajak Argiyan ke rumah keluarganya.
”Pelaku sempat bermain ke rumah. Keluarga (korban) mengenal pelaku. Sempat diajak shalat oleh abahnya (bapak KRA), tetapi pelaku beralasan dan menolak. Abahnya tidak suka dengan cowok itu karena tidak sopan. Pakaiannya juga tidak sopan dan tidak rapi,” ujar Hendra.
Perkenalan dengan Argiyan itu ternyata jadi awal musibah bagi KRA dan keluarga. Sehari kemudian, keluarga mendapat kabar bahwa KRA sudah tidak bernyawa.
Baca juga: Polisi Tangkap Pelaku Pembunuhan Mahasiswi di Depok
Menurut Hendra, KRA anak yang baik. Dia dekat dengan keluarga. Siapa pun teman yang baru dikenalnya selalu diberitahukan kepada keluarga. Demikian pula dengan Argiyan. Meski begitu, keluarga KRA tidak mengenal lebih jauh mengenai sosok Argiyan.
”Dia sering cerita kepada teman kampusnya, (bernama) Aulia. Dari cerita Aulia, pelaku mau jemput (KRA) untuk memperkenalkannya kepada keluarga pelaku. Alasannya, KRA sudah memperkenalkan pelaku kepada keluarganya. Ternyata itu niat jelek untuk memperlakukan KRA dengan hal (kekerasan) itu,” kata Hendra.
Sementara itu, menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Wira Satya Triputra, Argiyan telah merencanakan pemerkosaan KRA. Argiyan dan KRA sudah saling kenal sejak empat bulan lalu dari aplikasi percakapan Line dan baru menjalani hubungan sebagai pacar dua pekan.
Karena (korban) menolak dan berteriak, pelaku melakukan kekerasan dengan mencekik korban sampai lemas.
Pembunuhan itu berawal saat Argiyan meminta KRA menjemputnya di kontrakan di Sukmajaya. Argiyan berniat mengajak KRA ngopi bareng. Meski sempat menolak, akhirnya KRA menuruti permintaan pelaku.
Sesampai di kontrakan, Argiyan justru memaksa KRA untuk berhubungan badan. ”Karena (korban) menolak dan berteriak, pelaku melakukan kekerasan dengan mencekik korban sampai lemas. Dalam kondisi itu, (pelaku) memerkosa korban. Setelah itu, korban diikat tangan dan kakinya oleh pelaku,” kata Wira.
Dalam pemeriksaan terungkap, setelah mencekik dan memerkosa korban, Argiyan lalu mengenakan kembali pakaian korban serta mengikat kaki dan tangannya. Pelaku meninggalkan korban di atas kasur dalam keadaan masih hidup. Argiyan mengambil barang korban, seperti ponsel dan dompet.
Setelah melakukan tindakan itu, pelaku yang juga mahasiswa itu langsung menghubungi ibunya untuk pamit pergi jauh. Tak hanya itu, ia juga memberi tahu ibunya, ada seorang perempuan di kontrakan. Mendapat kabar itu, sang ibu langsung menuju kontrakan Argiyan dan menemukan seorang perempuan terikat dengan kondisi tak bernyawa.
Sang ibu pun segera melaporkan kejadian itu ke Polres Metro Kota Depok dan memberitahukan bahwa pelaku pembunuhan adalah anaknya sendiri.
Sang ibu segera melapor ke Polres Metro Kota Depok dan memberitahukan bahwa pelaku pembunuhan adalah anaknya sendiri.
Selang sehari, yakni pada Sabtu (19/1/2024) atau 15 jam setelah laporan masuk, Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya menangkap Argiyan di dalam bus di Terminal Ki Ageng Cempaluk, Kasesi Utara, Pekalongan, Jawa Tengah. Argiyan diketahui ingin kabur ke rumah kakek neneknya di Pekalongan.
Korban lain
Dari penangkapan dan pengembangan kasus itu, kata Wira, penyidik Subdirektorat Jatanras menemukan fakta bahwa Argiyan pernah melakukan tindak kekerasan seksual kepada dua perempuan lainnya.
