Renjana Seniman Jalanan Menghidupkan Kota
Para seniman jalanan menghidupkan kota yang kaku dan egoistis menjadi lebih dinamis dan berbudaya.
Semua kata rindumu semakin membuatku, tak berdaya menahan rasa ingin jumpa
Percayalah padaku aku pun rindu kamu Ku akan pulang, melepas semua kerinduan, yang terpendam...
Refrain lagu Dewa berjudul ”Kangen” itu terdengar di salah satu tenda warung menemani para pengunjung makan, Kamis (14/12/2023), di Jalan Krendang Raya,Tambora, Jakarta Barat.
Suara berat Downy Ischan (27) yang mampu mencapai nada tinggi lagu itu membuat beberapa pengunjung menikmatinya bahkan ikut bernyanyi.
Baca juga: Selamat Datang Era Pengamen E-Sawer
Masih sembari memainkan gitarnya, dengan senyum ramah, Downy mengucapkan selamat malam dan berterima kasih kepada pengunjung yang telah memasukkan uang ke dalam kantong yang tersemat di kepala gitarnya.
Dengan berpenampilan cukup rapi, bersikap ramah, dan modal suara yang tidak sumbang, ada saja pengunjung atau pendengar memberikan uang Rp 5.000 bahkan lebih. Tak ayal, dalam sehari ia bisa mengantongi rata-rata Rp 200.000 dari pukul 18.00 hingga 23.00.
”Penolakan, tidak dikasih, itu risiko. Tapi, saya coba untuk tetap maksimal. Kalau emosi, jangan jadi pengamen jalanan karena jauh dari rezeki. Kita tetap harus menghargai orang lain,” ujarnya.
Pria asal Bekasi yang mulai serius terjun ke dalam seni jalanan pada 2014 itu bisa bertahan hingga saat ini karena merasa dunia tarik suara adalah sebuah renjana (passion).
”Ada sesuatu yang perlu saya salurkan. Saya suka dan memilih ini karena passion. Makanya saya bisa bertahan, meski Covid-19 kemarin bikin pusing juga,” kata Downy tersenyum.
Terus bernyanyi di jalanan dan renjana yang kuat membawa Downy diundang untuk mengisi acara di kafe-kafe. Bahkan, saat ini ia rutin tampil di ruang publik di SCBD setiap akhir pekan.
”Berawal dari ngamen jalanan warung ke warung, ada seseorang mendengar suara saya, lalu menawarkan untuk mengisi di SCBD,” lanjutnya.
Downy bukan satu-satunya pengamen jalanan yang mampu menarik perhatian warga karena suaranya. Di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Aris (25) dan temannya Jojo (28 ) membuat sejumlah pengunjung memberikan apresiasi atas bakat dua pemuda asal Medan, Sumatera Utara, itu.
Tembang-tembang hits seperti dari Dewa 19, Slank, Aerosmith, dan Guns N Roses, menjadi andalan mereka. Di luar tembang hits itu mereka tetap menerima permintaan lagu lain dari pengunjung.
Dengan gitarnya, Aris mengiringi suara tinggi Jojo. Tak hanya mengiringi, Aris juga menjadi backing vokal Jojo. Dua karakter suara berbeda berpadu merdu menjadi harmoni.
Bagi Aris dan Jojo, menjadi pengamen jalanan sejak 2019 awalnya karena iseng. Saat itu, Jojo ingin membantu Aris yang sedang mengalami musibah karena kehilangan tas berisi laptop, handphone, dan sejumlah uang senilai sekitar Rp 2 juta. Bermodal suara bagusnya, ternyata dari hasil mengamen, Aris bisa bertahan hidup di Jakarta sebagai orang perantauan.
Terus bernyanyi di jalanan dan renjana yang kuat membawa Downy diundang untuk mengisi acara di kafe-kafe. Bahkan, saat ini ia rutin tampil di ruang publik di SCBD setiap akhir pekan.
Dari awal hanya iseng, kini menjadi kegiatan yang serius. Mereka tidak ingin lagi dipandang sebelah mata sebagai pengamen jalanan biasa. Mereka lalu membeli gitar akustik, pakaian, dan sepatu baru. Itu menjadi modal untuk menjelajahi setiap sudut keramaian kota.
