Mendapat Intimidasi, Warga Kampung Bayam Enggan Beranjak dari Rusun
Warga Kampung Susun Bayam tetap bertahan di rumah susun yang mereka tempati walau intimidasi semakin kencang.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga Kampung Susun Bayam tetap bertahan di rumah susun yang mereka tempati walaupun intimidasi semakin kencang. Terbaru, mereka dilaporkan ke Kepolisian Resor Jakarta Utara oleh PT Jakarta Propertindo karena telah menerobos masuk ke wilayah rumah susun yang sampai saat ini masih bersengketa.
Ketua Kelompok Tani Kampung Bayam Madani Fukron, Selasa (23/1/2024), menuturkan, pihaknya terus mendapatkan intimidasi bertubi-tubi sejak tinggal di Kampung Susun Bayam, 29 November 2023 lalu. Dia tinggal di lantai dua rumah susun bersama dengan 40 keluarga lain.
Intimidasi terbaru adalah ketika dua hari lalu pihak pengamanan apartemen menutup akses masuk bagi warga. ”Jalan masuk rumah susun sudah ditutup menggunakan tali seperti garis polisi, ” ucap Fukron.
Intimidasi kepada warga Kampung Bayam ini bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, pihak PT Jakarta Propertindo sudah melayangkan laporan kepada Polres Jakarta Utara terhadap empat oknum warga yang tinggal di sana. Salah satunya adalah Fukron.
Mereka dilaporkan karena dianggap telah menerobos masuk ke kawasan pekarangan rumah susun yang sebenarnya digunakan untuk hunian pekerja pendukung operasional (HPPO). ”Namun, sejak laporan itu dilayangkan, sampai sekarang kami belum dipanggil oleh penyidik,” kata Fukron.
Bagi Fukron dan 40 kepala keluarga yang tinggal di sana, intimidasi dari pihak kontraktor adalah hal yang biasa. ”Sampai sekarang kami hidup tanpa air dan listrik. Itu adalah salah satu bentuk intimidasi. Belum lagi, kami diperlakukan seperti seorang pelaku kriminal,” ucapnya.
Sampai sekarang kami hidup tanpa air dan listrik. Itu adalah salah satu bentuk intimidasi. Belum lagi, kami diperlakukan seperti seorang pelaku kriminal.
Namun, warga memutuskan untuk tetap tinggal di area itu karena tidak tahu harus tinggal di mana. Sebenarnya, PT Jakpro sudah menawarkan warga untuk tinggal di Rumah Susun Nagrak. Namun, tawaran itu ditolak lantaran jauh dari akses pendidikan, kesehatan, dan akan mematikan mata pencarian mereka sebagai petani.
Ketika dikonfirmasi, Direktur Utama PT Jakpro Iwan Takwin menuturkan, pelaporan itu dilakukan Jakpro karena adanya oknum warga eks Kampung Bayam yang secara berkelompok memasuki pekarangan HPPO tanpa seizin perusahaan.
”Rumah susun itu adalah milik warga Jakarta, bukan sekelompok orang. Tentu semua harus mematuhi regulasi yang ada,” kata Iwan.
Upaya pencegahan dan peringatan pun telah dilakukan oleh petugas keamanan yang berjaga di lokasi. Namun, hal tersebut tidak digubris oleh para warga. Untuk itu, Jakpro melaporkan atas adanya penyerobotan lahan secara ilegal di aset HPPO ke aparat keamanan dengan para pihak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain penyerobotan, warga diduga telah merusak aset, yakni dengan melakukan penggantian secara paksa pada lubang kunci agar bisa masuk ke dalam unit. Tindakan ini termasuk dalam kategori perusakan aset HPPO. Poin ketiga, Jakpro juga melaporkan warga eks Kampung Bayam yang memanfaatkan akses air bersih secara ilegal yang terdapat di lingkungan HPPO.
Tindakan ini termasuk dalam kategori pencurian karena terdapat kerugian materiil yang berdampak pada beban biaya operasional HPPO.
Iwan menegaskan bahwa warga eks Kampung Bayam yang terlibat penyerobotan lahan, perusakan aset, hingga pencurian air di areal HPPO hingga kini belum memiliki hak atas tanah dan bangunan HPPO. Jakpro bersama seluruh pemangku kepentingan terkait melakukan mitigasi risiko serta pemetaan opsi terbaik bagi semua pihak yang terlibat.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, melihat polemik Kampung Susun Bayam tak lepas dari janji politik tak terwujud seiring pergantian kepemimpinan. Janji politik itu tidak terwujud karena sifatnya tak mengikat atau tak ada dasar hukumnya.
Menurut Trubus, pengelolaan Kampung Susun Bayam tak tuntas karena diresmikan di pengujung masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria. Apalagi tidak ada perjanjian terikat di dalamnya.
Trubus menyarankan agar ada dialog antarsemua pihak untuk mencari solusi yang terbaik. Di sisi lain, pemerintah juga harus menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh warga sehingga mereka tidak telantar.