”(Dua perempuan itu adalah) Korban persetubuhan anak yang dilaporkan pada 3 Januari 2024, serta kasus pemerkosaan yang dilaporkan pada 4 Januari 2024, jadi ada dua perbuatan pidana,” ujar Wira.
Korban anak di bawah umur, yang berinisial N, saat ini sedang hamil dan menunggu proses kelahiran. Sementara satu perempuan berinisial NH berusia 24 tahun. Dua laporan itu kini sudah diambil alih oleh Ditreskrimum Polda Metro Jaya. ”Tiga korban itu semuanya berkenalan melalui aplikasi percakapan,” lanjut Wira.
Atas tindakan itu, tersangka Argiyan dijerat dengan Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 285 KUHP, dan Pasal 351 Ayat 3 KUHP. Tersangka terancam hukuman penjara selama 15 tahun.
Niat jahat
Kriminolog Universitas Indonesia Josias Simon berpendapat, perkenalan luas melalui aplikasi percakapan atau media sosial sangat rentan menjadi celah tindak pidana. Dari teknologi informasi ini sudah banyak timbul kasus pidana dan korban. Kemajuan teknologi dimanfaatkan untuk memuluskan niat pelaku kejahatan.
Hal itu merupakan sisi negatif yang perlu menjadi perhatian bersama, terutama orangtua kepada anak-anak, bahkan orang dewasa. Perkembangan teknologi mengubah cara kita berkenalan dengan orang lain. Namun, dunia maya menutup karakter dan sifat asli seseorang, sebab sering kali hanya hal yang baik dan menarik yang disajikan untuk menarik minat.
Jika melihat kasus Argiyan, kata Josias, pelaku pernah dan bukan pertama kali melakukan kekerasan seksual. Melalui teknologi, ia telah menyusun atau sengaja mengincar perempuan dari perkenalannya di dunia maya. Sudah ada niat jahat dari Argiyan.
”Selain itu, pelaku berani kembali melakukan kekerasan seksual karena ia merasa aman dan tindakan sebelumnya tidak ada masalah atau jauh dari jerat hukum,” ujarnya.
Berkaca pula dari beberapa kasus kriminal lain, peristiwa berulang karena lemahnya atau longgarnya pengawasan, lambatnya proses pelaporan tindak pidana, dan faktor lainnya.
”Meresahkan karena jika tidak tertangkap akan muncul korban lainnya. Keresahan ini menjadi pembelajaran. Dampaknya harus ditekan. Apalagi jika proses hukum tidak berjalan,” kata Josias.
Menurut Josias, jatuhnya korban ketiga, bahkan sampai meninggal dunia, seharusnya bisa dihindari. Bukan tidak mungkin ada korban Argiyan lain di luar tiga perempuan itu. Bisa saja korban lain tidak melapor karena kasus kekerasan seksual masih dianggap sebagai aib dan merusak nama keluarga.
”Ini tekanan bagi pihak kepolisian untuk segera merespons. (Laporan) Harus segera diungkap karena bisa berdampak besar jika dibiarkan. Sangat mungkin ada korban lain. Banyak korban kasus kekerasan seksual yang tidak mau lapor. Polisi dalam kasus ini harus berpihak kepada korban dan keluarga,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Poengky Indarti, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional. ”Perlu upaya lebih keras untuk memastikan pelaku yang kabur dapat ditangkap agar tidak melakukan kejahatan lagi. Apalagi, penjahat seksual berpotensi mengulangi lagi kejahatannya. Kami akan mengirimkan surat klarifikasi terkait kejahatan yang dilakukan Argiyan,” kata Poengky.
Baca juga: Selain Pembunuhan, AA Diduga Terlibat Kekerasan Seksual
Sementara itu, Polres Metro Depok membantah bahwa pihaknya tidak segera menindaklanjuti dua laporan kekerasan seksual yang dilakukan Argiyan. Kepala Urusan Humas Polres Metro Depok Inspektur Satu Made Budi mengatakan, tim Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Depok langsung mencari pelaku tindak kekerasan seksual.