”Awal ngamen pakai sendal jepit, gitar ukulele pinjaman, pakai celana pendek. Ya, karena di awal ngamen memang kekurangan (ekonomi). Tantangannya, bagaimana kami bisa disukai karena suara kami. Kami juga harus bisa berpakaian biar keren dikit. Ya, ini bukan pekerjaan rendahan, kok. Orang terhibur dan senang,” ujar Jojo.
Selain menjadi pengamen, Jojo dan Aris juga aktif dalam kegiatan gereja sebagai anggota paduan suara. Kegiatan itu juga yang menambah kepercayaan diri dan mengasah mental mereka.
Bukan sekadar uang
Pengamen lainnya, Iwan Nawi (30) dan Mohammad Saleh atau akrab disapa Ale (32), juga merasakan bahwa menjadi pengamen jalanan tak semata mencari uang. Seorang pengamen harus memiliki modal dasar untuk menghibur masyarakat luas. Modal itu bukan hanya suara, melainkan yang dasar dan utama ialah attitude dan menghargai sesama.
Dari modal itu Nawi dan Ale bisa dipersatukan di panggung lantai Kota Tua. Setelah Covid-19 mereda, pengelola Kota Tua Jakarta melirik mereka untuk menghibur para pengunjung pada pukul 13.00-21.00.
Menjadi pengamen saat ini bukan lagi sekadar uang. Namun, menghidupkan semangat berkarya, merangkul sesama musisi jalanan dan para pengunjung, hingga menyatukan para seniman jalanan dengan penonton, dan saling mengapresiasi tanpa sekat.
Kamis (21/12/2023) malam, Nawi dan Ale bersama 15 teman lainnya yang tergabung dalam Komunitas Musik KotaTua Bersatu menunjukkan olah bermusik mereka yang tak kalah keren dari band-band profesional.
Terutama Ale, aksi energiknya dan suara seraknya begitu menghibur penonton. Ale kerap berinteraksi dengan para pengunjung. Ia juga tak malu berjoget ala penyanyi dangdut. Tak ayal banyak penonton tertawa dengan aksinya itu. Ale selalu berhasil mengajak penonton bernyanyi bersama apa pun itu lagunya.
Tak hanya mengajak bernyanyi bersama, band yang digawangi oleh Nawi itu pun memberikan edukasi kepada pengunjung untuk tetap menjaga kebersihan.
”Di sela jeda lagu, kami juga kadang-kadang jadi pemandu wisata dengan menceritakan sejarah singkat Kota Tua,” ujar Nawi.
Menurut Nawi dan Ale yang makan asam garam dan pahit kerasnya kehidupan jalanan di Jakarta, menjadi pengamen saat ini bukan lagi sekadar uang. Namun, menghidupkan semangat berkarya, merangkul sesama musisi jalanan dan para pengunjung, hingga menyatukan para seniman jalanan dengan penonton, dan saling mengapresiasi tanpa sekat.
”Bukan nilai itu (rupiah) yang saya lihat, tetapi di sini kami (pengamen) menjadi keluarga yang saling mendukung. Ada ruang berkreasi, interaksi, dan saling mengapresiasi dengan para pengunjung. Ini nilainya lebih besar,” kata Ale.
Lihat juga: Superhero Ngamen
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta Rakhmat Hidayat menuturkan, kehadiran pengamen jalanan yang profesional memberikan hiburan kepada masyarakat luas menjadi fenomena urban yang menghidupkan kota Jakarta yang kaku.
”Mereka memberikan entitas kota menjadi dinamis, berbudaya. Kota menjadi hidup karena ada interaksi yang natural. Kehadiran para seniman ini melawan kota yang kaku, keras, monoton, egoistis, sibuk dengan mobilitas tinggi. Tetapi, warga yang menonton atau sebaliknya para pengamen jalanan profesional ini membuat kota dan manusianya rileks, santai, artistik, dan berjiwa,” katanya.
Oleh karena itu, kata Rakhmat, penting sebuah kota memiliki banyak ruang publik untuk menciptakan interaksi, penyaluran minat dan bakat untuk berkarya, hingga tercipta rasa positif yang mengharmonisasi relasi manusia.