”Pelaku kabur-kaburan, licin. Reskrim sulit melacak keberadaannya, berpindah tempat. Pas laporan ketiga (pelaku) kabur ke Pekalongan, ditangkap kasus pembunuhan,” ujar Made.
Lingkungan dan keluarga
Kejadian kekerasan seksual berujung pembunuhan tidak hanya bisa dihindari dari sisi penegakan hukum, tetapi juga dari kepedulian dan pengawasan lingkungan serta keluarga.
Menurut peneliti sosial dari Pusat Kajian Representasi Sosial Indonesia, Risa Permanadeli, perilaku seksual sebelum menikah saat ini bukan barang baru. Perilaku seksual yang tidak hanya di luar norma masyarakat itu juga berpotensi menjadi masalah seperti tindak kekerasan seksual.
Dalam studi oleh kelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada 1982, ada hasil cukup mengejutkan, yaitu beberapa persen mahasiswa di Yogyakarta yang tinggal di tempat indekos sudah melakukan hubungan seksual.
Meski studi dilakukan pada 1982, fenomena itu masih sangat relevan untuk saat ini, bahkan bisa saja lebih banyak perilaku seks bebas di kota besar seperti Jabodetabek. Hal ini disebabkan banyak bisnis tempat indekos tidak memiliki ibu atau bapak indekos. Belum lagi dengan keberadaan rumah sewa dan apartemen yang menjadi pilihan anak-anak muda.
”Ibu semang ini menjadi pengawas yang bisa mengganti peran orangtua. Mereka penjaga moral dan etika dari anak kos mereka,” kata Risa.
Selain faktor tempat, ada faktor penting lain, yaitu lingkungan dan keluarga. Fenomena hubungan seksual di luar nikah di tempat indekos, rumah sewa, dan apartemen ini, kata Risa, sebenarnya sudah diketahui masyarakat sekitar. Hanya saja, tak jarang mereka menutup mata dan tidak peduli. ”Peran warga di lingkungan sangat penting untuk mencegah hal yang tidak dikehendaki,” kata Risa.
Lalu, yang paling penting ialah peran keluarga. Perilaku agresif hingga menyimpang seseorang tak bisa dilepaskan dari faktor keluarga. Celakanya, lanjut Risa, peran keluarga yang hangat juga mulai terkikis oleh kesibukan orangtua dan segala dinamika kehidupan sehingga perhatian kepada anak berkurang.
Peran orangtua lalu tergantikan oleh kesibukan anak di sekolah dan beragam les hingga kegiatan keagamaan. Padahal, kata Risa, yang dibutuhkan anak adalah sentuhan perhatian dan kasih sayang. ”Orangtua mengira dengan memberi les dan sekolah, lalu berpikir anak seturut dengan keinginan mereka,” ujar Risa.
Sementara itu, psikolog Kasandra Putranto berpendapat, selain faktor genetik, hampir bisa dipastikan ada peran pola asuh dan paparan teknologi. Seseorang yang telah melakukan hubungan seksual pasti akan muncul keinginan untuk melakukan lagi. Oleh karena itu, hubungan seksual yang sehat adalah saat sudah berstatus suami istri karena ada kebutuhan biologis yang saling membutuhkan.
Hubungan seksual di luar nikah berbahaya karena seseorang akan mencari cara untuk memenuhi hasrat seksualnya. Seperti yang terjadi pada kasus di Kota Depok, Argiyan diduga tidak bisa menahan nafsu dan berujung pada tindakan kekerasan.
”Perilaku seksual disebabkan hormon seks, sementara masalah pengendalian diri karena masalah fungsi otak bagian amygdala dan prefrontal cortex. Amygdala ini bagian otak yang bertanggung jawab atas dorongan emosi. Prefrontal cortex bagian otak yang bertanggung jawab untuk mengambil keputusan seperti gas dan rem,” katanya.
Keterlibatan keluarga, lingkungan, hingga kepastian hukum menjadi upaya untuk menekan kejahatan. Tanpa itu, kejahatan akan terus mengintai.